Kisah Nyata Drama The Glory: Kenapa Bullying di Korea Marak Terjadi?

18 Maret 2023 16:48 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi bullying di Korea Selatan. Foto: CGN089/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bullying di Korea Selatan. Foto: CGN089/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Serial drama The Glory menjadi perbincangan hangat setelah season keduanya dirilis oleh Netflix pada awal Maret 2023. Cerita nyata dari korban bully menjadi inspirasi yang menggerakkan sang penulis The Glory, Kim Eun-sook, menuliskannya menjadi sebuah cerita serial.
ADVERTISEMENT
Dalam drama Korea ini, bullying digambarkan dalam sebuah ketimpangan kelas sosial. Moon Dong-eun, yang diperankan oleh aktris ternama Song Hye Kyo, menghabiskan masa mudanya untuk menyusun rencana balas dendam terhadap para pelaku perundungan dan kekerasan terhadapnya di masa sekolah.
Bullying yang dilakukan begitu sadis, sampai mencatok kulit, memukul dan mengisolasikannya. Rangkaian bullying itu dilakukan oleh para remaja dari kelompok kelas sosial yang lebih tinggi.
Di Korea Selatan, bullying tidak lagi menjadi sebuah tindakan yang dilakukan oleh sejumlah orang, melainkan sudah menjadi tradisi di beragam kelompok dan lingkungan.
Awalnya, bullying ini dikenal sebagai jipdan-ttadolim, yang artinya mengisolasi suatu kelompok. Namun, istilah baru muncul pada 1997 dan mulai populer pada 2001, bullying menjadi lebih dikenal dengan istilah wang-tta.
Song Hye Kyo di The Glory. Foto: Instagram/@netflixid
Kata wang-tta terdiri dari kata wang, yang berarti ‘raja’ atau ‘yang terbaik’ dan tta yang berarti ‘dikucilkan/diabaikan’. Sehingga kata wang-tta dapat diartikan sebagai perilaku mengasingkan seseorang dari suatu kelompok untuk dirundungkan dan dikucilkan.
ADVERTISEMENT
Wang-tta juga bisa dilakukan oleh kelompok yang berjumlah besar seperti satu kelas kepada satu siswa dilakukan secara konsisten dan berulang-ulang. Wang-tta juga tak hanya perundungan, namun juga sampai melecehkan dan mengabaikan keberadaan seseorang.
Pengamat sosial, Trent M Bax, mengungkap beberapa artikel sejak tahun 1960-an telah banyak memuat beragam masalah perundungan dan kekerasan di Korea Selatan. Artinya, fenomena bullying atau wang-tta di sekolah sudah marak terjadi sejak lama.
Dalam sebuah studi 'Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Cyberbullying' yang dikeluarkan oleh Badan Informasi Nasional yang berafiliasi dengan pemerintah pada tahun 2019, sebanyak 54,7 persen orang dewasa di Korea telah menjadi korban atau pelaku cyberbullying. Sementara bullying yang dilakukan kelompok remaja sebesar 26,9 persen.
ADVERTISEMENT

