news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Adik Pramoedya Ananta Toer, Doktor dari Rusia yang Kini Jadi Pemulung

22 Juni 2018 9:38 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Malam itu jantung Kabupaten Blora mulai lengang. Gelap malam dan silir-silir angin mengantarkan masyarakat untuk menutup matanya dalam tidur. Tetapi, tidak dengan Soesilo Toer, pria tua berusia 81 tahun yang merupakan lulusan S3 Institut Plekhanov Uni Soviet (sekarang Rusia). Dia justru mulai mengegas motor tuanya dan berkeliling Blora untuk memulung sampah.
ADVERTISEMENT
Jangan heran, memulung memang sudah menjadi kegemaran adik sastrawan kondang Pramoedya Ananta Toer itu. Sedari kecil, Soes mengaku hobi memulung. Bahkan kebiasaan memulung dia lakukan ketika menjadi mahasiswa di luar negeri.
“Saya itu manusia dan harus punya hakikat hidup. Hakikat saya itu menciptakan nilai lebih untuk memberi makan saya, memberi makan keluarga dan generasi muda. Semua kerja mulia tapi buat saya yang paling mulia adalah jadi pemulung,” kata Soes yang tak pernah malu dengan profesi memulungnya, Rabu (6/6).
Soesilo Toer (Foto: M. Faisal Nu'man)
Dua wadah berisi kantong plastik besar terpasang di belakang motor Soes. Putaran pertama dia mengangkut sampah kardus dan plastik. Putaran selanjutnya, dia memungut sampah makanan untuk diberikan ke ayam peliharaannya.
ADVERTISEMENT
“Kalau banyak, nanti ayam-ayamnya bisa pesta,” tutur Soes kepada kumparan yang mengikutinya memulung.
Soes memulung dengan tangan terbuka, tanpa sarung tangan di dua tangannya. Bau sampah yang menyengat juga tidak membuat pria yang punya julukan ‘Gareng’ itu menutup hidungnya dengan masker.
Soes Toer saat memulung di jantung Blora (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan​)
Dari satu toko ke toko lain, dari satu tempat makan ke tempat makan lain, Soes berkeliling. Terlihat pemilik sampah sudah akrab dengan pria berambut putih itu. Ada yang sengaja telah menyiapkannya, dan ada pula yang terlibat dialog ringan dengan Soes.
Setibanya di rumah, mata Soes berbinar kala menujukkan tiga arloji yang beberapa hari lalu dia temukan. Meski ditemukan dalam keadaan rusak, ayah satu anak itu telah memperbaikinya dan akan dijual dengan harga yang tak murah.
ADVERTISEMENT
“Saya punya indra keenam. Ya kayak saya nemu arloji. Itu kayak ada yang bimbing,” ucap Soes sembari tertawa kecil.
Selain sebagai mata pencaharian, memulung nyatanya juga menjadi inspirasi bagi Soes untuk menulis. Sejak usia 13 tahun, adik keenam Pramoedya itu sudah aktif menulis. Karyanya yang telah menjadi buku lebih dari 20 buah. Kini, sekitar 15 buku lainnya akan segera terbit dalam waktu dekat.
“Dan dari memulung itu saya bisa banyak nulis, banyak ketemu orang, dan ini itu. Semua orang adalah guru saya,” sebut Soes.
Lalu, untuk apa gelar S3?
Kata Soes, memulung adalah mencipta nilai lebih. Lantas buat apa gelar doktor yang telah diraihnya setengah abad lalu? Mengapa Soes tidak mempergunakannya untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan tingkatan gelarnya?
ADVERTISEMENT
Mungkin, dua pertanyaan di atas selalu melintas saat mengetahui realitas dan latar belakang Soes.
Adik Pramoedya Ananta Toer, Soesilo Toer (Foto: Retno Wulandhari Handini)
Soes pun menuturkan jawabannya kepada kumparan. Perbedaan sistem di Rusia dan Indonesia membuat ijazah pria berkumis itu tidak bisa dimanfaatkan di negerinya sendiri. Soes mengambil jurusan Ekonomi Politik.
“Saya lulusan S2 itu perencanaan. Ahli perencanaan, planning. Kenapa ekonomi politik, karena kita di sana (Rusia) harus lulus ujian Marxisme Leninisme makanya dikaitkan dengan politik,” Soes berkisah.
Ekonomi menjadi bidang ilmu favorit Soes karena dari SMA nilainya selalu bagus. “Lha saya ekonomi SMA dapat 10. Matematika juga 10, ekonomi juga 10. Makanya saya masuk UI tanpa tes,” kenang Soes sembari tertawa.
