Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
KNKT Ungkap 2 Penyebab Utama Jatuhnya Sriwijaya Air SJ-182
3 November 2022 13:06 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT ) akhirnya mengungkap hasil investigasi jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182 pada Januari 2021 lalu. Hasil investigasi yang juga dibantu komite keselamatan lain dari 3 negara itu diungkap dalam rapat bersama Komisi V DPR RI yang membidangi perhubungan, siang ini.
ADVERTISEMENT
Kasubkom KNKT Moda Penerbangan, Nurcahyo Utomo, menjelaskan ada dua masalah utama yang menjadi penyebab-penyebab jatuhnya SJ-182. Yakni persoalan mekanikal pada thrust lever (tuas dorong) kanan pesawat dan kepercayaan pilot pada sistem otomatisasi penerbangan.
"Tahapan perbaikan sistem auto-throttle (tuas pengatur mesin pesawat) belum capai mekanikal. Thrust lever kanan tidak mundur seusai permintaan auto-pilot karena hambatan pada sistem mekanikal dan thrust lever kiri mengkompensasi dengan terus bergerak mundur sehingga terjadi asimetri," kata Nurcahyo dalam rapat di Gedung DPR Senayan, Kamis (3/11).
"Setelah asimetri seharusnya Cruise Thrust Split Monitor (CTSM) bisa nonaktifkan auto-throttle, tapi terjadi keterlambatan sehingga asimetri berlebih dan pesawat jadi belok ke kiri. Lalu complacency, rasa percaya ke sistem otomatisasi, dan confirmation bias yang berakibat kurangnya monitoring, sehingga tidak disadari asimetri dan penyimpangan arah penerbangan," imbuh dia.
Lebih rinci terkait masalah mekanikal, ia menjelaskan, pada saat climbing pesawat terjadi perubahan mode auto pilot dari yang semula menggunakan manajemen komputer ke mode control panel. Ini menurut hasil flight data recorder yang diunduh KNKT.
ADVERTISEMENT
"Perubahan ini nampaknya membutuhkan tenaga mesin lebih sedikit. Apabila menggunakan tenaga lebih sedikit, normalnya auto-throttle akan menggerakkan kedua thrust lever untuk mundur untuk mengurangi tenaga mesin. Namun dalam penerbangan ini auto-throttle tidak bisa menggerakkan thrust lever yang kanan. Yang kiri tetap bergerak sedangkan yang kanan tidak bergerak," lanjut Nurcahyo.
"Ada 7 komponen terkait auto-throttle yang kami periksa di Amerika dan Inggris. Kami yakini bahwa gangguan yang terjadi pada thrust lever pada sebelah kanan ini adalah gangguan pada sistem mekanikal, bukan sistem komputernya," imbuh dia.
Saat thrust lever tenaga mesin sebelah kanan tidak berkurang, maka thrust lever sebelah kiri mengurangi tenaga mesin untuk mengkompensasi kebutuhan tenaga mesin sesuai permintaan autopilot. Akhirnya terjadi perbedaan kiri dan kanan. Perbedaan ini, jelas Nurcahyo, disebut dengan asimetri.
ADVERTISEMENT
"Lalu lintas hari itu padat dan ada pesawat tujuan penerbangan yang sama ke Pontianak. Sehingga pesawat SJ-182 diminta air traffic controller untuk berhenti di ketinggian 11.ooo kaki," jelas dia.
"Menjelang ketinggian 11.000 kaki, tenaga mesin semakin berkurang karena sudah mencapai ketinggian yang sudah diperintahkan. Karena thrust lever sebelah kanan tidak bergerak, maka thrust lever sebelah kiri terus mengurangi tenaganya sehingga perbedaan mesin sebelah kiri dan kanan semakin besar," paparnya.
Nurcahyo kemudian menjelaskan, pesawat ini sudah dilengkapi dengan sistem CTSM. Sistem ini bisa menonaktifkan auto-throttle saat terjadi asimetri untuk mencegah perbedaan tenaga mesin lebih besar.
Salah satu syarat penonaktifan auto-throttle adalah jika flight spoiler membuka lebih dari 2,5 derajat selama minimum 1,5 detik. Kondisi ini tercapai pada pukul 14.49 WIB. Saat itu pesawat berbelok ke kanan dengan sudut 15 derajat, namun auto-throttle masih aktif.
ADVERTISEMENT
"Pada pukul 14.40 WIB, 30 detik kemudian auto-throttle nonaktif. Nonaktifnya adalah dari fungsi CTSM. Keterlambatan fungsi CTSM ini diyakini karena informasi dari flight spoiler yang memberikan nilai sudut pembukaan yang lebih atau rendah dari seharusnya, sehingga komputer memberikan sensor yang berbeda dan informasi sudut ini diyakini penyetelan atau rigging dari flight spoiler," jelasnya.
