Kisah Pelantikan Tutut sebagai Mensos dan Lengsernya Soeharto

24 Juli 2024 17:43 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan presiden Indonesia Soeharto (tengah) berjalan bersama putrinya Siti Hardiyanti Rukmana "Tutut", dan anggota keluarga lainnya dalam perjalanan ke tempat pemungutan suara di Jakarta, 05 April 2004. Foto: Arif Ariadi/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Mantan presiden Indonesia Soeharto (tengah) berjalan bersama putrinya Siti Hardiyanti Rukmana "Tutut", dan anggota keluarga lainnya dalam perjalanan ke tempat pemungutan suara di Jakarta, 05 April 2004. Foto: Arif Ariadi/AFP
ADVERTISEMENT
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sempat bicara soal kondisi politik saat ini yang dinilainya banyak perubahan. Ia lalu menyinggung soal kepemimpinan Presiden Soeharto dan Jokowi.
ADVERTISEMENT
Menurut Cak Imin, kejatuhan Soeharto terjadi saat putri sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut diangkat menjadi Menteri Sosial (Mensos). Sementara itu, anak Jokowi yaitu Gibran Rakabuming Raka kini menjadi wapres terpilih dan aman-aman saja.
"Di dalam negeri kita mengalami satu perubahan yang dramatis. Dulu kita tidak pernah membayangkan Pak Harto yang sekuat itu saja, baru mengangkat Mbak Tutut jadi Menteri Sosial aja sudah jatuh, hari ini Pak Jokowi bisa menjadikan anaknya presiden dan aman-aman saja. Apa jadi apa? Wakil presiden. Tadi ngomong apa? Wakil presiden. Aman-aman saja," kata Cak Imin dalam acara Mukernas PKB ke-26 di JCC, Senayan, Jakarta, Selasa (23/7).
Lantas, seperti apa kisah kejatuhan Soeharto dan pengangkatan Tutut sebagai mensos?
ADVERTISEMENT

Gelombang Besar Penolakan Soeharto

Pemerintahan Soeharto menuai kritik dari masyarakat. Salah satu yang terbesar adalah gerakan Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari). Demo tersebut terjadi pada 15 sampai 16 Januari 1974 yang diinisiasi oleh mahasiswa.
Kemunculan protes ini adalah reaksi dari kedatangan PM Jepang, Kakuei Tanaka, persoalan kesejahteraan, ketidakmerataan penyediaan kebutuhan dasar di masyarakat hingga harga-harga yang tinggi. Demo pun berujung ricuh dan puluhan mahasiswa tewas.
Mahasiswa Universitas Trisakti berunjuk rasa saat peringati 24 tahun Tragedi 12 Mei 1998, di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (12/5/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Usai peristiwa Malari, Orde Baru semakin represif terhadap mereka yang ingin mengekspresikan pendapat. Para intelektual ditangkap, sejumlah surat kabar hingga majalah dibredel, termasuk Indonesia Raya. Wartawan yang mulai mengkritisi pemerintah mulai masuk daftar hitam.
Masih dalam buku Reformasi dan Jatuhnya Soeharto (2012), ketimpangan semakin terlihat kontras. Hal ini pun memicu sentimen soal kolusi, korupsi, nepotisme hingga monopoli. Kesenjangan kemiskinan semakin tampak. Ketidakberhasilan pembangunan di Indonesia semakin menjadi bulan-bulanan masyarakat mengkritisi Soeharto.
Presiden ke-2 Soeharto bersama putri sulungnya Siti Hardijanti atau Tutut menjelang kedatangan Presiden Abdurrahman Wahid, pada 8 Maret 2000. Foto: WEDA / AFP
Terlebih lagi, menginjak tahun 1992, usia Soeharto menyentuh angka 71 tahun. Ia terus menjabat menjadi presiden di tahun-tahun berikutnya dengan Golkar tetap memenangkan Pemilu secara mutlak di tahun 1998.
ADVERTISEMENT
Semakin banyak pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di zaman Orde Baru, mulai dari korban hilang hingga korban tindak kekerasan, seperti penembakan misterius karena kriminalitas, Talangsari, kerusuhan dan penculikan Mei 1998.

