KLB Polio Tak Bisa Diremehkan, Guru Besar FKUI Beri Pesan Capres Cawapres

17 Januari 2024 3:07 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas kesehatan meneteskan vaksin polio pada mulut anak balita saat pelaksanaan Sub Pekan Imunisasi Nasional Polio di Madiun, Jawa Timur, Senin (15/1/2024). Foto: ANTARA FOTO/Siswowidodo
zoom-in-whitePerbesar
Petugas kesehatan meneteskan vaksin polio pada mulut anak balita saat pelaksanaan Sub Pekan Imunisasi Nasional Polio di Madiun, Jawa Timur, Senin (15/1/2024). Foto: ANTARA FOTO/Siswowidodo
ADVERTISEMENT
Mulai minggu ini (15 Januari 2024) diselenggarakan Sub PIN (Pekan Imunisasi Nasional) Polio secara serentak. Sasaran imunisasi 8,4 juta anak di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kab Sleman Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Pada 20 dan 27 Desember 2023 Indonesia memberi tahu WHO bahwa ada 2 kasus terkonfirmasi polio, dari Klaten dan Pamekasan, Madura.
Disebutkan bahwa sebelumnya Indonesia sudah pernah pula melaporkan 4 kasus polio pada periode Oktober 2022 sampai Februari 2023, tiga di antaranya terjadi di Aceh dan satu kasus di Jawa Barat.
Data lanjutan di laman Sehat Negeriku disebutkan bahwa Kementerian Kesehatan mendapatkan laporan ditemukannya tiga penyakit kasus lumpuh layu akut (Acute flaccid paralysis/AFP) yang disebabkan oleh Virus Polio Tipe Dua.
Dua kasus ditemukan di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur pada Desember lalu sedangkan satu kasus lainnya ditemukan di Jawa Timur pada 4 Januari 2024.
“Vaccine-derived poliovirus” adalah situasi di mana galur/strain virus polio yang bermutasi dari galur/strain yang ada di dalam virus polio yang diteteskan (“Oral Polio Virus OPV”). Seperti diketahui bahwa OPV mengandung virus polio yang dilemahkan, yang bila masuk ke sistem pencernaan maka akan membentuk imunitas dengan pembentukan antibodi," kata Guru Besar FKUI Prof Tjandra Yoga Aditama dalam keterangannya dikutip Rabu (17/1).
ADVERTISEMENT
Ia menambahkan, pada keadaan sangat jarang, galur/strain OPV dapat secara genetik berubah dan mungkin saja beredar di komunitas yang tidak mendapat vaksinasi polio secara lengkap, khususnya pada area yang higiene dan sanitasi buruk.
Prof Tjandra Yogaaditama, Guru Besar UI. Foto: Dok. Pribadi/Tjandra Yogaaditama
WHO menyebutkan bahwa makin rendah imunitas penduduk maka makin lama “vaccine-derived poliovirus” beredar dan makin bertambah kemungkinan perubahan genetiknya.
Lalu, pada keadaan yang sangat jarang maka “vaccine-derived poliovirus” ini dapat secara genetik berubah dan menyebabkan kasus lumpuh layu (“paralysis”) seperti yang sekarang terjadi di negara kita, gejalanya sama seperti kasus yang terinfeksi virus polio secara umumnya, yang disebut “wild poliovirus”.
Kalau kemudian kejadian “vaccine-derived poliovirus (VDPV)” ditemukan di dua daerah berbeda dalam jarak waktu setidaknya 2 bulan, dan kedua nya terkait secara genetikal (“genetically linked”) maka itu menunjukkan bukti terjadinya penularan bersirkulasi di masyarakat.
ADVERTISEMENT
"Dan karena itu disebut sebagai ‘circulating’ vaccine-derived poliovirus (cVDPV), seperti yang terjadi di beberapa daerah negara kita. Sama seperti virus penyebab polio – “wild poliovirus” maka cVDPVs juga 3 tipe, (1,2 or 3), dan Disease Outbreak News WHO 11 Januari 2024 menyebutkan bahwa kejadian di Indonesia disebabkan oleh yang tipe 2. Jadi namanya cVDPV2," urai dia.
Mantan Kalitbangkes Kemenkes itu juga berharap isu kesehatan jadi concern para capres cawapres. Apalagi kasus polio tentu tidak bisa diremehkan.
"Semoga juga para paslon capres dan cawapres kita memberi perhatian penting dalam program kerjanya untuk kesehatan bangsa, selain yang sudah amat banyak di bahas tentang politik, hukum, ekonomi, pertahanan dan lain-lain," kata dia.
"Kejadian Polio kita dalam bentuk cVDPV ini kembali menunjukkan bahwa kesehatan bukan hanya mengobati yang sudah jatuh sakit, bukan hanya membangun rumah sakit internasional, tetapi juga harus memperkuat pelayanan kesehatan primer di pedesaan," sambungnya.
ADVERTISEMENT
"Mewujudkan higiene dan sanitasi , perumahan yang layak (yang termasuk dalam “Social determinants of health – SDOH”). Serta melakukan kegiatan promotif preventif antara lain dengan vaksinasi serta mencegah bersirkulasinya virus atau bakteri penyebab penyakit," tutup mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu.