Kisah Orang-Orang Jawa yang Menjadi Warga Negara Suriname

19 April 2018 16:24 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Imigran Jawa pekerja kebun di Suriname (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Imigran Jawa pekerja kebun di Suriname (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Di Amerika Selatan, terdapat sebuah negara yang tak begitu luas bernama Suriname. Negara yang berada di utara Brasil itu memiliki ikatan tersendiri dengan bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari jurnal seorang peneliti Universitas Leiden Belanda, Peter Meel, saat ini ada 15 persen atau 72 ribu penduduk Suriname adalah keturunan Jawa.
Cerita bermula pada akhir abad 19 lalu. Sekitar tahun 1890, saat Indonesia dan Suriname dijajah Belanda, pemerintah Kolonial mendatangkan buruh kontrak dari Jawa ke Suriname. Mereka didatangkan untuk menggarap perkebunan.
Saat kontrak mereka selesai, pemerintah Kolonial menawarkan 3 pilihan kepada mereka. Mereka bisa menambah kontrak baru, menjadi petani di sana, atau kembali ke negara asal. Sekitar 23,3 persen orang Jawa kala itu memilih untuk pulang.
"Karena perjalanan itu hampir 3 bulan dengan kapal, banyak yang tidak ingin pulang karena capek akhirnya mereka tinggal di sana sampai akhirnya beranak pinak dan keturunannya tinggal di sana," cerita Siti Asiyah, seorang diplomat Indonesia yang pernah ditempatkan di Paramaribo, Suriname, kepada kumparan (kumparan.com), Sabtu (14/4).
Siti Asiyah, Diplomat Indonesia  (Foto: Nesia Qurrota A'yuni/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Siti Asiyah, Diplomat Indonesia (Foto: Nesia Qurrota A'yuni/kumparan)
Hingga saat ini, diperkirakan keturunan Jawa di Suriname sudah memasuki genarasi ke 4 atau 5.
ADVERTISEMENT
Di antara orang-orang keturunan ini, beberapa masih ada yang memegang kuat adat dan kebiasaan Jawa. Salah satunya yang menarik adalah tata cara beribadah para muslim keturunan Jawa di sana.
Memang, orang Islam di sana cukup banyak. Namun, selain itu juga banyak orang Nasrani, Hindu, serta keturunan Cina.
"Jadi memang ada masjid dua kiblat ngetan (timur) dan ngulonan (barat), ngulon dan ngetan. Jadi sebenarnya secara geografis kalau di Suriname itu, kita itu salat harusnya kiblatnya ke arah timur," papar Asiyah.
Mereka yang salat menghadap barat pada dasarnya memegang erat tradisi dari nenek moyang.
"Begitu di sana mereka tetap bilang nenek moyangku bilang salatnya ke barat. Jadi masih ada masjid yang kiblatnya menghadap ke barat," ungkap Asiyah.
Peta Suriname, Mekkah, dan Jawa. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Peta Suriname, Mekkah, dan Jawa. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Untuk saat ini masjid yang menghadap ke barat sudah tidak sebanyak dulu. Beberapa orang di Suriname, mencoba mengubah arah salat yaitu menghadap ke timur atau menghadap kakbah.
ADVERTISEMENT
"Kalau ke barat itu kan di Indonesia, kalau di Suriname sesuai geografisnya ya harusnya ke timur. Tapi tetap ada yang kukuh kiblat ke barat," jelas Asiyah.
Terlepas dari dualisme kiblat salat di Suriname, di beberapa tempat nuansa Jawa memang masih kental. Beberapa orang di sana masih fasih berbahasa Jawa. Bahkan di antara mereka yang fasih adalah pejabat di sana.
"Selain pejabat pemerintah, LSM, stakeholders kan terus kayak perkumpulan kebudayaan, itu mereka kan masih pakai bahasa Jawa. Jadi saya sampaikan saya bisa berdiplomasi dengan menggunakan bahasa Jawa. Karena sebenarnya bahasa nasional mereka adalah bahasa Belanda. Tapi bahasa Jawa itu digunakan oleh orang keturunan Indonesia keturunan Jawa," terang Asiyah.
Menurut Asiyah, selain keturunan Jawa, di Suriname juga ada keturunan Sumatera dan Madura.
ADVERTISEMENT