Skenario Soeharto untuk Tutut

Kritik masyarakat terhadap tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme di masa orba. Salah satunya terbukti dengan adanya upaya Soeharto melibatkan sang anak untuk menempati posisi strategis di pemerintahan.
Langkah politik Tutut sudah dipersiapkan sejak 1990-an. Ia menjalani awal perpolitikannya dalam jajaran pengurus DPP sebagai ketua koordinator bidang pemberdayaan perempuan Golkar, begitu juga dengan anak Soeharto yang lain, Bambang Trihatmodjo yang menjadi bendahara.
Presiden Indonesia Suharto (kanan) ditemani putrinya Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) mengikuti pemilihan umum nasional tahun 1997. Foto: JOHN MACDOUGALL / AFP
Dari langkah ini, Tutut pun mulai membangun jaringan politiknya. Ia berkontribusi dalam mengembalikan hubungan 'baik' dengan NU. Saat itu, NU menjadi salah satu ancaman bagi Orba, jika mereka memutuskan bergabung dengan Megawati pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016), Salim Said yang merupakan penasihat Golkar dalam Badan Pekerja MPR (BP-MPR). Ketua partai Golkar saat itu yakin jika Tutut sedang membangun jalur menjadi seorang presiden melanjutkan jabatan sang ayah.
Salim mengatakan kepada Profesor Ryaas Rasyid, salah satu koleganya dalam BP-MPR, bahwa dalam kabinet mendatang Tutut akan menjadi Menteri Sosial.
Selain itu, Soeharto juga memanfaatkan suara ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) untuk berada di sisi Tutut. Soeharto merencanakan membentuk basis dukungan politik lewat ABRI dengan memilih perwira yang sangat selektif.
Presiden Indonesia terpilih Abdurahman Wahid (Gusdur) mengangkat tanggai usai pemungutan surat suara pada tahun 1999 di MPR Foto: AFP/MUHAMMAD
Menurut Salim, masih dalam buku yang sama, para perwira tidak saling akur dan kondisi ini justru menguntungkan Soeharto. Sebab, perwira ABRI yang bersatu bisa mengancam Soeharto dalam melanggengkan kekuasaannya.
ADVERTISEMENT
Soeharto juga memilih seorang jenderal yang memiliki latar belakang identitas Islam yang kuat untuk mendampingi Tutut. Ini dilakukan sang ayah untuk meminimalisir sentimen publik terkait kecurigaan ABRI pada kelompok Islam. Kala itu, hubungan Soeharto dengan NU masih dalam ketegangan, lantaran Gus Dur seringkali memberikan pendapat yang tak sejalan dengan Soeharto.
Presiden ke-2 Soeharto bersama putri sulungnya Siti Hardijanti atau Tutut saat tiba di Jerman, pada 8 Juli 1996. Foto: HOLGER HOLLEMANN / AFP
Sesuai dengan prediksi Salim Said, Soeharto mengangkat Tutut menjadi Mensos di akhir kabinetnya—Kabinet Pembangunan VII. Namun, Tutut hanya menjabat selama kurang lebih 2 bulan (14 Maret-21 Mei 1998), karena sang ayah harus lengser pada 21 Mei 1998.
Aksi mahasiswa memang pecah pada Mei 1998. Ribuan mahasiswa berhasil merangsek masuk ke Gedung DPR RI, mereka menuntut reformasi dan mendesak Soeharto untuk dari jabatannya sebagai presiden turun setelah 32 tahun (1966-1998).
ADVERTISEMENT
Masyarakat mulai jengah dengan akumulasi permasalahan ekonom, politik, hingga pelanggaran HAM yang terjadi di zaman Orba.
Jika tak ada demo besar-besaran menuntut reformasi pada Mei 1998, skenario Soeharto untuk membuat Tutut melenggang menjadi presiden mungkin saja terjadi.