Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kisah Maria Ressa, Jurnalis Pemenang Nobel yang Pernah Bertugas di Jakarta
8 Oktober 2021 19:33 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Jumat (8/10/2021), Maria Ressa dibuat terkejut. Dia diumumkan sebagai pemenang Nobel Perdamaian 2021.
ADVERTISEMENT
Ressa tidak sendirian. Ia memenangkan penghargaan bergengsi itu bersama jurnalis Rusia Dmitry Muratov.
Kepala Komite Nobel Berit Reiss-Andersen mengatakan, terpilihnya kedua orang itu karena mereka menjaga kebebasan berpendapat di negara masing-masing.
"Upaya yang dilakukan mereka adalah syarat bagi demokrasi dan perdamaian," ucap Reiss-Andersen seperti dikutip dari AFP.
Apa yang ditorehkan Ressa dan Muratov begitu membanggakan, khususnya bagi dunia jurnalistik. Sebab, mereka adalah jurnalis kedua yang mendapat penghargaan bergengsi itu.
Jurnalis pertama yang dihadiahi Nobel adalah wartawan Jerman Carl von Ossietzky pada 1935.
Kini nama Ressa dan Muratov sejajar dengan Barack Obama, Yasser Arafat, Mikhail Gorbachev, Uskup Belo, dan nama-nama besar, penerima Nobel tahun-tahun sebelumnya.
Jurnalis Veteran Penjaga Kebebasan Pers
Maria Ressa lahir di Manila pada 2 Oktober 1963. Wanita itu menjadi simbol kebebasan pers di bawah rezim Rodrigo Duterte.
ADVERTISEMENT
Ressa sudah lama malang melintang di dunia pers Filipina. Pada 2012, Ressa serta beberapa rekannya mendirikan Rappler.
Rappler menjadi media kritis di Filipina. Media ini juga mencuri perhatian lantaran gaya jurnalisme investigasi yang ditampilkan.
Lewat Rappler, Ressa ada di barisan depan pengkritik kebijakan tidak manusiawi Duterte terhadap pemberantasan narkotika. Duterte membantai para pengedar hingga pengguna narkoba tanpa payung hukum jelas.
Tindakan Duterte yang semena-mena dilawan Ressa. Lontaran kritik berlandasan HAM ditargetkan langsung oleh Ressa kepada rezim Duterte.
Tindakan berani Ressa tidak disukai pemerintah Filipina. Apalagi setelah Ressa dinobatkan sebagai Time Person of The Year pada 2018.
Surat penangkapan beberapa kali dilayangkan kepada Ressa. Jurnalis itu bahkan dijerat kasus pencemaran nama baik.
ADVERTISEMENT
Serangan pemerintah nyatanya tidak membuat Ressa gentar. Ia tetap maju untuk mengkritik kebijakan tidak manusiawi Duterte dan mempertahankan kebebasan pers di negaranya.
Pemerintah Filipina lalu mengeluarkan senjata pamungkas membungkam Ressa, Rappler dituduh dibiayai asing. Di waktu bersamaan kasus pencemaran nama baik oleh Ressa tetap berjalan. Dalam konstitusi Filipina, media lokal dilarang didanai oleh perusahaan asing.
Akhirnya Ressa dihukum enam tahun penjara oleh Pengadilan Filipina pada 2020. Karena mengajukan jaminan dan banding, Ressa belum dieksekusi.
Meski berhadapan dengan masalah hukum di Filipina, Ressa mengaku tak gentar. Ia menyatakan akan terus berjuang untuk kebebasan berekspresi dan jurnalisme independen.
"Kita harus terus bersinar. Kita perlu terus melakukan jurnalisme bertanggung jawab," tegas Ressa.
Bertugas di Jakarta
Selain punya segudang pengalaman selama di dunia jurnalistik Filipina, Indonesia ternyata dekat dengan Ressa.
ADVERTISEMENT
Ia pernah menjadi Kepala Biro CNN di Manila dan Jakarta. Selama bertugas di Jakarta , Ressa mengkhususkan diri pada pemberitaan terorisme.
Dia mereportase dan menginvestigasi jaringan terorisme Al-Qaeda dan milisi radikal di Asia Tenggara.
Di samping bertugas di CNN, media yang dipimpin Ressa, Rappler, pernah berdiri di Indonesia pada pertengahan 2010 lalu.
Live Update