Kisah Puasa 16 Jam di AS dari Teman Tuli Asal Indonesia

30 April 2021 16:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Surya Sahetapy Foto: Instagram/@suryasahetapy
zoom-in-whitePerbesar
Surya Sahetapy Foto: Instagram/@suryasahetapy
ADVERTISEMENT
Bagi orang-orang yang tinggal di Indonesia, mungkin puasa selama hampir 13 jam lamanya—dari pukul setengah lima pagi hingga pukul enam sore—sudah melelahkan.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana jika dihadapkan dengan waktu puasa hingga 16 jam lamanya, seperti di Amerika Serikat?
Surya Sahetapy adalah teman Tuli asal Indonesia yang tiga tahun terakhir tinggal di Amerika Serikat untuk mengenyam pendidikan tinggi di Rochester Institute of Technology (RIT) Kota Rochester, Negara Bagian New York, AS. Dalam beberapa tahun terakhir itulah, ia menjalani ibadah puasa bulan Ramadhan di Negeri Paman Sam.
Tentu berpuasa di lokasi yang begitu jauh dari keluarga membawa berbagai tantangan sendiri bagi Surya. Mulai dari sahur hingga buka puasa di Rochester, setiap rutinitas kegiatan tentu memiliki kesan dan kisah tersendiri.
Pada sesi sharing virtual yang digelar @america, Surya dengan bahasa Isyarat, didampingi oleh Juru Bahasa Isyarat (JBI), menceritakan serba-serbi kehidupan Ramadhan di Negara Adidaya.
Surya Sahetapy berkomunikasi dengan bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) dengan didampingi JBI pada acara virtual Ramadan and the Daily Life of Students with Disabilities in the U.S bersama @america. Foto: Dok. @america
Termasuk juga reaksinya saat pertama kali menjalankan puasa di bulan suci Ramadhan. Keterkejutan tentu ada; terutama soal durasi puasa.
ADVERTISEMENT
“Soal waktu puasa yang cukup panjang, pertama kali datang ke sini, saya merasa menyerah. Tidak kuat puasa dengan waktu yang sangat lama ini. Kalau di sini benar-benar malam sekali baru berbuka puasa, harus membiasakan diri,” kenang Surya.
Surya akhirnya menerapkan metode berpuasa yang ternyata efektif membantu fisiknya kuat melewati 16 jam tanpa makan minum.
“Jadi Senin saya [puasa] ikut waktu Indonesia, Selasa waktu Amerika, Rabu waktu Indonesia, untuk membiasakan diri saya. Akhirnya, sekarang saya bisa full mengikuti waktu Amerika,” tuturnya dengan bangga.
Jadi, tantangan durasi puasa berhasil dilewati oleh Surya dengan caranya yang manjur: selang-seling waktu. Lalu, bagaimana dengan tantangan lainnya, yaitu sahur?

Sahur ala Surya Sahetapy di Amerika Serikat

Usai berbuka dan salat, Surya harus tidur pukul 10 atau 11 malam jika tidak ingin terlambat bangun sahur pada pukul 2 pagi.
ADVERTISEMENT
Di AS, ia harus menjalani sahur seorang diri tanpa keluarga. Bangun tidur sendiri, masak harus sendiri, pun juga makan.
“Kalau di Indonesia, saya dibangunkan untuk sahur. Kalau di sini, saya Tuli, dan saya sendiri, saya mengandalkan teknologi alarm ini,” kata Surya, sembari menunjukkan sebuah alarm yang khusus didesain untuk Tuli.
Surya menjelaskan cara kerja alarm tersebut, yang salah satu bagiannya harus diselipkan di bawah bantalnya. Bagian alarm tersebut nantinya akan mengeluarkan getaran yang keras, dan bagian lainnya akan mengeluarkan kedipan lampu yang cepat.
Surya Sahetapy menunjukkan alarm miliknya di acara virtual Ramadan and the Daily Life of Students with Disabilities in the U.S. oleh @america. Foto: Dok. @america
“Saya bisa mengandalkan diri saya sendiri untuk bangun. Terkadang yang jadi masalah, kalau saya lupa memencet tombol on atau jika alat ini terjatuh dari bawah bantal saya. Ini bisa membuat saya terlambat bangun, dan akhirnya saya terlambat sahur. Jadi harus disiplin dalam menggunakan teknologi ini,” ujarnya sambil terkekeh.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya ia harus memasak makanan sahurnya sendiri, yang bisa memakan waktu hingga 1 jam.
Ia kerap membandingkan betapa mudahnya sahur bersama keluarga di Indonesia: bangun dekat waktu Imsak, lalu tinggal makan.
Sementara di Amerika, ia harus memasak sendiri hingga pukul 3 dini hari, dan dilanjutkan dengan makan sahur hingga waktu Imsak menyongsong.
Surya mengakui, di tahun pertama ia masih kesulitan untuk akibat belum terbiasa. Namun, ia perlahan-lahan dapat menyesuaikan diri dengan rutinitas barunya itu.

