Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Kisah Sutami, Menteri yang Marah Saat Melawan Arus Lalu Lintas
18 Oktober 2017 16:09 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini polisi di berbagai wilayah begitu gencar melakukan razia kendaraan pribadi yang menggunakan lampu strobo atau rotator dan sirine. Puluhan pengendara mobil pun tertangkap basah menyalahi aturan.
ADVERTISEMENT
Terbaru, beberapa mobil tertangkap di Jakarta Timur dan kawasan Tol Bandara Soekarno-Hatta. Dari aktivitas yang diunggah @tmcpoldametro dalam akun instagramnya, terdapat 7 mobil yang terciduk polisi. Salah satunya adalah Toyota Harrier hitam berpelat nomor B 1945 RFS, pelat dengan huruf RFS biasanya digunakan oleh para pejabat.
Tak cuma soal lampu strobo, soal kendaraan yang melawan arus juga masih menjadi tabiat buruk pengendara di negeri kita, lebih khusus di Ibu Kota. Atas nama memangkas waktu perjalanan mereka rela menabrak aturan, bahkan menggadaikan nyawa.
Begitulah kira-kira gambaran apa yang terjadi saat ini. Atas nama ingin membelah kemacetan, mereka rela menabrak aturan.
Nah, seharusnya kita bisa belajar dari Ir Sutami, seorang Menteri Pekerjaan Umum di era Orde Lama dan Orde Baru, yang dengan segala prestasinya tetap rendah hati. Ia merasa jengkel ketika suatu hari ia terpaksa melawan arus untuk membelah kemacetan di Jalan Braga, Bandung. Saat itu ia tengah mengepalai proyek irigrasi di wilayah Cisangkuy.
ADVERTISEMENT
"Waktu itu tahun 70-an, Bapak ke Bandung naik kereta, ajudan bilang jemput di stasiun. Ada wali kota dan sekda jemput di stasiun. Karena pengin cepet, Jalan Braga waktu itu dijadiin satu arah. Jadi karena pengin cepet, nerobos pengin pakai sirine, melawan arah," beber Emir Sanaf, yang sudah dianggap Sutami sebagai anak, saat berbincang dengan kumparan di Bandung, Kamis (12/10).
"Bapak sesampai di hotel bilang ke saya, ngapain sih tadi ada ngoweng ngoweng (sirene), enggak mau dia," sambungnya.
Sutami begitu kesal. Ia merasa tidak enak dengan pengguna jalan yang lain, apalagi pasti di antara mereka juga ada yang punya keperluan penting.
"Enggak mau, ngapain nerobos jalan, pakai sirine, melawan arah. Tapi namanya orangnya halus banget, dia enggak mau ngomong diem aja, tapi saya nerima celotehan dia," tutur Emir.
ADVERTISEMENT
Selama jadi menteri di 3 kabinet berbeda, dari tahun 1965-1973 (8 kali dilantik), Sutami tidak pernah memasang lampu strobo dan sirene agar jalannya selalu mulus. Sutami bahkan menurut anak-anaknya tidak pernah meminta pengawalan ketika bertugas ataupun sekadar menghadiri sidang kabinet.
Ini yang kemudian menjadi teladan yang hingga kini selalu berusaha diterapkan oleh seluruh pejabat negeri saat ini. Bagi putri kedua Sutami, Dewi Susilowati, Sutami adalah manusia langka yang pernah hidup di Indonesia.
"Bapak ini memang langka orangnya. Saya berharap sih ada lagi pejabat-pejabat sekarang yang seperti beliau. Bukan bermaksud membangga-banggakan, tapi menurut kami Bapak memang pantas menjadi teladan," ungkap Dewi saat ditemui di kediamannya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT