Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kisah Sultan HB X: Jalan Sukar Menuju Takhta Keraton
11 April 2018 12:35 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
ADVERTISEMENT
Ayah adalah guru terbaik.
Itulah anggapan Sri Sultan Hamengku Buwono X tentang sosok sang ayah, Sultan HB IX, yang membentuknya.
ADVERTISEMENT
Sang ayah, menjelang wafat, sempat melemparkan pertanyaan sarat makna untuk putranya itu.
“Mas Jun (Bendara Raden Mas Herjuno Darpito, nama kecil Sultan HB X), kamu milih mukti atau mulya?”
Mukti dalam bahasa Jawa berarti ‘kaya akan kebermanfaatan bagi semua orang’, antitesis dari mulya yang secara literal berarti ‘kaya untuk diri sendiri’.
Sultan HB X pun menjawab, “Saya milih mukti, tidak ingin mulya.”
Mendengar ucapan putranya, Sultan HB IX pun berujar, “Oke, kalau kamu ingin mukti, kamu mau janji sama saya?”
“Janji apa?” tanya Sultan HB X.
ADVERTISEMENT
Sultan HB X dengan yakin mengiyakan pertanyaan ayahnya itu. “Sanggup.”
Pertanyaan lain menyusul. Sultan HB IX kembali berkata, “Yang kedua, kamu tidak boleh melanggar aturan negara. Kamu sanggup nggak?”
“Saya sanggup,” jawab sang putra.
Pertanyaan bertambah terus. “Ketiga, kamu berjanji sama saya, untuk berani lebih berani mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah.”
Menghadapi pertanyaan itu, Sultan HB X tertegun. Ia bingung, harus lebih berani dari siapa?
“Dari saya,” ucap sang ayahanda.
“Kenapa?” tanyanya.
Sultan HB IX lantas menjawab agak mengejutkan.
ADVERTISEMENT
“Kenapa keliru? Karena diam saya ini ternyata rakyat Indonesia tetap miskin, tetap bodoh,” tutur Sultan HB IX, yang kemudian menuntut kepada putranya, “Kamu berani nggak mengatakan yang benar itu benar, yang salah itu salah. Lebih berani daripada saya.”
“Berani, saya berjanji,” jawab Sultan HB X.
“Yang keempat, kamu berani nggak berjanji sama saya, tidak punya ambisi apapun, kecuali hanya menyejahterakan rakyat.”
Sultan HB X kembali menjawab, “Saya sanggup, saya berjanji.”
Sang ayah pun menutup percakapan.
“Kalau empat hal itu kamu jaga, untuk mukti tadi, kamu tidak perlu mencari saya. Kalau kamu melaksanakan empat janji itu, kamu tidak usah mencari saya, karena saya ada di samping kamu. Tapi kalau kamu mengkhianati janji kamu, jangan mencari saya karena saya tidak akan pernah berada di samping kamu,” ujar Sultan HB IX.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, saat tengah berkunjung ke Amerika Serikat pada 2 Oktober 1988, Sultan HB IX wafat karena serangan jantung.
Sri Sultan Hamengku Buwono X tak pernah dibiarkan ongkang-ongkang kaki oleh sang ayah. Sebaliknya, Sultan HB IX kerap memberikan ujian buat sang putra.
“Nggak pernah ada yang enak, mesti persoalan terus,” ucap Sultan HB X kepada kumparan di teras Gedhong Wilis, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Senin (2/4).
Kehidupan Keraton jelas berbeda dengan orang kebanyakan. Sejak cilik, Sultan HB X yang memiliki nama kecil Bendara Raden Mas Herjuno Darpito itu hidup terpisah dengan ayah dan ibunya, Raden Ayu Adipati Anom yang merupakan istri kedua Sri Sultan HB IX.
Sultan HB X cilik tinggal di Bangsal Kesatriyan, sedangkan ibunya tinggal di Wisma Keputren bersama istri sultan yang lain, juga saudara perempuannya.
