news-card-video
15 Ramadhan 1446 HSabtu, 15 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45

Koalisi Masyarakat Sipil Kritik RUU TNI: Kembalinya Dwifungsi TNI

15 Maret 2025 11:29 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur riset ELSAM Wahyudi Djafar. Foto: Dwi Herlambang/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Direktur riset ELSAM Wahyudi Djafar. Foto: Dwi Herlambang/kumparan
ADVERTISEMENT
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, sebagaimana disampaikan Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar, mengkritik Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI.
ADVERTISEMENT
"Pemerintah sudah menyampaikan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) RUU TNI kepada parlemen pada 11 Maret 2025, draf RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tetap akan mengembalikan dwifungsi TNI dan menguatnya militerisme," kata Wahyudi melalui keterangan tertulis, Jumat (15/3).
Menurut Wahyudi, Koalisi Masyarakat Sipil sejak awal menilai pengajuan revisi terhadap UU TNI tidak urgent karena UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 masih relevan digunakan untuk membangun transformasi TNI ke arah militer yang profesional sehingga belum perlu diubah.
"Yang perlu diubah oleh pemerintah dan DPR adalah aturan tentang peradilan militer yang diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1997 agar prajurit militer tunduk pada peradilan umum jika terlibat tindak pidana umum, demi menegakkan asas persamaan di hadapan hukum yang ditegaskan dalam Konstitusi," ujar Wahyudi.
Ilustrasi TNI. Foto: Laksana Mohammad Hanif/Shutterstock
Wahyudi menjelaskan soal pasal-pasal bermasalah di RUU TNI. Pertama soal perluasan di jabatan sipil yang menambah Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak tepat dan ini jelas merupakan bentuk dwifungsi TNI.
ADVERTISEMENT
"Untuk di kantor Kejaksaan Agung, penempatan ini tidaklah tepat karena fungsi TNI sejatinya sebagai alat pertahanan negara, sementara Kejaksaan fungsinya adalah sebagai aparat penegak hukum. Walau saat ini sudah ada Jampidmil di Kejaksaan agung, namun perwira TNI aktif yang menjabat di Kejaksaan Agung itu semestinya harus mengundurkan diri terlebih dahulu," katanya.
"Sejak awal di bentuknya Jampidmil, kami sudah mengkritisi keberadaan Jampidmil di Kejaksaan Agung yang sejatinya tidak diperlukan," kata Wahyudi.
Wahyudi menuturkan bahwa Jampidmil hanya menangani perkara koneksitas, harusnya tidak perlu dipermanenkan jadi sebuah jabatan bernama Jampidmil. Untuk kepentingan koneksitas sebenarnya bisa dilakukan secara kasuistik dengan membentuk tim ad hoc gabungan tim Kejaksaan Agung dan oditur militer.
"Lagipula, peradilan koneksitas selama ini juga bermasalah karena seringkali menjadi sarana impunitas. Peradilan koneksitas ini seharusnya dihapus, karena jika militer atau sipil terlibat tindak pidana umum langsung tunduk dalam peradilan umum sehingga tidak perlu koneksitas. Dengan demikian penambahan jabatan sipil di Kejagung sebagaimana dimaksud dalam RUU TNI tidak tepat, termasuk keberadaan Jampidmil," ujar Wahyudi.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi TNI. Foto: hanffburhan/Shutterstock
Menurut Wahyudi, Koalisi menilai penempatan TNI aktif di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga tidak tepat. KKP adalah lembaga sipil sehingga tidak tepat ditempati oleh prajurit TNI aktif. "Prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan di KKP sudah seharusnya mengundurkan diri," ujarnya.

Perlu Penyempitan Jabatan

Wahyudi menuturkan bahwa Koalisi menilai sebenarnya yang diperlukan bukanlah perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif, akan tetapi justru penyempitan, pembatasan, dan pengurangan TNI aktif untuk duduk dijabatan sipil sebagaimana diatur dalam UU TNI.
"Jadi jika ingin merevisi UU TNI justru seharusnya 10 jabatan sipil yang diatur dalam pasal 47 ayat (2) UU TNI dikurangi bukan malah ditambah," kata Wahyudi.
Selain itu, menurut Wahyudi, penambahan tugas operasi militer selain perang yang meluas seperti menangani masalah narkotika adalah terlalu berlebihan. Upaya penanganan narkotika semestinya tetap dalam koridor penegakan hukum, sebagai alat pertahanan negara TNI sepatutnya tidak terlibat di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Wahyudi pun menjelaskan bahwa penanganan narkotika seharusnya lebih menekankan pada aspek medis dan penegakan hukum pun musti dilakukan secara proporsional bukan represif atau bahkan justru melalui operasi militer selain perang dengan pelibatan TNI di dalamnya.
"Karena itu, pelibatan TNI dalam penanganan narkotika adalah berlebihan dan akan meletakkan model penanganan narkotika menjadi 'war model' dengan melibatkan militer di dalamnya dan bukan criminal justice system model lagi sehingga ini berbahaya karena akan membuka potensi execive power," kata Wahyudi.
Direktur riset ELSAM Wahyudi Djafar. Foto: Dwi Herlambang/kumparan
Wahyudi melanjutkan, "Lebih berbahaya lagi, pelibatan militer dalam operasi militer selain perang tidak lagi memerlukan persetujuan DPR melalui kebijakan politik negara atau kebijakan presiden dengan pertimbangan DPR sebagaimana diatur pasal 7 ayat 3 UU TNI 34/2004), tetapi akan diatur lebih lanjut dalam PP sebagaimana diatur dalam draf RUU TNI."
ADVERTISEMENT
"Draf pasal dalam RUU TNI ini secara nyata justru meniadakan peran parlemen sebagai wakil rakyat. Selain itu, hal ini akan menimbulkan konflik kewenangan dan tumpang tindih dengan lembaga lain khususnya aparat penegak hukum dalam mengatasi masalah di dalam negeri," kata Wahyudi.
"Koalisi menolak DIM RUU TNI yang disampaikan pemerintah ke DPR karena masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tetap akan mengembalikan dwifungsi TNI dan militerisme di Indonesia. Pernyataan kepala komunikasi presiden yang menilai tidak ada dwifungsi dalam RUU TNI adalah keliru, tidak tepat, dan tidak memahami permasalahan yang ada dalam RUU TNI," ujar Wahyudi.
ADVERTISEMENT