news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kisah Pak Ogah di Pondok Pinang: Kaki Terlindas hingga Ditodong Pistol

6 November 2017 17:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Bunyi klakson yang nyaring, teriakan amarah pengendara, sampai todongan pistol sudah pernah dialami para pengatur lalu lintas alias 'Pak Ogah' di pertigaan Haji Muhi, Pondok Pinang, Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
Mereka menyadari bahwa pekerjaan itu sarat dengan terganggunya kesehatan dan ancaman dari pengguna. Tapi rupiah yang dikumpulkan dari pekerjaan jalanan itu, juga memang tak sedikit alias cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
"Nih, setengah jam aja udah dapet segini. Kalau dukanya mah banyak bro. Ha..ha..," ujar Andre (38), pemuda yang jadi Pak Ogah di Pondok Pinang, sambil menunjukkan receh Rp 50.000 saat ditemui wartawan kumparan (kumparan.com), Aditya Pratama, Senin (6/11).
Andre berbagi tugas dengan temannya untuk mengatur kendaraan yang hendak keluar masuk dari Jalan Haji Muhi. Jam kerjanya dibagi menjadi 3 shift, pagi pukul 05.30-10.30 WIB, siang sore pukul 10.30-19.00 WIB, dan malam pukul 19.00-23.00 WIB.
Andre bercerita, selain sering tersenggol kendaraan hingga ribut dengan pengendara, kakinya juga sering terinjak roda kendaraan yang melintas. Tak sampai situ, ketika hujan turun pun mereka tetap bekerja seperti biasa.
Pak Ogah di Pondok Pinang (Foto: Adit/kumparan)
Meski begitu, menjadi Pak Ogah bukanlah pekerjaan satu-satunya, Andre mengaku memiliki pekerjaan sampingan yaitu antar jemput anak sekolah. Selain itu, menurutnya pekerjaan menjadi Pak Ogah tidak serta merta mencari uang, tetapi juga mencari pahala.
ADVERTISEMENT
"Ya sederhana aja sih, nyari duit sekalian nyari pahala juga. Masa ada jalan macet gini enggak ada yang ngurus," ucap Andre sambil menahan laju mobil agar dari arah lain bisa melintas.
Sama halnya dengan rekan kerjanya yakni Taufik (28), yang mengaku berprofesi sebagai Pak Ogah untuk istrinya yang kini sedang hamil dan putri balitanya. kumparan menanyakan pendapatnya mengenai Supeltas (Sukarelawan Pengatur Lalu Lintas) yaitu Pak Ogah yang diberi seragam dan dipekerjakan sukarela oleh polisi.
Taufik menolak diberikan seragam karena itu akan membuatnya terikat dengan dan tidak lagi fleksibel. Namun, apabila diberikan kesempatan untuk berkompromi, mereka akan mempertimbangkannya lagi.
Pak Ogah di Pondok Pinang (Foto: Adit/kumparan)
Secara bergantian bercerita bahwa menjadi Pak Ogah tak melulu menenrima uang, mereka juga kerap kali menerima imbalan berbentuk makanan.
ADVERTISEMENT
"Ya ada sih yang ngasih makanan, misal siang ada 3 yang jaga ya udah dikasih 3 deh. Biasanya hari Jumat tuh banyak yang ngasih," ujar Andre.
Penghasilan menjadi Pak Ogah cukup menjanjikan, tapi itu pun langsung dibagi anggota tim berjumlah 6 orang dan dipotong untuk kas.
Uniknya, mereka menerapkan sistem kas, uang kas ini nantinya akan digunakan untuk kegiatan refreshing mereka seperti pergi ke Anyer atau tempat wisata lain. Tidak hanya itu, uang kas yang terkumpul juga sering digunakan untuk kegiatan santunan anak yatim piatu.
Pak Ogah di Pondok Pinang (Foto: Adit/kumparan)