Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT) merilis hasil investigasi jatuhnya Lion Air JT-610 di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat, 29 Oktober 2018.
ADVERTISEMENT
Pesawat itu jatuh setelah 13 menit tinggal landas dari Bandara Soekarno-Hatta menuju ke Pangkalpinang, Bangka Belitung. Kecelakaan ini menewaskan 189 orang, termasuk pilot Kapten Bhavye Suneja dan Kopilot Harvino.
Kepala Sub Komite Investigasi Keselamatan Penerbangan KNKT Kapten Nurcahyo Utomo mengatakan, terdapat kerusakan pada bagian Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) pesawat. Sayangnya, Boeing tidak cukup memberikan informasi lengkap tentang bagaimana sistem ini bekerja.
Kurangnya informasi ini juga berdampak pada reaksi pilot saat mengalami kerusakan pada MCAS pesawat. Padahal, langkah pertama dalam menghadapi kerusakan sangat penting.
"Pertama saat desain dan sertifikasi dibuat berbagai asumsi terkait reaksi pilot terhadap kerusakan MCAS, asumsi ini sudah dibuat berdasarkan ketentuan berlaku, namun demikian ada beberapa hal yang tidak sesuai jadi asumsinya pilot akan bereaksi dengan memberikan trim yang cukup, tetapi ternyata itu tidak terjadi," kata Nurcahyo saat konferensi pers di Kantor KNKT, Gambir, Jakarta, Jumat (25/10).
ADVERTISEMENT
Pihak Boeing hanya mengandalkan satu sistem sensor MCAS pada pesawat. Hal ini sangat rentan pada kerusakan karena bila sensor rusak, tidak ada sistem lain yang mem-back up.
Hal ini diperparah dengan tidak cukupnya informasi tentang sistem MCAS untuk pilot. Bahkan, minimnya informasi ini sudah terjadi saat pilot melakukan latihan hingga buku panduan pilot dan kopilot.
"Hal ini menyulitkan ketika MCAS aktif mereka tidak bisa mengenali sistem ini apa, karena tidak mengenali MCAS ini apa," tambah dia.
Selain itu, Boeing menyematkan sistem yang bisa menunjukkan perbedaan kemiringan pesawat yang disebut disagree. Indikator ini bekerja melalui alat bernama Angle of Attack (AoA) yang berada di kanan dan kiri pesawat. AoA kemudian terkoneksi dengan sistem MCAS yang hasilnya muncul pada dua indikator cockpit.
ADVERTISEMENT
"AoA indicator ini opsional, sedangkan AoA disagree ini selalu ada menurut desain Boeing. Namun di 737 Max yang memiliki AoA indicator, ternyata AoA tidak berfungsi," kata Nurcahyo.
Hal ini juga dialami oleh pesawat yang sama saat melakukan perjalanan dari Bali ke Jakarta hari sebelumnya. Saat itu, pilot tidak bisa melihat masalah pada AoA sehingga tidak dilaporkan dalam buku perawatan AoA. Dengan tidak munculnya disgaree pada AoA indicator, maka kerusakan itu tidak bisa dilaporkan.
Sebelum terbang dari Bali ke Jakarta, pesawat sempat mengalami kerusakan pada AoA. Pergantian kemudian dilakukan. Tapi ternyata sensor AoA yang dipasang mengalami miskalibrasi atau ketidaksesuaian sebesar 21 derajat.
AoA yang dipasang ini sebelumnya mengalami kerusakan kemudian dikirim ke bengkel untuk diperbaiki. Setelah itu, disimpan di gudang di Batam.
ADVERTISEMENT
"Miskalibrasi ini tidak terdeteksi, oleh karena itu kita harus melakukan proses perbaikan di Florida (AS) dan apa kemungkinan yang bisa menyebabkan kalibrasi ini tidak terlaksana dengan baik," jelas Nurcahyo.
Nurcahyo juga tidak bisa menjamin apakah pemasangan AoA di Bali sudah melalui proses pengetesan yang baik. Temuan KNKT, miskalibrasi ini tidak terdeteksi.
Pada penerbangan Bali-Jakarta pada hari sebelum peristiwa, AoA kembali bermasalah. Ada deviasi sebesar 21 derajat yang tidak terdeteksi saat pemasangan AoA di pesawat.
Hal ini menyebabkan adanya perbedaan penunjukan ketinggian dan kecepatan antara instrumen kiri dan kanan pada cockpit. Masalah ini juga membuat stick shaker dan MCAS aktif. Pilot akhirnya memutuskan untuk menonaktifkan MCAS dengan memindahkan STAB TRIM ke posisi CUT OUT.
ADVERTISEMENT
Setibanya di Jakarta, pilot melaporkan beberapa masalah, tapi tidak semua dilaporkan. Lampu indikator AoA disgree tidak tersedia sehingga pilot tidak melaporkan. Padahal, masalah ini hanya bisa diperbaiki menggunakan prosedur perbaikan AoA Disagree.
"Info ini tidak ditulis akibatnya teknisi di Jakarta kekurangan info untuk melakukan perbaikan karena infonya terbatas. Kemudian pilot berikutnya saat membuka buku mereka hanya melihat pesawat sebelumnya mengalami masalah, tapi tidak tahu ada masalah lain yang terjadi," tutur Nurcahyo.
"Jadi kekurangan ini, baik teknisi atau pilot, mengalami kesulitan untuk mengambil tindakan sesuai tugas masing-masing," tambah dia.
Nurcahyo menuturkan, KNKT juga menemukan ada beberapa indikasi peringatan yang menyala, lalu MCAS dalam kondisi aktif. Pola komunikasi yang dilakukan pilot juga tidak berjalan baik.
ADVERTISEMENT
"Kemudian ada hal-hal bagaimana menerbangkan pesawat secara manual, prosedur untuk menormalkan, kemudian komunikasi antarpilot yang berdampak pada kerja sama kurang baik dan beban kerja yang tidak bisa dikelola dengan baik," kata Nurcahyo.
KNKT menemukan data adanya komunikasi yang kurang baik dari pilot dan awak pesawat dalam menghadapi kondisi gawat darurat.
"Bagaimana mengelola beban kerja ini pernah diidentifikasi pada pelatihan kemudian muncul lagi pada kecelakaan," ucap dia.