Koalisi Masyarakat Sipil Minta Komisi III Tak Terburu-buru Bahas Revisi KUHAP

8 April 2025 17:08 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gedung DPR RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung DPR RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari YLBHI, AJI, ILRC, LBH Jakarta, ICJR, dan Amnesty International, mendatangi Komisi III DPR RI, Selasa (8/4). Kedatangan mereka untuk membahas revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
ADVERTISEMENT
Pertemuan berjalan sekitar dua jam dan tertutup. Menurut koalisi, yang hadir pada pertemuan itu hanyalah Habiburokhman sebagai Ketua Komisi III DPR RI.
Usai pertemuan tersebut perwakilan koalisi mengatakan mereka menekankan kepada Komisi III untuk tidak buru-buru dalam proses pembahasan revisi KUHAP.
“Kami ingatkan agar pembahasan tidak terburu-buru, perlahan-lahan, dan tidak seolah ditargetkan akan selesai misalnya bulan Mei atau bulan Juni,” ujar Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur usai pertemuan.
“Harus menampung aspirasi seluruh kehendak atau stakeholder dari masyarakat,” tambahnya.
Koalisi juga menuntut agar setiap tahapan dalam pembahasan revisi KUHAP melibatkan seluruh pihak terkait. Mulai dari kelompok perempuan, buruh, nelayan, hingga kelompok rentan lainnya seperti anak-anak dan disabilitas.
Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (8/4/2025). Foto: Abid Raihan/kumparan
“Jangan sampai pembahasan ini terasa seperti dikejar waktu dan tidak menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat,” imbuh Isnur.
ADVERTISEMENT
Isnur kemudian menyoroti proses pembahasan revisi KUHAP yang berjalan selama ini. Menurutnya, pembahasan revisi KUHAP yang berlangsung tanpa keterbukaan publik berpotensi menciptakan ruang bagi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum.
“Tiba-tiba ada draf yang tidak dibahas secara terbuka. Kami mendesak agar proses ini diperbaiki, dibuka, dan disampaikan kepada publik,” ujar Isnur.
Masalah penting lainnya yang disampaikan oleh koalisi adalah pentingnya menjamin keadilan dan hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana.
“Kami ingin sistem peradilan yang tidak hanya akuntabel, tetapi juga mengedepankan hak asasi manusia,” kata Deputi Direktur ICJR, Maidina.
“Penting bagi kita untuk memisahkan otoritas yang melakukan upaya paksa dan yang menguji apakah upaya paksa tersebut sah,” tambahnya.
Lebih lanjut, Manajer Kampanye Amnesty Internasional, Nurina Savitri, menilai revisi ini sebagai kesempatan untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem hukum Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Revisi KUHAP ini adalah peluang untuk membangun sistem hukum yang lebih baik, lebih transparan, dan berperspektif hak asasi manusia. Namun, kami mempertanyakan apakah ada political will yang cukup dari DPR untuk mewujudkannya,” jelas Nurina.
Manajer Kampanye Amnesty Internasional Nurina Savitri di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (8/4/2025). Foto: Abid Raihan/kumparan
Soal waktu pembahasan, Nurina meminta agar pembahasan revisi KUHAP tidak terpaku pada masa sidang DPR RI. Menurutnya, para dewan harus menyelesaikannya sampai seluruh masalah selesai.
“Kami pikir kalau memang dasar dari pembuatan revisi ini adalah memang untuk membuat sistem hukum yang lebih baik, yang lebih berperspektif hak asasi manusia, harusnya acuannya itu bukan timeline ya, bukan masa sidang 1 kali atau 2 kali gitu,” tuturnya.
“Tapi bagaimana kemudian pasal-pasal di dalam Undang-Undang ini memang betul-betul melindungi gitu. Nah, kami tadi di dalam tidak mendapatkan jawaban seperti itu gitu, masih saja dikejar waktu,” sambungnya.
ADVERTISEMENT

AJI Soroti Kebebasan Pers Dalam Revisi KUHAP

Ilustrasi jurnalis game. Foto: Shutterstock
Sementara itu, Ketua AJI, Nany Afrida, menyatakan keberatan terhadap pasal-pasal dalam revisi KUHAP yang dianggap mengganggu kebebasan pers. Contohnya kewajiban pers untuk meminta izin agar suatu persidangan dapat disiarkan secara publik.
“Kami menilai pasal-pasal ini mengganggu kerja-kerja pers yang seharusnya transparan,” ungkap Afrida.
“Kami meminta agar pasal-pasal tersebut dihapuskan, karena proses pengadilan yang berkepentingan publik harus dapat diakses oleh media,” tambahnya.