ADVERTISEMENT
Sang kepala keluarga, Sultan HB IX, sibuk betul. Ia sering bolak-balik Yogyakarta-Jakarta karena mengemban berbagai jabatan penting di pemerintah pusat.
Tinggal terpisah dari ayah-ibunya, Sultan HB X kecil membiasakan diri untuk tak mengandalkan pembantu. Di Bangsal Kesatriyan, ia biasa membersihkan sendiri kamar tidur sampai kamar mandi.
Jarak batin yang agak jauh antara Sultan HB X dan ayahnya baru kian dekat kala ia tumbuh dewasa. Tahun 1967, Sri Sultan HB X telah diberi kepercayaan untuk membantu tugas ayahnya di Jakarta.
Pekerjaan makin bertambah tatkala namanya berganti menjadi Gusti Pangeran Haryo Mangkubumi pada 1974, pertanda ia akan menggantikan ayahnya kelak bertakhta di Keraton.
Tugas-tugas terus bertumpuk, tak kira-kira ruwetnya, sampai akhirnya Sultan HB X diberi amanat untuk mengelola fungsi Keraton. Ia ditugaskan berkomunikasi dengan Gubernur DIY kala itu yang dipegang oleh Raja Paku Alam VIII.
ADVERTISEMENT
Sultan HB X muda juga diberi tanggung jawab mengelola perusahaan milik ayahnya. Ia sempat menjabat direktur perusahaan gula, PG Madukismo.
Amanat mengelola perusahaan ayah bukan pengalaman mudah seperti kedengarannya. Sang ayah tak mau memanjakan putranya dengan menaruh dia di tempat nyaman.
“(Ditempatkan) di perusahaan yang nggak pernah bagus. Kalau bagus, nggak (dimintakan ke saya untuk) ditempati. Tapi kalau bermasalah, malah ditempatkan (di situ),” kata Sultan, tertawa.
Pengembaraan di dunia bisnis itu kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada molor. Sambil kuliah, ia membantu mengerjakan tugas-tugas ayahnya di pemerintahan. Sultan HB X pun kerap merintis pekerjaan dari nol.
Itu semua merupakan batu ujiannya menuju takhta. Dalam buku Takhta untuk Rakyat yang disunting Atmakusumah, pangeran satu ini diberi pengetahuan sebagai pemimpin keraton sekaligus pengusaha yang menjadi ‘produk zamannya sendiri’.
Keraton terbiasa mendidik pangerannya sesuai tuntutan zaman. Mendiang Sri Sultan HB IX yang memiliki nama kecil Dorodjatun misalnya, sejak sekolah dasar tinggal bersama keluarga Belanda. Hingga kuliah pun di jurusan Indology Universitas Leiden.
ADVERTISEMENT
Kenapa Sultan HB IX, ayah Sultan HB X, tinggal sebegitu lama di Belanda?
Sri Sultan HB VIII tak bermaksud mencetak anaknya menjadi kebarat-baratan. Ia justru ingin agar anaknya bisa membaur dengan Belanda.
“Pahami karakter Belanda. Kelak, kamu akan banyak berurusan dengan orang Belanda,” nasihat Sri Sultan HB VIII kepada Dorodjatun kala itu.
Dorodjatun yang kemudian naik takhta, mampu membuat Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat tegak berdiri di tengah pertempuran hebat Republik Indonesia meraih kemerdekaan.
Beda zaman, beda pendidikan. Tak seperti ayahnya yang semasa muda dikirim belajar ke Belanda, Sri Sultan HB X ditempa di perusahaan dan pemerintahan.
Meski begitu, Sultan HB X mengaku tak tahu untuk apa maksud sang ayah mendidiknya demikian. “Nggak berpikir sampai situ,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Sultan HB X bukannya tak pernah salah. Namun di balik torehan yang tak pernah sempurna, ia ingin menggenggam janji kepada sang ayah.