Cara Surya Ngabuburit di Amerika

Satu hal yang lekat dengan tradisi Ramadhan orang Indonesia adalah ngabuburit, alias beraktivitas sembari menunggu waktu berbuka. Seperti apa ngabuburit ala Surya di Rochester?
“Jika dulu kondisi sebelum pandemi, biasanya teman-teman Tuli selalu kumpul di kampus. Karena waktu itu masih tinggal di asrama, ya jadi masih bisa sering kumpul,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
“Tapi setelah ada pandemi, kami tidak di asrama lagi, tapi kami sewa rumah masing-masing yang jaraknya cukup jauh dari kampus. Jadi kami ngabuburit dengan virtual; bisa via Zoom atau Facebook,” terang Surya.
Memang, bagi Surya, ngabuburit yang paling menyenangkan adalah dengan berkumpul bersama. Tetapi, jika situasi merintangi, tentu harus dicarikan alternatif yang tak kalah menyenangkan, dan pastinya tidak mengurangi sedikitpun semangat Ramadhan.

Buka Puasa Surya, Masak-masak dan Takjil Manis

Ilustrasi memasak rendang Foto: dok.Shutterstock
Untuk berbuka, Surya juga harus menerapkan sistem yang sama dengan sahur: alokasi waktu 2 jam sebelum kegiatan 'puncak'. Jadi, Surya sudah bersiap-siap untuk memasak serta menyiapkan takjil sejak 2 jam sebelum berbuka.
“Buka puasa juga sama, saya harus prepare 2 jam sebelumnya. Kalau mau masak [makanan] berat, saya harus prepare lebih banyak waktu. Saya juga harus siapkan takjil, itu yang penting, bermanis-manisan,” jelas putra dari aktor Ray Sahetapy dan penyanyi Dewi Yull ini.
ADVERTISEMENT
“Misalnya di sini buka puasa jam 8 malam, saya harus masak dari jam 6 sore. Saya siapkan nasi, ayam, dan lauk pauk lain,” tambahnya.
Jika rutinitas berbuka Surya di tengah pandemi adalah dengan memasak dan makan sendiri, bagaimana dengan rutinitas ketika sebelum pandemi COVID-19 mengadang?
Tentunya, ia berkumpul bersama teman-temannya di kampus. Teman Tuli dan teman Dengar, kata Surya, semuanya berkumpul bersama dan saling berinteraksi satu sama lain.
Sebagai kampus yang sangat ramah aksesibilitas bagi para Tuli, bahkan pada kegiatan ceramah di waktu berbuka pun, RIT menyediakan Juru Bahasa Isyarat (JBI).
“Sebelum pandemi, biasanya akan ada kegiatan komunitas Islam untuk teman-teman Tuli dan teman Dengar, biasanya di kampus. Dalam kegiatan itu, kami saling berbagi makanan secara gratis, saling berinteraksi, dan ada ceramah juga. Di ceramah itu disediakan JBI tanpa mengenal waktu. Malam hari pun disediakan aksesibilitas tersebut,” jelas pria berusia 27 tahun ini.
ADVERTISEMENT
Keseruan kumpul-kumpul tersebut ia rasakan pada 2019. Tetapi di tahun 2020, acara menyenangkan tersebut terpaksa harus ditiadakan, demi menjaga diri dari virus corona yang menghantui AS dan dunia.

