Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Kisah Hubungan Pemeluk Tiga Agama di Yerusalem, Tiada Tegur dan Sapa
12 Desember 2017 18:40 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
Di antara seluruh kota yang ada di dunia, Yerusalem adalah kota dengan sandangan beban yang berat. Bermakna sebagai kota perdamaian, tampak menjadi paradoks jika dilihat keseharian mayarakat di Yerusalem.
ADVERTISEMENT
Perbedaan seakan telah menjadi satu dalam hiruk pikuk Kota Yerusalem. Umat Islam, Yahudi, dan Kristen hidup di kota yang berdiri di atas bukit ini. Meski begitu, kehidupan umat tiga agama samawi ini tidaklah berjalan harmonis. Sikap beku dan dingin masing-masing umat adalah keseharian yang mewarnai kota suci nan damai ini, terutama bagi para pemimpin agama, seperti syeikh, rabi, dan pendeta.
Seperti digambarkan oleh Taufiqulhadi dalam bukunya "Satu Kota Tiga Tuhan" pada 2017, sehari-harinya kota Yerusalem dibangunkan oleh suara muazin yang mengumandangkan azan dari menara Al Aqsa. Lantunan azan ini mengalir di antara centang-centang menara dan lorong sempit kota tua Yerusalem. Rumah-rumah yang sebelumnya senyap tiba-tiba menjadi gaduh.
Lorong-lorong kota Yerusalem mulai dilalui banyak orang yang berbondong-bondong menuju Al Aqsa. Mereka adalah orang-orang Arab yang hendak melaksanakan salat Subuh.
Di antara mereka ada yang mengenakan pakaian biasa dan menggunakan kopiah putih dibungkus sorban. Mereka inilah yang disebut dengan syeikh.
ADVERTISEMENT
Sebagian dari mereka juga ada yang menggunakan kafiyeh ala Yasser Arafat, mantan Presiden Palestina yang lantang menyuarakan kemerdekaan negaranya.
Di tengah perjalanan, umat Islam Arab ini berpapasan dengan rombongan Yahudi Ortodoks. Orang-orang Yahudi ini berjalan mengenakan topi hitam bercaping lebar, baju panjang hitam, celana hitam, dan berjanggut panjang hitam. Mereka berjalan cepat menuju Gerbang Herod, sisi Yerusalem yang bersebelahan dengan Al Aqsa.
Saat dua umat ini berpapasan, kedua rombongan ini saling menukar pandang. Namun, tak ada perubahan air muka. Tak ada tegur sapa ataupun sekadar saling lempar senyum.
Suasana beku menyelimuti dua umat yang tinggal dalam satu lokasi ini.
"Tak ada yang mengetahui khusus, sudah berapa kali mereka saling berpapasan dan menukar pandang tanpa ekspresi," tulis Taufiqulhadi.
ADVERTISEMENT
Ketika matahari mulai terik, giliran rombongan Kristen biasanya tengah sibuk menuju sektor Kristen di Kota Tua Yerusalem. Saat di jalan mereka kerap kali bertemu dengan para syeikh atau rabi. Namun, lagi-lagi tidak ada interaksi yang terjadi. Mereka bergerak sendiri dan seakan tak ada urusan antara satu pihak dengan pihak lainnya.
Selain kebekuan, Yerusalem juga diselimuti hawa permusuhan dan kebencian. Hal ini akan terasa saat berada di sekitar masjid Al Aqsa. Banyak tentara Israel yang mengenakan pakaian siaga perang dan dilengkapi dengan senjata menjaga pintu masuk masjid Al Aqsa. Setiap orang yang hendak masuk masjid paling suci ketiga umat Islam ini akan diperiksa secara ketat sebelum dapat memasukinya.
"Setiap orang yang masuk ke masjid ditanyakan asal-usulnya, seperti dari mana asalnya dan apa nama agamanya. Setelah itu, ia menggeledah tas secara seksama," jelas Taufiqulhadi.
ADVERTISEMENT
Meskipun Yerusalem seakan diselimuti kebekuan dan permusuhan, namun umat tiga agama ini punya satu kesamaan: Sama-sama datang ke Kota Tua untuk lebih dekat dengan Tuhan.
Umat Yahudi menuju Dinding Ratapan. Kristen masuk ke Gereja Spulchre. Islam salat di Masjid Al Aqsa.