"Adapun penyetelan rigging belum pernah dilakukan di Indonesia. Menurut buku panduan dari Boeing, [penyetelan] hanya diperlukan kalau ada pelepasan dari flight spoiler atau pergantian. Dan selama pesawat ini dioperasikan di Indonesia sejak 2012 belum pernah dilakukan pelepasan atau pergantian flight spoiler sehingga belum pernah dilakukan rigging. Kemungkinan rigging terakhir dilakukan di Amerika," tambahnya.
Yakin pada Otomatisasi Pesawat, Pilot Belokkan Pesawat Miring Berlebih ke Arah yang Sama
Sebagai gambaran, kata Nurcahyo, apabila terjadi perbedaan tenaga mesin, misalnya mesin kanan lebih besar daripada mesin kiri, maka daya dorong sayap kanan lebih besar sehingga pesawat bergeleng (yawing) ke kiri. Berdasarkan hukum aerodinamik jika pesawat sudah yaw, maka pesawat akan rol.
ADVERTISEMENT
Dalam penerbangan ini, menjelang ketinggian 11.000 kaki, pesawat yang tadinya sedang berbelok ke kanan karena perubahan posisi thrust lever sebelah kiri makin berkurang, menghasilkan tenaga mesin yang makin berkurang. Akhirnya pesawat menjadi datar, tidak bergerak, tidak berbelok, dan berpindah berbelok ke kiri.
Lebih lanjut, perubahan tersebut tak disadari oleh pilot yang diyakini KNKT cenderung percaya pada otomatisasi pesawat.
"Selama penerbangan ini terdapat beberapa perubahan di kokpit antara lain perubahan posisi thrust lever, perubahan penunjukkan indikator mesin. Perubahan ini tidak disadari pilot. Kami kebetulan dari cockpit voice recorder (VCR), kami temukan suara kapten tidak terekam. Kami tidak bisa tentukan kenapa suara kapten tidak terekam, tapi ada dugaan kapten tidak bisa menggunakan headset," terang Nurcahyo.
ADVERTISEMENT
"Kemudian ada mic yang kami harapkan bisa merekam apapun suara yang ada di kokpit tapi tertutup suara bising. Jadi kami tidak bisa menganalisa bagaimana kerja sama di kokpit, apa saja perintahnya dari kapten ke co-pilot, namun suara co-pilot bisa kita dengar sepanjang waktu. Kami tidak tahu apa yang terjadi namun kami asumsikan pilot percaya sistem otomatisasi yang ada di pesawat," kata dia.
Nurcahyo menerangkan jika pesawat sudah di-setting ke arah tertentu, ketinggian sesuai apa yang telah diatur, auto-throttle akan mengatur sesuai permintaan autopilot. Kondisi inilah yang diduga berdampak pada kinerja monitoring pilot dan instrumen dalam kondisi yang terjadi.
Sehingga saat pesawat miring berlebih ke kiri, pilot merasa pesawat miring ke berlebih ke kanan karena merasa auto-throttle sudah diatur ke arah ini. Pilot pun justru berusaha memulihkan pesawat ke arah kiri.
ADVERTISEMENT
"Pada kondisi kemudi miring ke kanan sementara pesawat miring ke kiri, membuat terjadinya peringatan kemiringan atau bank angle warning, yang artinya pesawat sudah miring berlebihan dari 35 derajat. Posisi kemudi yang miring ke kanan mungkin menimbulkan asumsi ke pilot, pesawat sudah berbelok ke kanan," jelas Nurcahyo.
"Padahal sesungguhnya pesawat belok ke kiri. Perbedaan asumsi karena kurangnya monitor tadi berakibat pada upaya pemulihan yang dilakukan pilot tidak sesuai. Flight data recorder mencatat, 4 detik pertama pemulihan yang dilakukan adalah membelokkan pesawat ke kiri. Sementara pesawat sedang berlebih ke kiri," tandas dia.
Pada 9 Januari 2021, Pesawat Sriwijaya SJ-182 yang merupakan Boeing 737 berangkat dari Jakarta dengan tujuan Pontianak tinggal landas pada 14.36 WIB.
ADVERTISEMENT
Setelah terbang 13 menit, pesawat mengalami kecelakaan dan berakhir penerbangan di perairan Kepulauan Seribu, sekitar 11 mil dari Bandara Soekarno-Hatta. Sebanyak 62 orang tewas terdiri dari 56 penumpang, 2 pilot dan 4 awak kabin.