Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
***
Sabtu jelang subuh, 28 Oktober 2023, suami Mirna baru saja pulang dari tongkrongannya. Bau alkohol menyengat dari sekujur tubuh lelaki 28 tahun itu meski ia berkali-kali bilang ke Mirna bahwa ia tak ikut menenggak miras.
Mirna tentu tak percaya. Begitu matahari terbit, ia langsung menemui tetangganya yang juga teman suaminya. Ia hendak memastikan apakah suaminya ikut mabuk-mabukan.
“Lo abis dari mana? Minum, ya?” tanya Mirna kepada kawan suaminya itu.
“Iya,” jawab si teman, sambil mengiyakan pula suami Mirna ikut minum alkohol.
Mendengar jawaban itu, Mirna pulang menemui suaminya. Ia mengancam akan kembali ke rumah orang tuanya.
“Pulangin aja gue ke orang tua kalau emang kaya gini terus,” kata Mirna di depan suaminya sambil menggendong bayi mereka yang masih dua bulan.
Ucapan Mirna membuat si suami naik pitam. Ia membuang barang-barang milik Mirna keluar rumah, bahkan mendorong Mirna dan anaknya hingga membentur tembok. Tubuh Mirna dan bayinya sampai merah gegara benturan itu.
Kekecewaan Mirna kepada si suami memuncak. Selama ini, perempuan 27 tahun itu memilih mempertahankan hubungan mereka tiap kali mendapat kekerasan, namun kali ini sudah kelewatan karena sang anak ikut terluka.
“Kalau dia nggak menyentuh (menyakiti) anak aku, mungkin aku masih bertahan karena emang dari zaman pacaran, aku selalu bertahan sama dia,” ucap Mirna yang meminta namanya disamarkan.
Mirna mengenal suaminya empat tahun lalu dari seorang teman. Kala itu, pria tersebut memperlakukannya dengan sangat baik. Tiga tahun pacaran, keduanya menikah pada Maret 2023 dan dikaruniai seorang anak.
Sayangnya, baru juga menikah seumur jagung, watak buruk si suami makin terlihat. Menurut Mirna, suaminya emosional, manipulatif, munafik, dan tidak bertanggung jawab karena menelantarkannya dan tidak memberinya nafkah.
Namun semua keburukan itu tak pernah Mirna ceritakan ke keluarganya, hingga pertikaian dan kekerasan yang ia alami pada 28 Oktober tahun lalu itu melunturkan semua kesabaran Mirna.
Cerita Mirna: Dicekik saat Masih Pacaran
Awal berpacaran, semua terasa indah bagi Mirna. Pacarnya—yang kini suaminya—rela menempuh jarak yang lumayan jauh untuk menjemputnya sepulang kuliah di Jakarta Timur, dan mengantarkannya ke rumahnya di kawasan Koja, Jakarta Utara.
Perhatian-perhatian semacam itu membuat Mirna terbuai, termasuk hal sepele seperti “Upload foto bareng aku [ke medsos] saat baru kenalan.”
Nyatanya, hari-hari bahagia itu tak berlangsung lama. Pada tahun pertama pacaran saja, Mirna sudah mendapat kekerasan verbal dari pacarnya.
“Masalah sepele, kayak aku minta jemput dari kampus, terus dia bilang iya. Tapi pas aku sampai halte, aku telepon dia, enggak diangkat-angkat. Kan kesel juga [nunggu]. Lalu dia [datang jemput] sambil marah-marah (berkata kasar),” kata Mirna, mengilas balik ke belakang.
Tahun kedua pacaran, Mirna mulai menerima kekerasan fisik dari pacarnya.
“Pas berantem hebat, dia geregetan sama aku terus cekik aku,” ujar Mirna bercerita kepada kumparan, Jumat (10/5).
Berhubung Mirna tak dekat dengan orang tuanya, ia menceritakan pengalaman buruknya kepada sahabat-sahabatnya. Ia juga sempat minta pertimbangan mereka soal kelanjutan hubungannya dengan si pacar.