Dokumen Soesilo Toer (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan​)
Soes bisa belajar di negeri Beruang Merah itu setelah mendapatkan beasiswa dari pemerintah Rusia. Mulanya, dia mendapat undangan mengikuti seminar di UGM tahun 1957. Dalam acara itu, pemerintah Rusia berjanji akan mendirikan perguruan tinggi untuk para mahasiswa dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
ADVERTISEMENT
Tahun 1960, universitas tersebut benar-benar berdiri dengan nama Patrice Lumumba. Soes berangkat ke sana setelah berhasil lolos seleksi. Dia mulai berkuliah pada tahun 1962.
“Lewat departemen perguruan tinggi dan ilmu pengetahuan karena harus diseleksi dulu. Ya kayak ujian aja, ujian SMA. Jadi saya diuji di situ. Padahal saya sudah 6 tahun lulus SMA. Masih lolos,” ungkap Soes.
Tahun pertama di Rusia Soes ditempa untuk mahir berbahasa Rusia. Dalam tempo tiga bulan 3 ribu kosakata harus dia hafalkan. Kemudian, enam bulan selanjutnya 10 ribu kata harus dia kuasai.
“Jadi saya kuliah dari jam 09.00 pagi istirahat jam makan siang. Terus makan sore, terus di laboratorium itu sampai jam 12.00 malam untuk melatih lafal sudah sama belum dengan lafal Rusia,” cerita Soes.
ADVERTISEMENT
Kemahiran Soes dalam bidang ekonomi membuatnya lulus pendidikan Master dengan predikat memuaskan pada 1967. Dia kemudian meneruskan pendidikannya hingga berhasil meraih gelar doktor.
Dokumen Soesilo Toer (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan​)
Perjuangan berat selama di Rusia nyatanya berbanding terbalik kala dia pulang ke Tanah Air. Dia justru ditahan tahun 1973 karena dianggap anti Soeharto.
Ditahan di pusat tahanan G30S/PKI
Saat itu pesawat yang membawa Soes baru saja mendarat di Indonesia. Polisi berpakaian layaknya Captain America sudah bersiap-siap memborgol dan membawanya ke pusat tahanan G30S/PKI di Kebayoran Lama. Tanpa melawan, Soes menyerahkan dirinya untuk ditahan.
“Harapan saya waktu mau pulang itu saya sudah tahu, itu 4 B, bunuh, bui, buang, bebas. Saya kena bui. Jadi saya sudah tahu, saya enggak takut, karena merasa enggak salah,” ungkap Soes.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, teman sekaligus guru Soes asal Bulgaria, Sofia Ivanovna, sempat melarangnya untuk pulang. "Jangan pulang sekarang kamu, nanti saja. Kira-kira tahun 1979 atau 1980," Soes menirukan ucapan sang guru.
Soesilo Toer di Perpustakaan PATABA (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan​)
Namun, Soes mengabaikan ucapan itu dan tetap pulang ke Tanah Air.
Enam bulan pertama di penjara, Soes mengalami isolasi berat. Ruangannya pengap dan penjagaannya pun ketat. Meski begitu, Soes menjalani masa-masa tersebut dengan suka cita karena menurutnya merupakan salah satu kenikmatan hidup.
Di penjara, Soes tidak serta merta merenungi nasib 'sialnya'. Dia mengisi 6 tahunnya di penjara dengan menulis banyak buku. Dia gunakan lembaran kertas obat nyamuk untuk menampung isi pikirannya.
“Satu penjara sudah tahu kalau saya suka nulis. Kertas saya apa, bungkus obat nyamuk. Itu dikumpulkan oleh mereka, diserahkan kepada saya. Nanti ada yang ngasih pulpen ngasih apa. Semua selundupan. Semua tidur saya nulis,” kisah Soes.
Perpustakaan PATABA di Blora (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan​)
Adapun salah satu buku yang dia tulis ketika berada di penjara adalah 'Dunia Samin'.
ADVERTISEMENT
Soes akhirnya bebas pada 1979. Kala itu, menurutnya ada desakan dari Presiden AS Jimmy Carter untuk membebaskan semua tahanan G30S/PKI. Bila usul ditolak, Indonesia akan diembargo total oleh AS. Soeharto pun tunduk dan membebaskan semua tahahan.
Selepas bebas, Soes melanjutkan dunianya sebagai penulis dan pemulung. Dia berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Mulai dari Jakarta, Bekasi, hingga menetap di rumah masa kecilnya di Jalan Sumbawa Nomor 40, Blora.
----------------------------------------------------------------
Ikuti kisah Soesilo lebih lanjut di topik Jejak Pram.