Kisah Tri Maharani, Satu-satunya Dokter Ahli Gigitan Ular Berbisa di Indonesia

26 September 2020 10:13 WIB
comment
14
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dokter Tri Maharani. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokter Tri Maharani. Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Tri Maharani merupakan satu-satunya dokter spesialis emergensi dengan subspesialisasai toksinologi di Indonesia. Namun, perjalanan awal Maha -- panggilan akrabnya -- untuk menjadi dokter subspesialsasi toksikologi yang bergelut dengan gigitan ular cukup panjang.
ADVERTISEMENT
Berawal dari ketika ia menempuh pendidikan di luar negeri. Saat itu, dia bertemu dengan seseorang yang mengubah keputusannya untuk fokus membantu masyarakat yang menderita gigitan ular. Setelah menyelesaikan pendidikannya di luar negeri, ia kembali ke Indonesia dan mulai fokus menangani gigitan ular.
"Meski di tahun 2012 sudah sering mengadakan pelatihan online, lewat SMS, aku bikin kayak buku singkat soal bagaimana (menangani) gigitan ular. Karena di Indonesia masih percaya mistis dan mitos, banyak terpengaruh sama film-film Suzanna, jadi akhirnya aku buat konsultan online pada tahun 2014," kata Maha saat berbincang dengan kumparan.
Pada tahun 2013, Maha mengumpulkan dokter, perawat, dan masyarakat untuk memberikan pelatihan terkait penanganan pertama terhadap gigitan ular. Lewat pelatihan itu, Maha baru mengetahui banyak dokter dan perawat yang sama sekali tidak tahu bagaimana caranya menangani pasien yang terkena gigitan ular.
Dr. Tri Maharani. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
"2018 aku bikin Indonesia Toksinologi di Yogyakarta dihadiri dari 11 negara. 2019 aku adakan lagi dari 4 negara (diadakan) di Jakarta di Hotel Borobudur (dihadiri) 400 orang," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Semenjak mendirikan Indonesia Toksinologi, Maha pun mulai sering berkeliling Indonesia untuk membantu menangani masyarakat yang terkena gigitan ular, serta mencari data terkait berapa banyak masyarakat yang terkena gigitan ular. Dari data yang terkumpul, Maha menemukan bahwa setiap tahun terdapat 500-1.000 kasus gigitan.
Menurut Maha, jumlah tersebut memang tinggi. Apalagi kondisi geografis Indonesia yang cukup 'bersahabat' untuk habitat ular.
"Jumlah ular berbisa di Indonesia 77 ekor, sementara total jenis ular 370 ekor. Jadi itu termasuk besar karena kayak Taiwan cuma ada 6 ular berbisa, Malaysia cuma 25-an, Thailand itu 40, Australia 45-an," ungkapnya.
"Karena Indonesia bagian barat itu, Jawa, Sumatera, dan Kalimantan jenis ularnya sama dengan Asia. Tapi di Papua dan Maluku (jenis ular) sama dengan Australia, sementara sisanya enggak sama dengan benua mana pun karena tidak pernah ada sejarahnya menyatu dengan negara lain. Jadi jenis ularnya beda lagi," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Maha mengungkapkan, selama tahun 2019 ada 587 kasus gigitan ular yang 54 kasus di antaranya meninggal dunia. Presentase kasus kematian akibat ular di Indonesia sebesar 10 persen terbilang besar, sebab WHO hanya menargetkan angka kematian karena ular sebesar 2 persen.
"Artinya ini pekerjaan yang besar. Aku training udah (sejak) 2012, terus betul-betul terstruktur 2013, 2014 sampai sekarang. Jadi baru 7 tahunan," tuturnya.
Dokter Tri Maharani memberikan penjelasan soal penanganan korban gigitan ular. Foto: kumparan
Meski demikian, pelatihan untuk dokter, perawat, dan masyarakat tidak cukup. Maha berharap agar pelatihan pertolongan pertama untuk gigitan ular juga dimasukkan dalam kurikulum sekolah.
"Jadi harus diajarkan di SD, di UKS, di Pramuka. Karena ini kan kegawatdaruratan kayak bencana. Sama dengan ular berbisa, ini harus diajari di kurikulum, (mata pelajaran) Biologi, UKS," ucapnya.
ADVERTISEMENT

