Kisah Penghulu di Cimahi yang 88 Kali Lapor Gratifikasi Amplop ke KPK

8 Desember 2020 16:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi memberi amplop saat pemilu Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi memberi amplop saat pemilu Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tradisi memberikan sesuatu kepada penghulu ternyata masih terjadi di tengah-tengah masyarakat. Meski, KPK sebelumnya sudah menyatakan pemberian uang tanda terima kasih atau honor pengganti uang transportasi kepada penghulu terkait pencatatan nikah termasuk kategori gratifikasi.
ADVERTISEMENT
Peringatan KPK itu diingat betul oleh Budi Ali Hidayat. Ia merupakan penghulu madya sekaligus Kepala KUA Kecamatan Cimahi Tengah.
KPK mencatat Budi menjadi salah satu pelapor gratifikasi paling rajin di tahun 2020, yakni 88 kali. Hal itu termasuk 64 laporan penerimaan serta 24 laporan penolakan dengan nilai Rp 16.190.000. Dari jumlah itu, KPK menetapkan uang yang menjadi milik negara sebesar Rp 13.540.000.
Ilustrasi Penghulu. Foto: Lolita Valda Claudia/kumparan
Budi mengakui bahwa pemberian amplop itu sudah menjadi tradisi yang membudaya di masyarakat.
"Ketika diundang pernikahan di luar kantor, masyaallah, kalau kepuasan batin masyarakat memberi amplop itu betul-betul, banyak malahan," kata Budi di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (8/12).
Budi merasa dirinya sebagai pegawai negeri sudah digaji pemerintah. Sehingga ia merasa tidak berhak menerima pemberian itu.
ADVERTISEMENT
"Malah saya sempat berpikir ketika pernah nolak, eh amplopnya ditaruh di motor. Waktu saya pulang, 'ada apa ini, oh ternyata ada amplopnya. Kayaknya tadi yang nikahkan'," kata Budi sambil tersenyum mengingat pengalamannya itu.
Tak hanya itu. Budi pun mengaku seringkali kesulitan menolak pemberian amplop. Sebab penolakan itu terkadang diartikan oleh pihak pemberi sebagai bentuk tidak menghargai.
"Kalau menolak secara halus, karena takut menyinggung kepada tiap pemberi. Saya bilang begini, 'tolong, saya sudah digaji pemerintah dan tolong Bapak jangan memberikan ke saya karena setoran ke negara Rp 600 ribu itu ada uang pengembalian ke penghulu Rp 250 ribu. Jadi, Bapak enggak usah kasih amplop lagi'," papar Budi.
"Sudah dikasih penjelasan begitu, eh tetap [dibilang] 'Bapak ini enggak menghargai saya'. Sampai (amplop) dimasukin ke sini (kantong kemeja). [Dibilang] 'sudah terima saja, Bapak menolak pemberian Allah'. Makanya itu banyak, kadang-kadang sempat terjadi, mohon maaf ya ada suatu daerah yang kalau ditolak itu marah, sampai dikejar ke rumah," sambung dia.
ADVERTISEMENT
Terkait pelaporannya itu, Budi mengaku melapor melalui aplikasi Gratifikasi Online (GOL). Ia pun mengaku tidak tahu sudah berapa kali melapor ke KPK perihal gratifikasi itu.
"Banyak sekali, saya sering lupa tahu-tahu di sini laporkan (ada) 88, banyak sekali," ujar dia.
Penerima penghargaan atas pelaporan gratifikasi Tahun 2020. Foto: Youtube/@KPK RI
Budi menjadi salah satu pihak penerima penghargaan dari KPK. Ia dinilai sebagai salah satu contoh pribadi dalam melapor gratifikasi ke KPK.
Deputi Pencegahan Korupsi KPK, Pahala Nainggolan, mengakui soal tradisi memberikan sesuatu kepada penghulu masih terjadi. Bahkan praktik di masyarakat seringkali hal itu dinilai lumrah.
"Kalau manggil penghulu, nikah, udah pasti bayar, kan udah kebiasaan umum tuh. Udah enggak ada lagi yang nanya 'emang harus bayar apa enggak?'. Pokoknya kalau enggak bayar, aneh. Kami merasa ini enggak bener, jangan membiasakan yang enggak bener," kata Pahala.
ADVERTISEMENT
Ia pun menilai Budi sebagi orang yang konsisten memegang prinsip untuk melapor gratifikasi. Terlihat dari banyaknya laporannya ke KPK.
"Ini individu yang pegang teguh prinsip saya dibayar negara untuk melayani masyarakat," ujar Pahala.