Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Di tengah riuhnya jalanan sekitar Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, sosok Tris Wanto (42) tampak santai duduk di dalam bajaj biru di jalur pejalan kaki di dekat pintu keluar stasiun.
ADVERTISEMENT
Sesekali ia melambaikan tangan ke arah wisatawan asing yang melintas.
"Halo, Sir. Tuk-tuk?" sapanya dengan logat khas orang Jawa saat mencoba menawarkan jasa angkut kendaraan roda tiga itu di Pintu Selatan Stasiun Gambir, Jakpus, Jumat (2/5).
Tuk-tuk adalah kendaraan roda tiga khas Thailand, mirip bajaj.
Sejak 2007, Tris setia mengaspal dengan bajaj. Kala itu, warna bajaj masih oranye, dan ojek online belum jadi pesaing utama. Kini, ia mengaku, situasinya berubah. Persaingan ketat, pendapatan tak menentu, dan setoran tetap jadi beban harian yang tak bisa ditawar.
"Dulu lebih enak. Sekarang mah saingannya banyak," ujar pria yang mengenakan bucket hat ini sambil tersenyum.
Meski begitu, ia tetap bertahan karena setiap hari dia bisa bertemu dengan orang-orang baru yang jadi penumpangnya dan berbagi kisah sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Dari kawasan Johar Baru, tempat ia tinggal di mess bersama puluhan sopir bajaj lain, ia berangkat pagi dan pulang larut malam, kira-kira pukul 00.00 dini hari.
Setoran Rp 70 Ribu/Hari
Pendapatan hariannya tak selalu cukup, dirata-rata sehari bisa dapat sekitar Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu, dipotong setoran Rp 70 ribu ke pemilik bajaj. Kadang ia nombok, atau sekadar mencicil kekurangannya esok hari.
Soal libur, jangan harap bisa sesuka hati. Tris hanya mengambil libur sehari dalam seminggu, tergantung kapan lelahnya badan saja.
Hari-hari Tris tak hanya diisi dengan mencari penumpang lokal. Wisatawan asing yang mengunjungi kawasan Monas dan sekitarnya menjadi langganan musiman.
ADVERTISEMENT
Ia biasa menawarkan jasanya dengan sebutan “Tuk-tuk”—istilah populer untuk kendaraan serupa di Thailand.
Dengan penghasilan pas-pasan, Tris terpaksa hidup terpisah dengan keluarganya. Istri dan dua anak laki-lakinya tinggal di Brebes, Jawa Tengah. Ia menengok mereka sebulan sekali atau sekadar mengirim uang hasil narik ke kampung. Istrinya mengurus rumah dan membantu ekonomi keluarga dengan menjadi buruh tani.
Bagi Tris, menarik bajaj bukan hanya pekerjaan. Ini adalah ruang bertahan hidup di kota yang makin keras. Kadang ia merasa jenuh, kadang juga senang saat penumpang ramah atau membayar lebih. Tapi ia tak banyak mengeluh.
ADVERTISEMENT