Antivenom di Indonesia Terbatas

Salah satu tantangan Maha dalam menangani masyarakat yang terkena gigitan ular, khususnya gigitan ular berbisa adalah terbatasnya antivenom atau antibisa. Maha mengungkapkan, Indonesia hanya memiliki satu antivenom untuk 5 jenis ular, padahal ada 77 jenis ular berbisa di Indonesia.
Maha mengungkapkan pernah pergi ke Australia untuk membeli antivenom ular berbisa yang tidak ada di Indonesia. Untuk satu antivenom, Maha harus merogoh kocek Rp 80 juta.
"Kayak kemarin kasus di Lebata, aku pergi ke Thailand (untuk membeli antivenom) meski dalam masa pandemi COVID," tuturnya.
Maha mengakui tidak mudah untuk membuat antivenom, apalagi pemerintah Indonesia tidak memiliki data yang memadai. Sehingga riset untuk antivenom sulit dilakukan.
"Kemudian untuk riset, skill dokter dan perawat harus oke. Lalu pedoman, tanpa pedoman kita tidak tahu apakah antivenom diperlukan. Jadi data, dokter, pedoman dan kemampuan masyarakat untuk membedakan mistis dan antivenom, lalu fokus Kemenkes," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Maha pun mendesak Kemenkes agar ada program khusus untuk kasus darurat seperti gigitan ular. Selama ada program dan selama ada data, Maha yakin riset antivenom dapat dilakukan di Indonesia.
"Jadi kelemahannya di antara semua riset, orang-orang yang kerja di Kemenkes, para ilmuwan itu enggak seagresif saya cari data. Karena saya lihat 8 tahun ini minta data, karena dari perjalanan saya yang sulit itu bukan riset, tapi mencari data karena itu butuh kegigihan, butuh uang, dan tidak banyak orang mau mengeluarkan uangnya sendiri untuk mencari data," ungkapnya.
Ilustrasi Ular King Cobra Foto: shutterstock

Kesalahan Orang Indonesia dalam Menangani Gigitan Ular

Sebagai dokter yang memiliki keahlian dalam penanganan gigitan ular, Maha sudah sering menemukan pertolongan pertama gigitan ular yang salah. Ia mengungkapkan, orang Indonesia masih percaya dengan mistis dan mitos hingga pengobatan tradisional yang salah.
ADVERTISEMENT
"Kesalahan fatal diikat, pakai jarum entah teori dari mana, ada yang (darah) disedot karena dianggap bisanya keluar. Padahal itu keliru karena bisa ular itu bentuknya mikro, protein mikro. Terus ada pakai alat mistis contohnya keris, batu hitam, batu akik," ungkapnya.
Maha bahkan membuat riset terkait penanganan gigitan ular yang salah yang selama ini dilakukan masyarakat Indonesia. Berdasarkan hasil riset yang dikumpulkannya sejak tahun 2012-2016, sebagian besar masyarakat melakukan pertolongan pertama dengan mengikat bagian tubuh yang digigit ular, dengan anggapan agar bisa ular tidak menyebar.
Karena kesalahan penanganan gigitan ular, Maha menyayangkan banyak nyawa yang melayang. Salah satu kasus yang tetrkenal adalah kasus penyanyi dangdut, Irma Bule, yang digigit ular King Cobra saat sedang manggung. Saat ditelusuri, Irma Bule tidak langsung mendapatkan perawatan ketika sudah digigit ular.
ADVERTISEMENT
"1 minggu setelah dia meninggal, saya pergi ke rumah sakit. Mau tahu dia pas dibawa udah meninggal atau belum, rupanya sudah. Jadi terlalu lama di lokasi. Mereka salah first aid. Jadi dia sudah digigit tapi masih menari, ya bisanya menyebar lewat getah bening," jelasnya.
Petugas kesehatan RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) menunjukkan serum anti ular berbisa, di Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (17/12). Foto: ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah
Kasus lainnya yang ditemukan adalah remaja berusia 17 tahun yang melakukan atraksi dengan ular berbisa ketika car free day. Namun ular tersebut mengigigitnya sehingga remaja tersebut meninggal.
"Ada kasus anak 17 tahun. Mereka dalam pencarian identitas, banyak yang menyesatkan mereka jadi dianggap main dengan hewan berbisa kelihatan lebih bernyali, tapi nyawa mereka taruhannya. Mereka atraksi di car free day, terus meninggal," ungkapnya lagi.

Harapan Maha untuk Pemerintah

Maha berharap agar Indonesia memiliki program khusus kedaruratan untuk penanganan ular berbisa di Kemenkes. Bahkan, ia mendorong dibukanya poison centre untuk riset antivenom.
ADVERTISEMENT
"Kemudian membuat poison centre. Saya bersedia untuk membantu karena mumpung cari orang seperti saya masih butuh 50 tahun lagi. Kemudian saya berharap pemerintah juga tetap memberikan fokus untuk kasus-kasus yang terabaikan ini dengan mendukung riset," tuturnya.
"Karena riset itu dibutuhkan baik soal first aid dan lain-lain. Saya berharap pemerintah tetap memberikan ruang yang luas untuk para tenaga kesehatan belajar tentang kasus di bidang toksinologi ini," pungkasnya.