Kisah Tenda Warna-Warni Pencari Suaka di Kuningan

27 Juni 2024 20:33 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tenda pengungsi di Jalan Setia Budi Selatan, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (27/6/2024). Foto: Hedi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Tenda pengungsi di Jalan Setia Budi Selatan, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (27/6/2024). Foto: Hedi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dia tampak tak bisa berdiri tegak. Jalan ditopang tongkat kayu. Rambutnya yang cepak lebih banyak putih, saru dengan kulitnya yang juga cerah.
ADVERTISEMENT
Dia mengidap penyakit komplet. Tangannya tak lepas dari punggung, untuk menopang agar tak tumbang. Dia juga menunjuk bagian dadanya. Bicaranya pelan, tapi ekspresif. Pria itu adalah Jaffar, seorang pengungsi dari Afghanistan.
Jaffar salah satu dari sekitar 20 pengungsi di Jalan Setia Budi Selatan, kawasan perkantoran di Jakarta Selatan. Mereka membangun tenda di bahu jalan tepat di dekat kantor United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) — badan PBB yang mengurusi pengungsi.
Para pengungsi itu tinggal di tenda berkapasitas 2-3 orang, tanpa listrik, tanpa penerangan, tanpa fasilitas mandi cuci kakus (MCK), apalagi televisi keluarga. Di dalam tendanya hanya nampak kasur ‘Palembang’ dan beberapa helai kain untuk mengamankan diri dari angin malam.
ADVERTISEMENT
Para pengungsi itu berasal dari berbagai negara. Ada dari Somalia, Sudan, Afghanistan, Rohingya, Irak, Iran, dan Yaman. “Paling banyak Afghanistan,” kata salah satu warga yang kerap bercengkerama dengan Jaffar dkk.
Tenda pengungsi di Jalan Setia Budi Selatan, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (27/6/2024). Foto: Hedi/kumparan
Tenda pengungsi di Jalan Setia Budi Selatan, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (27/6/2024). Foto: Hedi/kumparan
kumparan mendatangi langsung ke tenda-tenda gunung yang didirikan di sela-sela bangunan pencakar langit Kuningan. Mereka pencari suaka dan sedang menunggu proses administrasi untuk menuju negara ketiga tujuan mereka, negara penerima pengungsi.
Tenda pengungsi di jantung Kuningan itu sudah ada sejak 9 bulan lalu. Penghuni paling lama adalah Amin, seorang etnis Rohingya.
“Saya sendiri sudah 9 bulan di sini di jalanan, cari hak kemanusiaan. Saya sampai sekarang, saya tidak dapat keadilan,” kata Amin saat ditemui di pengungsian, Kamis (27/6).
Amin dkk menjalani hidup sehari-hari dengan menggantungkan harapan pada keberadaan masjid sekitar. Rumah ibadah dan Indomaret jadi pelarian utama untuk kebutuhan MCK dan ketika badai hujan menerjang.
ADVERTISEMENT
“Semua di masjid. Biasa, jam 8-9 (malam) kan tutup, harus menunggu lagi subuh, begitu. Kalau buang air besar kalau tengah malam mau pergi Alfamidi, Indomaret di belakang,” kata Amin menunjuk arah belakang MD Tower.
Makan mereka tidak tentu. Bila ada uang beli sendiri, tak ada uluran tangan, berpuasa.
“Kalau tidak ada [uluran bantuan], puasa aja,” ungkap Amin.
Tenda pengungsi di Jalan Setia Budi Selatan, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (27/6/2024). Foto: Hedi/kumparan
Amin, pria kelahiran 1995, meninggalkan Myanmar karena konflik. Bapaknya mati ditembak. Dalam pelariannya, di sempat ke Makassar lalu ke Jakarta.
Amin di tenda pengungsian bersama puluhan WNA lain. Ada perempuan dan anak kecil. Mereka datang ke Kuningan secara bergelombang, yang proses administrasinya lebih cepat sudah terbang ke negara tujuan.
Amin dan beberapa pengungsi sebayanya lebih beruntung dari Jaffar, setidaknya kondisi tubuhnya masih bugar. Jaffar seperti jatuh ditimpa tangga: surat izin tak keluar, penyakit tak kenal henti.
ADVERTISEMENT
Harapan Jaffar satu-satunya adalah Tuhan. Dia pontang-panting mencari bantuan dari pemerintah Indonesia untuk pengobatannya, tapi hasilnya nihil. Dia pernah berkunjung ke kantor Gubernur DKI, Pemkot Bogor, Imigrasi, tapi tak menuai hasil. Dia tetap membeli obat dengan biaya seadanya, uang tersisa.
Nobody help me,” kata Jaffar berlinang air mata.