Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1

ADVERTISEMENT
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK ) memberikan penjelasan terkait banjir besar yang melanda Kalimantan Selatan.
ADVERTISEMENT
Bedasarkan hasil evaluasi, lokasi banjir di Kalsel terjadi di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Sungai Barito. Terungkap jika kondisi ekologis di sana sudah tidak memadai sehingga tak mampu menampung debit air akibat curah hujan tinggi.
"Lokasi banjir ini terjadi di sepanjang arus deras Barito di mana memang dari evaluasi yang ada, kondisi infrastruktur ekologisnya yaitu jasa lingkungan pengatur air sudah tidak memadai. Sehingga tidak mampu lagi menampung aliran air masuk," kata Dirjen PPKL RM Karliansyah dalam konferensi pers virtual, Selasa (19/1).
Karliansyah memberikan informasi jika Sungai Balangan dan Sungai Martapura merupakan bagian dari Sungai Barito. Mereka masuk dalam sub DAS Barito seperti halnya Barbae dan kemudian Batang masuk sub DAS Martapura.
ADVERTISEMENT
"Jadi memang di lapangan kita hanya mengenal Sungai Amandit, Sungai Balangan, Sungai Martapura tapi dia adalah bagian dari alur sungai DAS Barito," jelas dia.
Selain itu, Karliansyah mengatakan meluapnya DAS Sungai Barito juga karena cuaca ekstrem. KLHK mencatat pada Januari 2020 curah hujan normal di Kalsel 394 mm.
"Yang kita catat dari data BMKG tanggal 9 sampai 13 Januari 2021 itu 461 mm selama lima hari artinya 8-9 kali dari curah hujan yang normal dengan demikian volume air yang masuk ke sungai itu juga itu luar biasa. Jadi dari perhitungan itu ada sekitar 2,08 miliar meter kubik yang masuk dibandingkan kondisi normal itu hanya 238 juta meter kubik," kata Karliansyah.
ADVERTISEMENT
"Sebagai contoh saja di Kabupaten Tanah Laut, debit sungai 645,56 meter kubik per detik. Sementara bisanya hanya 410,73 meter per kubik per detik. Di kabupaten Banjar juga sama dari kapasitas 47,99 meter kubik per detik yang terjadi adalah 211,59 meter kubik per detik. Kemudian di Hulu Sungai Tengah itu tercatat 333,79 meter kubik per detik padahal kapasitasnya hanya 93,42 meter kubik per detik," tambah dia.
Karliansyah juga menuturkan, drainase juga tidak berjalan dengan baik. Hal ini dipicu daerah yang dilanda banjir merupakan titik pertemuan anak sungai yang cekung sehingga volume air meningkat.
"Kemudian lokasi banjir itu umumnya berada di daerah yang datar. Dan bermuara di laut. Sehingga merupakan akumulasi air dengan tingkat drainase yang rendah," ucap dia.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, KLHK mencatat ada perbedaan yang sangat besar antara tinggi bagian hulu dengan hilir. Hal ini juga memicu terjadinya banjir.
"Sehingga pasokan air dari hulu dengan energi dan volume besar tadi waktu konsentrasinya cepat jadilah genangan air banjir," tutur dia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga menyatakan penurunan luas hutan alam di Kalsel mencapai 62,8% selama 30 tahun terakhir atau sejak 1990.
"Kalau kita perhatikan dari tahun 1990 sampai 2019 maka penurunan luas hutan alam itu sebesar 62,8%. Yang paling besar itu terjadi antara 1990 sampai 2000 sebesar 55,5%," ujar Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK, Karliansyah, dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Selasa (19/1).
ADVERTISEMENT
Dari data yang ditunjukkan Karliansyah, tercatat luas hutan alam di Kalsel menyusut sekitar 463.481 hektare dalam kurun waktu 1990-2019. Berikut datanya:
Di sisi lain, pembukaan kawasan non-hutan semakin meningkat sejak tahun 1990. Dari 1.025.542 hektare di 1990 menjadi 1.495.497 hektare pada 2019.
Pembukaan lahan untuk perkebunan selama 30 tahun terakhir tersebut mencapai 219,313 hektare. Adapun pembukaan lahan bagi pertambangan kurun 1990-2019 mencapai 29.918 hektare.
Sementara dari total wilayah Kalsel seluas 3.721.884,85 hektare, luas hutan sekitar 24,68% dari idealnya 30%. Adapun luas lahan perkebunan di Kalsel dibandingkan total wilayah mencapai 17,53% atau 652.564 hektare. Pertambangan mencapai 2,88% dari total luas wilayah atau sebesar 107.058 hektare.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana luas areal hutan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Barito yang berguna untuk menampung air?
Karliansyah menjelaskan DAS Barito mencakup 4 provinsi di Kalimantan yakni:
Karliansyah menyebut dari 1,8 juta luas DAS Barito di Kalsel, proporsi areal berhutan di sekitarnya hanya 18,2%.
"15% berupa hutan alam dan 3,2% lainnya merupakan hutan tanaman," ucapnya.
Sedangkan sisa areal DAS Barito yang tidak berhutan seluas 81,8% didominasi lahan pertanian kering campur semak 21,4%, sawah 17,8 %, dan perkebunan 13%.
ADVERTISEMENT
Meski data tersebut menunjukkan luas area hutan alam terus menurun, KLHK menilainya bukanlah penyebab utama banjir besar di Kalsel. Ia menyatakan penyebab utama banjir yakni cuaca ekstrem.
"Penyebab banjir secara umum sekali lagi ini terjadi di alur DAS Barito khusus wilayah Kalsel akibat dari cuaca yang ekstrem," kata Karliansyah.
Dia mengatakan, curah hujan tinggi yang mengguyur Kalsel membuat debit air tak lagi mampu ditampung sungai. Sehingga air meluap ke jalan dan pemukiman warga.