Kisah Pilu Masjid di New York: Sulit Tampung Migran dan Bayar Air saat Ramadan

2 April 2024 17:17 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Imam Omar Niass memimpin salat magrib bersama sebagian besar pendatang asal Senegal, sebelum berbuka puasa Ramadhan dan menyajikan jamuan makan malam berbuka puasa di Masjid Ansaru-Deen Bronx, New York Jumat (15/3/2024). Foto: Bebeto Matthews/AP Photo
zoom-in-whitePerbesar
Imam Omar Niass memimpin salat magrib bersama sebagian besar pendatang asal Senegal, sebelum berbuka puasa Ramadhan dan menyajikan jamuan makan malam berbuka puasa di Masjid Ansaru-Deen Bronx, New York Jumat (15/3/2024). Foto: Bebeto Matthews/AP Photo
ADVERTISEMENT
Di lingkungan Harlem, Kota New York, sebuah masjid mengadakan acara buka puasa untuk ratusan migran setiap malam selama bulan Ramadan.
ADVERTISEMENT
Imigran, terutama dari negara-negara Afrika mayoritas Muslim, mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan makanan dan tempat tinggal di kota tersebut. Mereka kebanyakan berasal dari Senegal, Guinea, dan Mauritania.
Dikutip dari AP, diperkirakan 275 masjid di Kota New York merasakan dampak gelombang migran Afrika. Masjid-masjid itu menjadi tempat penampungan sementara bagi banyak migran yang membutuhkan tempat beristirahat dan mendapatkan bantuan.
Para pemimpin Muslim mengatakan telah meningkatkan permohonan sumbangan uang, makanan, pakaian dan perlengkapan lainnya dalam beberapa hari terakhir.
“Kami melakukan apa yang bisa kami lakukan, tapi kami tidak bisa melakukan semuanya. Itulah intinya,” kata Asisten Imam di Masjid Aqsa-Salam Harlem, Moussa Sanogo, kepada AFP.
“Saudara-saudara ini, mereka tidak cukup makan. Mereka kelaparan saat sampai di sini. Bisakah Anda bayangkan? Kelaparan. Di Amerika," tambahnya.
Setelah salat magrib di Masjid Ansaru-Deen Bronx, para migran Afrika berbuka puasa Ramadhan dan memulai makan yang disebut buka puasa, New York, Jumat (15/3/2024) Foto: Bebeto Matthews/AP Photo
Pengelola Jamhiyatu Ansaru-Deen--sebuah masjid di Bronx, Imam Omar Niass, mengatakan bahwa menyediakan tempat bagi para migran adalah hal paling sederhana yang bisa dia lakukan. Ia tak masalah meskipun harus mengeluarkan biaya pribadi yang besar.
ADVERTISEMENT
Tagihan listrik dan air pun semakin lama semakin membengkak. Dia memperkirakan sekitar USD 7.000 (setara Rp 111 juta) untuk layanan listrik dan USD 11.000 (Rp 174 juta) untuk biaya air.
“Dalam budaya kami, Anda tidak dapat menyangkal orang-orang yang datang ke masjid,” tutur Imam Omar.
“Kami tetap menerima warga karena mereka tidak punya tempat tujuan. Jika mereka datang, mereka tinggal. Kami melakukan apa yang kami bisa untuk memberi makan mereka, untuk membantu mereka,” tambahnya.
Imam Omar Niass, ketiga dari kiri atas, memimpin salat magrib untuk para migran Afrika, sebelum berbuka puasa Ramadhan dan menyajikan hidangan meriah yang disebut buka puasa di Masjid Ansaru-Deen Bronx, New York, Jumat (15/3/2024) Foto: Bebeto Matthews/AP Photo
Para pemimpin Muslim berjuang untuk menyediakan makanan, tempat tidur, dan bantuan lainnya untuk populasi migran yang terus meningkat di kota tersebut.
Meskipun ada upaya dari komunitas berbasis agama dan pemerintah setempat, masih ada tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan jangka panjang para migran tersebut.
ADVERTISEMENT
Alphabacar Diallo, migran 39 tahun asal Guinea, berterima kasih atas dukungan yang diberikan Masjid Aqsa-Salam, Harlem. Namun ia juga ingin melanjutkan hidupnya secara mandiri.
Diallo masih menunggu izin kerja sekitar delapan bulan setelah tiba di Amerika Serikat. Sampai saat itu tiba, masjid menjadi satu-satunya tempat berteduh.
“Tanpa masjid, saya tidak tahu di mana saya akan berada," ungkapnya kepada AP.