Ibadah Salat Tarawih di Rochester

Pengumuman salat tarawih berjamaah di Rochester Institute of Technology, Rochester, AS. Foto: Dok. Surya Sahetapy
Salat tarawih menjadi ibadah yang selalu dijalani oleh umat Muslim dunia dengan antusiasme tinggi, tak terkecuali di Rochester.
Kampus Surya, Rochester Institute of Technology (RIT), turut mengadakan salat tarawih berjemaah yang mempermudah para mahasiswanya menjalankan ibadah, terutama mereka yang tinggal di asrama.
Namun, akibat terkendala jarak yang cukup jauh dari tempat tinggalnya kini, Surya tak bisa menghadiri salat berjemaah di sana.
Selain itu, AS yang telah mengandalkan teknologi di kehidupan sehari-harinya, juga menerapkannya ke dalam praktik ibadah.
ADVERTISEMENT
Contohnya adalah dengan disediakannya sebuah aplikasi oleh kampus RIT, yang menyajikan informasi soal jadwal ibadah selama Ramadhan.
“Di kampus pun juga ada aplikasi yang menginformasikan jadwal salat tarawih dan ceramah. Dengan itu, kita jadi tahu siapa tokoh agama yang akan menjadi penceramah. Selain itu, kita bisa meminta akses untuk JBI atau juru ketik cepat. Tak ada masalah yang berarti di sini. Akses ini pun diberikan sejalan dan berterima,” papar Surya.
Jadi, kemajuan teknologi di Amerika Serikat pun dipergunakan untuk mempermudah kehidupan beragama bagi umat Muslim, serta menjembatani aksesibilitas yang bersifat universal.

Kemudahan Menjadi Muslim di Rochester

Salah satu tantangan yang seringkali dikhawatirkan oleh banyak Muslim ketika bertandang ke negara lain adalah ketersediaan makanan halal.
ADVERTISEMENT
Tetapi, umat Muslim di Rochester bisa menghela napas lega, sebab, tersedia sebuah swalayan yang menjual bahan pangan halal, yakni International Food Market.
International Food Market di Rochester, New York, AS. Foto: Dok. Surya Sahetapy
"Saya sering menanyakan lokasi untuk membeli makanan-makanan halal, dan di sinilah tempatnya. Kebetulan yang memiliki tempat ini adalah orang yang berasal dari Turki. Semua pasti tahu kurma. Sering sekali saya mendapatkan kurma dari tempat ini," papar Surya.
Dengan tersedianya lokasi-lokasi yang menawarkan kemudahan bagi umat Muslim, Surya menekankan bahwa para turis Muslim tak perlu khawatir ketika berkunjung.
"Kalau teman-teman jalan-jalan ke Rochester, jangan khawatir, ada tempat yang menyediakan makanan-makanan halal," imbuhnya.
Selain itu, ibadah salat jumat juga diselenggarakan di masjid kampusnya, lengkap dengan aksesibilitas untuk para teman Tuli. Jadi, ibadah jalan, akses pun lancar.
ADVERTISEMENT
"Sejak lama untuk akses Salat Jumat, disediakan akses Juru Bahasa Isyarat dan juru ketik cepat. Jadi, bagi yang tidak terbiasa bahasa Isyarat nantinya bisa mengakses hasil ketik cepat," ungkap Surya.
Nyatanya, menjalankan ibadah puasa Ramadhan di negeri orang oleh seorang Tuli tidaklah mustahil. Perlahan tapi pasti, Surya berhasil menjalankan seluruh rangkaian ibadah dengan cara hebatnya sendiri.
Puasa Ramadhan tak hanya dilewati Surya sebagai suatu kewajiban sebagai seorang Muslim belaka, tetapi juga sebagai ibadah mendekatkan diri kepada sang Khalik yang turut mengajarkan improvisasi serta kedisiplinan.
Tentu, dengan jalan yang penuh tantangan, namun tetap menyenangkan.