Mirna dan pacarnya sempat putus saat pernikahan di sudah depan mata. Namun, sesudah putus, Mirna mendapat kabar bahwa mantan pacarnya stres.
Ia datang menjenguk, dan melihat banyak botol miras bertebaran di rumah si pacar. Mirna pun luluh melihat kondisi si mantan yang berantakan, dan memutuskan melanjutkan rencana pernikahan mereka.
Sayangnya, keputusan justru berakhir buruk bagi Mirna. Belakangan, setelah menikah, Mirna sadar suaminya betul-betul manipulatif. Tiap bertengkar, ia selalu menyudutkan Mirna.
“Aku baru sadar sekarang. Ternyata selama ini dia lho yang salah. Tapi waktu pacaran, kayak aku terus yang salah,” ucap Mirna.
Hari demi hari, borok suami Mirna makin kentara. Ia hampir selalu pulang tiap subuh. Semalam suntuk, suaminya sibuk main game dan kongko bareng teman-temannya. Sementara ketika mentari terbit dan kebanyakan orang bersiap berangkat kerja, si suami tidur pulas sampai tengah hari.
Bangun siang atau sore tiap harinya bukan masalah buat dia, karena suami Mirna itu pengangguran. Ia tak punya pekerjaan apa pun. Tidak juga kerja serabutan sekadar untuk mencari sesuap nasi buat Mirna.
Bangun tidur, si suami bahkan sudah langsung balik main game, bukannya berusaha cari kerja untuk menghidup Mirna yang kala itu tengah mengandung.
Parahnya, tiap kalah main game, emosi lelaki itu jadi tak terkendali. Tak jarang ia mengeluarkan kata-kata kasar kepada Mirna, hingga Mirna tak berani bicara apa pun kala suaminya itu kumat.
“Dia kalau main game enggak bisa satu match, harus berkali-kali. Jadi kalah berkali-kali. Nah, itu harus menang dulu, baru berhenti main,” tutur Mirna, menyinggung obsesi tak sehat si suami yang ingin menjadi gamer sampai mengabaikan hal lain, termasuk istrinya.
Suatu ketika, Mirna memergoki suaminya berkirim pesan dengan seorang perempuan. Mirna membaca pesan WhatsApp itu saat si suami masih tidur. Dalam chat itu, si suami mengajak perempuan tersebut untuk datang ke rumah kontrakannya yang sedang kosong.
“Lu sendiri kan ya? Sini, gue jemput ke rumah,” kata Mirna menirukan isi chat itu. “Dia ngajak perempuan lain ke rumah,” imbuhnya.
Namun, ketika ditanya Mirna, si suami selalu berkilah, menyebut chat itu hanya bercanda dan perempuan di chat itu adalah temannya.
Tak cuma ketahuan merayu perempuan lain, suami Mirna juga pernah ketahuan bermain judi online. Parahnya, hal itu terjadi menjelang kelahiran sang anak.
“Dia ketawa-ketawa aja [waktu ditanya],” kata Mirna.
Sampai akhirnya si suami menunjukkan sendiri tabiat buruknya kepada orangtua Mirna saat bulan puasa 2023. Ketika itu keuangan Mirna—yang tak pernah dinafkahi suaminya—kembang kempis. Usaha cetak foto yang digeluti Mirna sejak kuliah tak mampu menutupi kebutuhan hidupnya. Maka, Mirna minta izin kepada orang tuanya agar ia dan suaminya diperbolehkan menumpang makan (sahur dan buka) sepanjang Ramadan.
Begitu pun, suami Mirna tak menunjukkan iktikad baik untuk setidaknya membantu pekerjaan rumah. Ia tetap sibuk main game seharian tanpa rasa bersalah meski tak dapat memenuhi keperluan hidup keluarganya.
Pada Ramadan itulah keluarga Mirna mulai mengetahui watak buruk suami Mirna. Pada akhirnya, Mirna memutuskan untuk berpisah dari suaminya usai ia dan anak bayinya didorong sampai membentur tembok.
