Kisah Keluarga di Belawan: Menjadi Nelayan Itu Berat

22 Februari 2018 17:05 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengumpul kepiting di Kampung Nelayan. (Foto: Ade Nurhaliza/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pengumpul kepiting di Kampung Nelayan. (Foto: Ade Nurhaliza/kumparan)
ADVERTISEMENT
Terik matahari cukup membakar saat perahu-perahu menyebrangi perairan yang berada di Kampung Nelayan, Kecamatan Medan Belawan, Medan, Sumatera Utara. Mulai dari perahu-perahu kecil sampai boat besar, lengkap dengan jaring dan peti berukuran sedang dan besar. Nelayan-nelayan di sana biasanya memililh pergi melaut pada pagi hari dan pulang saat tengah hari.
ADVERTISEMENT
Namun, kebiasaan melaut dari pagi hingga siang hari tidak dilakukan bagi salah satu keluarga nelayan di kampung Nelayan Belawan. Salah satunya adalah keluarga Misnah (41). Misnah merupakan ibu rumah tangga yang juga istri nelayan di sana.
Ia mengaku bahwa suaminya mulai bekerja sejak siang sampai saat hari mulai gelap. Sebagai nelayan kepiting, Misnah mengatakan bahwa suaminya dapat mengumpulkan 1 kg sampai 2 kg kepiting per harinya. Namun, sebagai istri, Misnah tetap saja khawatir dengan suami yang pergi melaut hingga malam hari. Sebab, ombak dan gelombang tinggi selalu mengancam para nelayan di sana.
"Ini kan ombak lagi tinggi, saya sering khawatir sama suami. Boat yang besar saja mau karam, apalagi perahu kecil kayak punya kami,"ujar Misnah saat dijumpai kumparan (kumparan.com), Kamis (22/2).
Kondisi kampung nelayan di Medan. (Foto: Ade Nurhaliza/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi kampung nelayan di Medan. (Foto: Ade Nurhaliza/kumparan)
Misnah pun bercerita, bahwa dulunya ia pun sering pergi melaut sejak masih gadis hingga menikah. Namu, sekarang, ia lebih memilih menjadi ibu rumah tangga dan menunggu suami pulang dari melaut.
ADVERTISEMENT
"Saya sudah capek ikut melaut, dari dulu, dari gadis. Kalau sekarang udah tua, saya di rumah aja," imbuhnya.
Keluarga Misnah semuanya adalah nelayan pencari kepiting di Medan. Bahkan 3 dari 4 orang anaknya mengikuti jejak suaminye menjadi nelayan. Misnah mengaku, ia dan suaminya hanyalah lulusan sekolah dasar. Begitu pula dengan ketiga anaknya. Sedangkan anak yang bungsunya, saat ini masih mengenyam pendidikan di kelas 6 SD.
"Karena sudah tahu cari duit itu, jadi malas sekolah. Sama, anak-anak ini juga gitu," jelasnya.
Dua anak Misnah sudah berumah tangga, dan anak ketiganya sudah tidak sekolah, terkadang ikut bantu ayahnya melaut. Namun untuk si bungsu, kata Misnah, ia ingin melanjutkan sekolahnya sampai ke tingkat menengah.
ADVERTISEMENT
Dari penuturan Misnah, dalam sehari suaminya mendapat Rp 50 ribu kadang sampai Rp 100 ribu. Uang tersebut diperoleh suaminya dari pengepul hasil tangkapan para nelayan.
"Tergantung harga. Kalau lagi mahal, untung banyaklah mereka. Kalau lagi murah, maka nyaris tidak menutup modal. Dan jika tak melaut, sama sekali tak ada pemasukan untuk biaya biaya hidup," ungkap Misnah.
Sekali melaut, Misnah menambahkan bahwa modal yang dikeluarkan untuk minyak dan umpan berjumlah Rp 30 ribu. "Jadi kalau seringnya ya kan dapat 50 ribu, modal 30, uang belanja ya Rp 20 ribu dapatnya," kata Misnah yang juga sudah memiliki 2 orang cucu.
Namun, Misnah masih bisa bersyukur. Karena rumah yang ditempati oleh Misnah dan keluarganya ini merupakan rumah milik pribadi, bukanlah sewaan. Begitu pula dengan perahu yang dimiliki oleh suaminya. Sehingga mereka tidak perlu memikirkan biaya sewa ini itu yang semakin memberatkan pengeluaran.
ADVERTISEMENT