Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Kisah Pasutri Pengamen Gerobak 'Sound Horeg', Mencari Rezeki Keliling Ibu Kota
16 April 2025 11:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
ADVERTISEMENT
Jalanan masih basah usai hujan mengguyur kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Selasa (15/4) malam. Di antara riuh suara kendaraan, terdengar kerasnya alunan musik dangdut dari spiker yang dibawa sepasang suami istri menggunakan gerobak.
ADVERTISEMENT
Pras (45) sang suami berperan memegang kemudi gerobak di depan. Sedangkan Ai (40) setia mendampingi sambil tangannya memegang kantong plastik tempat mengumpulkan uang.
Tak lama berjalan, keduanya lalu mampir di warung warkop untuk melepas lelah dan dahaga.
"Hari-hari kayak begini, berangkat siang jam 1. Sebentar lagi saya pulang jam 9, jam 10 [malam]," ujar Pras sambil menikmati secangkir kopi di warkop yang ada di Jalan Timbul, Jagakarsa.
Pras sudah 20 tahun melakoni kerjaan sebagai pengamen gerobak bersuara menggelegar atau "sound horeg". Bersama istri, dia membawa 2 spiker berukuran 12 dan 15 inci.
Suara keras dari spiker membuat musik yang mereka setel terdengar nyaring dari kejauhan.
Spiker dan gerobaknya itu dia panggil 'Setia Nada'. Spiker itu bukan milik pribadi. Dia bekerja untuk seorang bos yang tinggal di Depok. Setiap hari dia harus menyisihkan Rp 70 ribu untuk setoran sewa.
ADVERTISEMENT
"Nyetor Rp 70 ribu," katanya.
Kalau sedang mujur, Pras bisa membawa pulang Rp 300 ribu. Dia bekerja 6 hari dalam seminggu dan libur pada hari Kamis.
Sebelum menjadi pengamen gerobak, Pras merupakan pengamen orkes bersama dengan teman-temannya. Pras memegang gitar, sedangkan temannya meniup seruling dan menabuh gendang.
Namun seiring berjalannya waktu, orkes bersama temannya itu tak banyak untung. Akhirnya dia memilih banting setir sebagai pengamen gerobak.
"Ya apaan aja dah, yang penting kita, mah, buat nyari nafkah buat keluarga," ujarnya.
Keliling Ibu Kota 9 Jam
Dua dekade sudah Pras dan istrinya menarik gerobak berspiker, mengamen dari sudut Pondok Cabe sampai ke jalanan Jagakarsa.
Di Jagakarsa, Pras punya rekan sesama pengamen gerobak yang jumlahnya sekitar 15 orang. Semua gerobak mereka dititipkan di sebuah rumah di Jalan Jamblang, milik Rizky (36), yang disebutnya sebagai seorang kawan. Pras membayar Rp 5 ribu/hari untuk menitipkan 'Setia Nada' di pul itu.
ADVERTISEMENT
"Dari rumah [di Bojong Gede naik KRL] jam 11. Saya ke lapangan dulu, ngambil aki. Tempat bos. Karena nyalain spiker pake aki. Saya nitip alat doang ini [di tempat Rizky], aki saya bawa pulang. Nyetrum di tempat bos," terangnya.
Untuk rute jalan mereka sendiri yang tentukan. Keduanya menghindari melewati rute yang sama setiap harinya agar pemberi uang tak bosan.
Dia mengaku bingung saat ditanya sehari bisa berjalan berapa kilometer. Ia hanya menyebut sehari itu dia berjalan kaki kurang lebih 9 jam.
Suka Duka Ngamen 'Sound Horeg'
Banyak suka duka yang dialami, mulai dari cuaca yang tak menentu hingga respons orang-orang sekitar yang merasa terganggu dengan kerasnya suara dari spiker.
"Ada pernah [diteriakin 'Berisik']. Ya namanya di jalanan kalau orang lagi kayak gimana gitu kan. Paling getirnya ya ada yang ngomong gitu. Ada dibanting pintu ada [saat minta-minta]," katanya menceritakan dukanya menggeluti pekerjaan ini.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Pras menyebutkan ada momen menggembirakan saat 'Setia Nada' disewakan untuk mengiringi acara. Dia memberikan tarif Rp 100 ribu per jamnya. Istrinya bisa berperan jadi biduan bila diminta.
"Kemaren saya syuting inian, Teh Poci di Tangerang. Saya udah mau syuting lagi nih ke Bandung, tapi nggak mau (soalnya) 3 hari. Saya enggak mau kejauhan. Saya maunya pulang hari," tuturnya.
Setelah kopi di gelas habis, tenaga kembali terkumpul, Pras dan Ai kembali melanjutkan perjalanan ke pul lalu pulang ke rumah.
Sepanjang jalan menuju pul di Jalan Jamblang itu, ada yang memberi mereka uang, tapi ada juga yang tidak.
Dapat Rp 140 Ribu
Setelah sampai di pul, Ai mengatakan mereka mendapatkan uang hanya untuk menutup setoran mereka.
ADVERTISEMENT
"Hari ini cuma Rp 140 ribu," ujar Ai. Dari uang ngamen itu, mereka akan membayar biaya sewa "sound horeg" Rp 70 ribu dan uang sewa pul Rp 5 ribu.
Berapa pun yang mereka kantongi, Pras dan Ai selalu bersyukur.
Menyimpan di Pul
Sesampainya di pul, Pras langsung mencopot aki dari 'Setia Nada'. Di akinya ada tulisan 'Pras', tanda bahwa benda itu miliknya.
Dia kemudian mendorong gerobak ke halaman belakang rumah Rizky. Di sana 'Setia Nada' ditinggal bersama 15 gerobak lainnya, sebelum kembali beraksi esok hari.
"Saya [jadi] pul aja, dapet uang dari biaya penitipan itu, Rp 5 ribu," kata Rizky saat dijumpai bersama Pras.
Setelah semua urusan di pul selesai, Pras dan Ai naik angkot ke Depok, rumah bosnya, untuk setor uang sewa Rp 70 ribu.
ADVERTISEMENT
Dari sana mereka akan ke stasiun KRL Pondok Baru untuk kembali pulang ke rumah di Bojong Gede, Bogor.
Potret kehidupan ini mereka lakukan setiap hari untuk menghidupi keluarga kecil mereka. Keduanya punya anak perempuan yang masih duduk di bangku SMP.
"Ya, dicukup-cukupin. Namanya usaha begini, apalagi (tadi) hujan, kan," kata Pras dengan penuh syukur.