Setelah meninggalkan suaminya dan kembali ke rumah orang tuanya, adik Mirna sempat datang ke rumah kontrakan si suami untuk mengambil barang-barang Mirna. Di situ, ia pun cekcok dengan suami Mirna—yang saat ini dalam proses diceraikan Mirna.
Waktu adik Mirna datang, lelaki itu bukannya menyambut dengan sopan, tapi malah meminta keluarga Mirna mengembalikan barang-barang yang sempat ia berikan untuk Mirna selama menikah, misalnya kompor dan alat-alat kebutuhan rumah tangga.
“Adek aku berantem sama dia. Aku disuruh bayar Rp 14–15 juta,” ujar Mirna.
Rumah tangga seumur jagung yang penuh pertikaian membuat Mirna trauma berat dan tak berniat menjalin hubungan dengan lelaki untuk saat ini. Ia hanya ingin fokus membesarkan anaknya.
Kini, tanpa suami yang selalu menyusahkan dan menyakitinya, Mirna merasa kehidupannya jauh lebih baik. Ia bahagia dan percaya rezeki anaknya sudah diatur Yang Kuasa.
“Beda banget [perasaanku sekarang]. Sesimpel aku [senang] bisa beli skin care sendiri. Pas sama dia, aku enggak dibeliin apa-apa,” kata Mirna.
Cerita Lisa: Dipaksa Direkam saat Bersetubuh
Lisa, seorang perempuan 25 tahun di Lampung, juga mengalami kekerasan psikis dari suaminya. Lisa ialah santriwati di sebuah ponpes di Lampung yang difatwa sesat oleh MUI pada 2015 namun ternyata tetap beroperasi hingga kini.
Suami Lisa yang berusia 27 tahun ialah imam di ponpes tersebut. Di ponpes itu pula Lisa pertama kali bertemu suaminya. Mereka menikah setelah masa perkenalan (taaruf) yang singkat.
Sebelum menikah, Lisa sempat bertanya-tanya kepada lelaki itu soal ajaran di ponpes yang menurutnya janggal. Namun, tiap bertanya, Lisa selalu dimarahi.
“Dia marah, bilang, ‘Kamu ini harusnya nurut,’” kata Lisa kepada kumparan.
Meski tak sreg dengan perilaku lelaki itu, Lisa akhirnya tetap bersedia menikah dengannya. Status pimpinan pesantren cukup meyakinkan bagi Lisa kala itu.
“Saya kayak tutup mata karena percaya saja sama agama dia. Soalnya dia imam ponpes,” ujar Lisa.
Lisa dan suaminya kemudian membuat perjanjian pranikah. Namun belakangan, Lisa baru sadar bahwa perjanjian itu tak punya kekuatan hukum karena tidak hitam di atas putih. Sebatas lisan saja.
Tahun 2022, Lisa menikah di ponpes. Malang tak dapat ditolak, suaminya ternyata temperamental. Ia gampang emosi, sering berbohong, bahkan jarang menafkahi Lisa.
“Semua yang ada di perjanjian [lisan] pranikah, dia langgar,” kata Lisa.
Menurut Lisa, suaminya sering bilang punya banyak utang pernikahan. Alasan itulah yang dipakai untuk tidak menafkahi Lisa. Namun, Lisa curiga dan mencari tahu kondisi keuangan suaminya.
Dari penelusuran diam-diamnya, Lisa mengetahui bahwa suaminya bukannya tak punya duit, tapi duit itu ia pakai untuk keperluan dan kesenangan pribadi.
“Kayak buat beli rokok atau upgrade spare parts laptop dia,” jelas Lisa.
Malahan, ujar Lisa, ia pernah melihat langsung kegenitan suaminya. Kala itu mereka sedang pergi bersama, dan si suami tiba-tiba mencubit paha perempuan lain di depan mata Lisa.
Tumpukan keanehan itu tak bisa lagi dipendam Lisa. Ia menceritakan tabiat buruk suaminya kepada sahabatnya. Sialnya, suaminya kemudian mengetahui hal itu dan mengamuk.
“Pas dia tau [aku cerita ke orang lain], hape aku dibanting,” kata Lisa.