Di Korea, semuanya serba kompetisi

Ilustrasi di Korea. Foto: Travel man/Shutterstock
Orang Korea dalam kehidupan sehari-hari selalu bersaing dan menginginkan atau mendapatkan hasil terbaik, termasuk dalam mendapat pendidikan dan kelas sosial.
Menurut Dosen Bahasa dan Kebudayaan Korea Universitas Indonesia, Zaini, pendidikan dan ekonomi menjadi faktor paling dominan terjadinya bullying.
Dalam persaingan di dunia pendidikan, para orang tua di Korea bahkan rela melakukan apa saja agar anaknya bisa mendapat pendidikan yang baik. Mereka memberikan ekspektasi besar terhadap anak-anaknya.
Hal itu juga dilakukan agar mencapai kelas sosial yang tinggi atau mempertahankan kelas sosial yang telah dimilikinya. Fenomena semangat belajar yang sangat tinggi di Korea sampai mendapat julukan 'Demam Pendidikan'.
Fenomena ini juga telah diangkat dalam drama serial Korea lainnya berjudul Sky Castle dan mendapat sorotan publik, terutama di Korea sendiri karena sangat dekat dengan kehidupan nyata orang tua dan para anak di sana. Bahkan, bullying di Korea Selatan juga terjadi pada wajib militer yang diangkat dalam drakor populer Netflix bertajuk D.P.
ADVERTISEMENT
"Dalam kenyataannya tidak semua orang bisa mendapat keberuntungan dan tidak selamanya sesuai dengan harapan. Dari sinilah kemudian muncul orang-orang yang melakukan tindakan bullying atau perundungan dalam bentuk intimidasi, ancaman, atau tindakan yang merugikan orang lain, akibat 'kalah' dalam persaingan tersebut," ungkap Zaini kepada kumparan.
The Foundation for Preventing Youth Violence di Korea Selatan mengungkap, tak sedikit siswa yang menyaksikan bullying mengabaikan dan membiarkan tindakan tersebut.
Bahkan pada 2011, 62 persen siswa memilih mengabaikan tindakan bullying. Alasannya takut menjadi korban selanjutnya (28%) dan karena ketidakpedulian (25%).

Bullying di tengah kemajuan budaya Korea Selatan

Ilustrasi bendera Korea Selatan. Foto: railway fx/Shutterstock
Masyarakat Korea Selatan saat ini berorientasi pada kemajuan dan mengedepankan prestasi, terutama melalui sektor pendidikan dan pekerjaan. Negaranya menjadi salah satu yang paling modern dan maju saat ini hingga berhasil menyebarkan pengaruhnya dalam budaya popular yang dikenal sebagai Hallyu (Korean Wave).
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, situasi tersebut juga semakin menuntut masyarakat Korea menjadikan beragam aspek kehidupan sebagai area 'tinju' karena persaingan yang semakin tinggi.
"Mereka dituntut untuk sukses dan berhasil dalam meraih cita-cita yang diinginkan dan bisa berpartisipasi di dalam masyarakat yang penuh dengan persaingan," ujar Zaini.
Di saat yang sama, perubahan masyarakat yang semakin modern membuat masyarakat Korea merasakan perubahan yang begitu cepat.
"Istilah ini bisa kita analisis memakai pemikiran ahli sosiologi Perancis, Emile Durkheim tentang 'anomie', yang secara sederhana dapat diartikan keterasingan akibat terjadinya perubahan yang begitu cepat, namun tidak diimbangi dengan perilaku adaptif dalam menghadapi perubahan yang terjadi," imbuhnya.
Sehingga, menurut Zaini, bullying atau perundungan di Korea juga mengarah pada kesiapan menghadapi persaingan dalam industri budaya.
ADVERTISEMENT
Budaya populer mendapat tempat di dalam masyarakat Korea karena perkembangan industri budaya yang menuntut seseorang harus serba siap dan serba bisa untuk “bertarung”, baik secara lokal di dalam masyarakat Korea maupun secara global.

Belajar dari fenomena bullying di Korea

Menurut Zaini, karakteristik masyarakat Indonesia berbeda dengan Korea. Sebagai bangsa dengan latar belakang etnisitas yang beragam, masyarakat Indonesia sudah terbiasa hidup dalam kemajemukan.
Dengan melihat banyak keragaman di berbagai daerah di Indonesia, masyarakat Indonesia juga lebih dikenal menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Meski demikian, masalah maraknya bullying atau perundungan di Korea harus menjadi refleksi tentang kesadaran hidup bersama.
"Ini tentu berbeda dengan masyarakat Korea yang mengalami tekanan akibat transformasi masyarakatnya menjadi negara industri maju dengan segala karakteristiknya," tandasnya.
ADVERTISEMENT