Kisah Paran Melawan Penyakit Resistensi Obat Sejak 2012, Semua Nyaris Sirna

12 Oktober 2022 19:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Paran, penyintas Resistensi Obat. Foto: Andin
zoom-in-whitePerbesar
Paran, penyintas Resistensi Obat. Foto: Andin
ADVERTISEMENT
Resistensi Antimikroba (AMR) atau terhadap obat-obatan serta antibiotik menjadi ancaman dan bisa menjadi pandemi senyap. Sebab, penyintasnya sudah cukup banyak dan berpotensi terus bertambah.
ADVERTISEMENT
“Jujur, menjalani semua ini nggak mudah. Saya pikir nggak akan beda dengan menjalani pengobatan sebelumnya, ternyata tidak. Semuanya jauh lebih berat,” ujar Paran Sarimita Winarni dalam diskusi virtual, Rabu (12/10).
Paran hadir sebagai salah satu pembicara yang berkesempatan membagikan kisahnya sebagai penyintas TBC RO (Resisten Obat). Perjuangan Paran dimulai pada tahun 2008, ketika ia mulai merasakan gejala TBC.
"Jadi pada waktu itu saya mengalami gejala seperti di antaranya batuk terus-menerus, berkeringat di malam hari, juga nafsu makan saya hilang, juga berat badan yang terus menurun," tutur dia.
Berdasarkan saran salah seorang tetangganya, Paran memilih untuk memeriksakan diri ke salah satu klinik. Dengan hanya berbekal hasil rotgen, Paran divonis menderita TBC dan harus mengonsumsi obat selama 2 tahun.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hasil rotgen tersebut, Paran juga dinyatakan memiliki flek di paru-parunya. Saat pernyataan sembuh diterimanya dari dokter di klinik tersebut, berdasarkan hasil rontgen.
“Saat ini saya sadar bahwa apa yang saya alami dulu adalah kesalahan yang tidak sesuai standar, baik standar nasional maupun internasional,” ujarnya.
Setelah dinyatakan sembuh, Paran kembali menjalankan aktifitasnya dan bekerja seperti biasa. Namun, pada 2011, TBCnya kembali. Kali ini bahkan lebih parah.
“Saya batuk darah pada saat itu,” jelasnya.
Kembali Paran menjalani pengobatan di klinik dan dokter yang sama. Kali ini, dokter tersebut melakukan tindakan yang dianggap cukup berisiko, yakni menambah dosis obat yang diberikan hingga 2 kali lipat.
Meskipun telah menambah dosis obat, tidak ada perbaikan yang dirasakan Paran. Saran tetangga lainlah yang membawanya berobat pada Puskesmas terdekat. Alasannya, karena yang sembuh setelah berobat di Puskesmas, banyak.
ADVERTISEMENT
Saat melakukan pengobatan tahap 2 di Puskesmas, Paran mendapat suntikan streptomycin yang harus disuntikkan sebanyak 60 kali. Hal ini, menurutnya, sangat menyiksa.
“Saya harus datang tiap hari, saya disuntik, kanan kiri, selama 60 kali.” tuturnya.
Selama menjalani pengobatan suntik tersebut, atas saran pihak Puskesmas, Paran melakukan pemeriksaan Gen Expert di Rumah Sakit Harapan karena adanya indikasi resistensi obat pada saat itu.
Positif Resisten Obat
Pada tahun 2012, Paran dinyatakan positif resisten obat. Ia harus menghentikan rangkaian pengobatan yang telah dilakukannya di Puskesmas dan menerima serangkaian pengobatan baru di Rumah Sakit Harapan.
Rangkaian pengobatan yang tadinya dianggap tidak jauh berbeda dengan yang Ia jalani sebelumnya, ternyata jauh lebih berat.
“Efek samping yang harus saya terima pada saat itu membuat saya tidak bisa lagi kerja. Selain itu, mental saya juga cukup terganggu,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Selain beban dari pengobatan tersebut, Paran juga terpaksa harus berhenti bekerja. Biaya tidak terduga yang tidak dicover seperti transportasi dan makanan penunjang juga harus ditanggungnya.
Ini tentu bukan impian hidupnya. Paran harus menjalani pengobatan selama 20 bulan. Kondisi pengobatan TBC pada saat itu juga mengharuskan penderitanya menerima suntikan selama jangka waktu yang ditentukan.
“Tahun itu 2012 juga pengobatan TBC RO juga masih menggunakan suntik, jadi bisa dibayangkan beratnya setiap hari datang, disuntik kanan kiri selama 7,5 bulan waktu itu, dan efeknya juga nggak main main,” katanya.
Setelah sukses dinyatakan sembuh pun, perjuangannya belum usai. Stigma masyarakat terhadap pasien dan penyintas TBC membuat Paran merasa rendah diri.
Kehadiran Yayasan Pejuang Tangguh (PETA) membuat Paran merasa diterima di lingkungan. “Saya merasa mereka semua mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang pasien TB RO.” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Saat ini, Paran bekerja sebagai manager kasus untuk TB RO di sebuah rumah sakit rujukan TB RO di Jakarta. Serta bergabung menjadi legal komunitas. Tugasnya membantu teman teman, pasien maupun penyintas TB RO untuk bisa mendapat haknya sebagai warga negara dan manusia.
“Hari ini saya berdiri di sini untuk memberi membagi cerita, dan saya juga ingin semua orang lebih tau tentang apa dampak dari resisten antimikroba di dalam hidup seseorang, ini gak mudah,” ujar Paran.
“Jadi, dengan meningkatkan awareness dari masyarakat umum dan petugas kesehatan tentang AMR, juga pengobatan yang sesuai standar, saya berharap tidak akan lagi ada cerita Paran selanjutnya,” tukasnya.
Reporter: Andin Danaryati