Namun yang paling parah adalah ketika suaminya beberapa kali memaksa berhubungan intim sambil direkam kamera ponsel. Kondisi itudiperkeruh dengan ibu mertuanya yang menyindir-nyindir Lisa agar menuruti kemauan suaminya. Dan Lisa tinggal bersama ibu mertuanya. Terang Lisa merasa tak nyaman.
“Padahal saya bilang ‘Enggak. Beneran saya enggak mau.’ Tapi tetap dipaksa [suami], dibilang, ‘Ayolah, ayolah [direkam],’” ujar Lisa.
Situasi absurd yang membuat Lisa tak nyaman itu berlangsung hingga usia kehamilannya genap enam bulan. Setelahnya, ia memutuskan keluar dari rumah ibu mertuanya dan menggugat cerai suaminya.
Sejak saat itu, Lisa berjuang mencari duit sendiri sendiri. Untuk kebutuhan sehari-hari, ia memakai uang tabungan dan mencoba berjualan minuman secara online. Mirisnya, saat sang anak lahir, suami Lisa malah makin jarang menafkahi.
“Dia kasih nafkah suka-suka aja. Kadang Rp 50 ribu [per minggu], kadang Rp 400 ribu, tapi seringnya nggak ngasih,” kata Lisa.
Setelah menceritakan semua keluh kesahnya selama tinggal bersama sang suami yang kurang dari setahun, pengadilan agama setempat menyetujui gugatan cerai Lisa.
Lisa menghabiskan uang sekitar Rp 1,6 juta untuk biaya perceraiannya. Ia sempat ditawari jasa pengacara sebesar Rp 5 juta, namun memilih untuk mengurus perceraiannya sendiri karena ia tak punya banyak uang.
Setelah anaknya lahir, Lisa sempat mengundang bekas suaminya untuk membantu acara syukuran. Namun setelahnya si mantan menghilang tanpa kabar, tak menjenguk-jenguk anak mereka.
Tentu saja, itu juga merupakan pernyataan gamblang bahwa si mantan suami tidak hendak memenuhi tanggung jawabnya atas anak tersebut.
Bertemu Harapan setelah Bercerai
Seperti Mirna yang bahagia usai bercerai, hal serupa dirasakan Lisa. Awalnya, ia berinisiatif mencari layanan konseling di salah satu rumah sakit. Ia pun sempat menceritakan semua prahara rumah tangganya kepada psikolog.
Berikutnya, ia mengunjungi para kerabatnya yang telah lama tak bertemu dengannya di Jakarta dan bandung. Setelah bertegur sapa, mengobrol panjang, dan tinggal bersama mereka, Lisa merasa psikisnya membaik secara signifikan. Inilah dampak dukungan dari sanak saudara.
Tentu saja trauma masih tersisa di diri Lisa. Ia masih belum sanggup bertatap muka langsung dengan lelaki di luar keluarganya. Tiap kali melihat laki-laki, ia selalu ketakutan.
Menurut Lisa, kasus KDRT psikis yang ia alami ini tak ia laporkan ke Komnas Perempuan karena ia tidak tahu informasi soal itu; tidak tahu pula cara menghubungi mereka. Ia sama sekali tak tahu harus bagaimana atau ke mana saat menghadapi KDRT.
“Memang pemerintah punya layanan apa yang tidak susah dijangkau?” tanya Lisa polos.
Ia berharap, setidak-tidaknya pemerintah dapat memberikan bantuan hukum cuma-cuma semacam pengacara probono (gratis) untuk korban KDRT yang menggugat cerai suaminya.
Psikolog klinis Putri Rahayu menyarankan kepada para korban KDRT untuk mendatangi keluarga dekat mereka guna mendapatkan bantuan. Namun, jika keluarga tak mengulurkan tangan untuk membantu, korban perlu mendatangi psikolog atau RT/RW setempat.
Korban KDRT juga dapat datang mengadu ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di tingkat kabupaten/kota terdekat; atau menelepon ke call center Kementerian PPPA , SAPA 129; atau berkirim pesan WhatsApp ke hotline 08111129129.