Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kisah Nyak Sandang yang Jual Sepetak Tanah demi Pesawat Pertama RI
7 Maret 2018 9:46 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
ADVERTISEMENT
Dalam catatan sejarah Indonesia, merebut kemenangan saat melawan penjajahan Belanda tak terlepas dari perjuangan rakyat meraih kemerdekaan. Salah satu bukti nyata lahir dari jiwa masyarakat Aceh yang ikut menyumbangkan harta kekayaannya demi membeli pesawat terbang pertama untuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Aceh menjadi daerah yang memiliki peranan penting dalam memperjuangkan kemerdekaan. Melalui hasil sumbangan dan gotong royong bersama, Bung Karno menerima sumbangan dari masyarakat Aceh sebanyak 120 ribu dolar Singapura dan 20 kilogram emas murni. Sehingga Indonesia mampu membeli dua pesawat terbang yang diberi nama Seulawah R-001 dan Seulawah R-002, cikal bakal maskapai Garuda Indonesia Airways.
Nyak Sandang menjadi saksi sejarah sebagai orang yang ikut menyumbang harta kekayaannya sebanyak 100 perak dari hasil menjual sepetak tanah seluas 40 tanaman pohon kelapa.
Selasa pagi (6/3) kumparan (kumparan.com) menyambangi kediaman Nyak Sandang di Gampong Lhuet, Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya. Mengenakan baju batik dan peci sedikit lusuh, pria 91 tahun ini tersenyum lebar saat menyambut kedatangan kami. Meski penglihatan dan pendengaran tak lagi normal, namun semangat '45 masih terpancar saat Nyak Sandang menceritakan kisahnya.
ADVERTISEMENT
Nyak Sandang merupakan salah seorang dari sekian banyak masyarakat Aceh yang ikut menyumbangkan uang untuk pembelian pesawat. Ia begitu semangat saat mengisahkan perjuangannya bersama sang Ayah yang kala itu menjual tanah untuk membantu negeri. Ingatannya cukup kuat, saat bercerita, Nyak Sandang tampak masih begitu lancar seakan ia tak ingin melewati satu peristiwa bersejarah itu.
Nyak Sandang masih menyimpan rapi bukti dokumen berupa obligasi yang merupakan surat pernyataan utang dari pemerintah Indonesia terhadap dirinya. Sumbangan modal pembelian pesawat itu akan dikembalikan beserta dengan pemberian hadiah dalam kurun waktu 40 tahun.
Semua keterangan dalam surat itu bertuliskan dengan ejaan lama seperti Tanda Penerimaan Pendaftaran, Matjam Hutang, Djumlah Hutang, dan Wedana Kewadanan atau Bupati Kabupaten. Serta memuat jenis utang, jumlah, nama yang mendaftarkan, tahun dan tanda tangan penerima. Bagian isinya ditulis dengan pensil, sementara pada bagian tanda tangan menggunakan pulpen.
Nyak Sandang mengisahkan, kala itu ia masih berusia 23 tahun. Bersama orang tuanya dan seluruh warga, mereka berkumpul di Masjid Lamno. Sekitar pukul 11.00 WIB tahun 1948, seluruh masyarakat Lamno tumpah ruah memenuhi pekarangan masjid. Mereka berkumpul menyambut kedatangan gubernur Aceh Teugku Muhammad Daud Beureueh yang memimpin di masa itu.
ADVERTISEMENT
Maksud kedatangan Daud Beureueh atau yang disapa Ayah Daud oleh masyarakat saat itu untuk menyampaikan hasil musyawarah bersama Bung Karno yang terbang ke Tanah Rencong untuk meminta bantuan rakyat pada Juni 1948. Soekarno mengadakan pertemuan dan bermusyawarah bersama Daud Bereueh, para tokoh pejuang dan masyarakat pengusaha di Aceh Hotel.
Dalam pertemuan itu, Bung karno mencetuskan ide, sekaligus menantang jiwa patriotisme rakyat Aceh untuk meneruskan dan melestarikan perjuangan kemerdekaan. Bung karno dalam musyawarah itu mengharapkan terkumpulnya sejumlah dana perjuangan untuk membeli sebuah pesawat terbang yang sangat diperlukan.
Beberapa hari setelah musyawarah itu kemudian Daud Bereueh berkunjung ke Lamno. Di hadapan warga, Daud Bereuh menyampaikan hasil musyawarah bahwa Indonesia sedang membutuhkan pesawat dan masyarakat diminta ikut membantu menyumbangkan uang untuk pembeliannya. Masyarakat yang hadir di sana tumpah ruah, tidak hanya masyarakat biasa, tetapi juga dihadiri ulama yang menjadi panutan masyarakat di Lamno, yaitu Teuku Muhammad Idarus atau Abu di Sabang.
ADVERTISEMENT
“Setelah Daud Bereueh kembali ke Banda Aceh, masyarakat sepakat menyumbangkan uang membeli pesawat dengan kemampuan masing-masing. Kemudian Abu di Sabang juga merespons seruan tersebut dan turut mengajak seluruh masyarakat Lamno untuk saling menyisihkan uang seikhlasnya. Ulama Lamno itu menyampaikan bahwa masyarakat janganlah bersedih karena ikut menyumbangkan uangnya,” kata Nyak Sandang.
“Orang tua saya waktu itu memiliki luas tanah ukuran 40 batang pohon kelapa. Tanah dijual seharga Rp 100 uang hasil penjualan itu semuanya kita serahkan. Karena kami gembira sekali bisa ikut membantu,” tambahnya.
Sistem pengumpulannya, kata Nyak Sandang, tergantung pada kampung masing-masing. Setelah terkumpul diserahkan ke Bupati, uang itu tidak ada paksaan, seikhlasnya warga. “Semua masyarakat waktu itu sangat senang dan terharu bisa ikut menyumbang,” kenang Nyak Sandang.
ADVERTISEMENT
Bagi setiap warga yang telah ikut menyumbang, perjanjian yang disampaikan Ayah Daud dalam jangka 40 tahun sumbangan modal pembelian pesawat akan dikembalikan beserta dengan pemberian hadiah.
Kendati demikian, setelah 72 tahun Indonesia merdeka, negara belum membayar utang pada Nyak Sandang. Bahkan sebagai penyumbang modal pembelian pesawat, Nyak Sandang belum pernah sekalipun merasakan naik burung besi tersebut.
“Tidak mengharapkan jika suatu hari Indonesia akan membayar. Kami tidak mengharapkan balasan karena membantu dengan ikhlas dan memiliki kebanggaan tersendiri bisa ikut membantu negeri. Saya ikhlas tidak menuntut apa-apa, karena saya memiliki cucu dan anak. Kebaikan yang telah saya berikan dulu semoga bisa terbalaskan di masa anak dan cucu saya,” sebut Nyak Sandang.
ADVERTISEMENT
Di usia senjanya saat ini, Nyak Sandang hanya bisa menghabiskan waktu di rumah. Aktivitas sehari-hari hanya beribadah. Nyak Sandang berumah tangga pada usia 21 tahun, istrinya bernama Fatimah (88) dan memiliki 7 orang anak.
Kondisi Nyak Sandang dan istrinya tak sama seperti semangatnya, mereka kini menghabiskan waktu berbaring di rumah bersama anak dan cucu. Penglihatan Nyak Sandang sudah gelap akibat katarak, pendengarannya juga mulai lemah, begitu juga dengan Fatimah istrinya.
“Karena kondisi tubuh memang sudah tua begini sehari-hari hanya beribadah dan berzikir,” ucap Nyak Sandang, sembari tersenyum mengakhiri ceritanya.