kumplus- Lipsus Koalisi Prematur- COVER

Koalisi (Prematur) Dambaan Golkar (1)

23 Mei 2022 11:22 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Airlangga Hartarto, Suharso Monoarfa, dan Zulkifli Hasan mengangkat gelas mereka dan bersulang. Malam itu, 12 Mei 2022, ketiga ketua umum partai politik itu bertemu di Heritage Menteng, Jakarta Pusat. Tak lama berselang, Golkar mengabarkan: pertemuan tersebut menyepakati terbentuknya koalisi politik antara Golkar, PPP, dan PAN. Namanya Koalisi Indonesia Bersatu.
Koalisi tiga partai itu adalah yang pertama menjelang Pemilu 2024—dan diklaim tidak ujug-ujug terbentuk. Sebelumnya, Bendahara Golkar Dito Ganinduto mendapat tugas dari ketua umumnya, Airlangga, untuk menyatukan visi ketiga parpol. Ia menjajaki pandangan PAN dan PPP setidaknya empat bulan terakhir, serta mendampingi Airlangga menyusun strategi dan roadmap untuk menggapai kemenangan di 2024.
Menurut Dito, sebelum koalisi terbentuk, para ketua umum partai tersebut telah beberapa kali bertemu, baik formal maupun informal. Mereka memang sudah saling kenal sejak lama. Airlangga dan Soeharso, misalnya, pernah sama-sama duduk di Komisi VII DPR bidang energi dan industri pada 2004. Keduanya pun kini sama-sama menteri di kabinet Jokowi.
Sementara Dito sendiri pernah bersama-sama dengan Zulkifli Hasan mengurus Kamar Dagang dan Industri Indonesia. “Waktu dulu saya di Kadin sebagai waketum, Pak Zul salah satu pengurus,” ujar Dito kepada kumparan.
Pertemuan Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, Suharso Monoarfa. Foto: Dok. Istimewa
Dari rangkaian pertemuan dan obrolan antara tiga ketua umum partai itu, chemistry terbangun. Mereka merasa cocok dan mendapat formulasi yang pas untuk berkoalisi.
“Mereka (PAN dan PPP) religius, sedangkan kami (Golkar) nasionalis. Jadi religius nasionalis (kalau bersama-sama),” kata Dito.
Ia mengatakan, Koalisi Indonesia Bersatu menggelar rapat beberapa kali untuk menindaklanjuti kesepakatan di antara mereka. “Ada roadmap, kerja politik, strategi pemenangan, dan segala macam. Tapi belum bisa saya beberkan.”
Sebelum berkoalisi dengan PAN dan PPP, Golkar sebetulnya juga berkomunikasi dengan NasDem dan PKB. Namun, kesamaan pandangan tak tercapai.
“Dengan Nasdem sudah (penjajakan), PKB juga sudah. Dengan PKB bahkan saya sudah dua kali bertemu, tapi kami belum sepakat. Sampai tanggal 12 Mei (hari deklarasi Koalisi Indonesia Bersatu), belum ketemu titiknya,” kata Dito.
Dito Ganinduto membantu Airlangga menjajaki koalisi. Foto: Golkar
Kini, dengan terbentuknya Koalisi Indonesia Bersatu, Golkar jadi cukup percaya diri. Pasalnya, gabungan Golkar-PAN-PPP mengantongi perolehan suara 23,67% dalam Pemilu Legislatif 2019, dan menguasai 20% lebih kursi DPR.
Yang terakhir itu membuat koalisi tersebut memenuhi ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold), sebab UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 mensyaratkan pasangan capres-cawapres diusung oleh partai politik atau gabungan parpol yang memiliki 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional pada pemilu legislatif.
Bagi Golkar, mengamankan tiket menuju Pilpres adalah mutlak, sebab mereka—sesuai keputusan Musyawarah Nasional Golkar 2019—akan mengusung sang ketua umum, Airlangga Hartarto, sebagai calon presiden.
“Jadi sampai hari ini, yang benar-benar punya tiket (ke Pilpres 2024) cuma dua: PDIP dan kami—Koalisi Indonesia bersatu,” kata Dito.
PDIP sebagai pemenang Pemilu Legislatif 2019 memang menjadi satu-satunya partai yang menguasai 20% lebih kursi DPR. Persisnya 128 kursi dari 115 (20%) yang disyaratkan untuk mengajukan capres-cawapres.
Airlangga Hartarto saat bertemu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Sabtu (7/5/2022). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA
Meski kini Golkar berhasil mengamankan tiket Pilpres melalui Koalisi Indonesia Bersatu, nyatanya Airlangga belum tentu menjadi capres dari koalisi ini. Koalisi belum menyepakati nama-nama tertentu sebagai kandidat capres mereka.
Menurut Dito, terlalu dini bagi koalisi untuk bicara capres, sebab pemilu masih dua tahun lagi dan politik bersifat dinamis. “Yang penting bisa maju dulu (bersama koalisi).”
Airlangga mengamini. Ia berkata koalisi bersifat cair dan segala kemungkinan dapat terjadi. Menurutnya, “Ini baru jilid satu. (Soal capres) itu jilid berikutnya.”
Sekjen PAN Eddy Soeparno menyatakan, masing-masing anggota koalisi cukup paham situasi dan tidak saling memaksakan kehendak. Soal capres akan menyusul dibahas secara progresif seiring perjalanan koalisi ke depannya.
“Ketika para ketua umum kami bertemu, mereka sudah tahu posisi masing-masing, bahwa Golkar memutuskan di munasnya untuk memajukan Pak Airlangga sebagai capres mereka. Tapi semua (Golkar, PAN, PPP) hadir dengan pikiran terbuka untuk membahas berbagai skenario dan opsi,” ujar Eddy kepada kumparan, Selasa (17/5).
Jabatan menteri tak menjamin elektabilitas jadi tinggi. Foto: ekon.go.id
Secara matematis, berdasarkan sejumlah survei elektabilitas capres, belum semua kader Golkar mendukung Airlangga. Sang Menko Perekonomian hampir tak pernah masuk peringkat atas kandidat capres. Elektabilitasnya terhitung rendah, dalam rentang nol koma sampai lima persen. Padahal, Golkar adalah partai di urutan ketiga pemenang Pemilu 2019 dengan perolehan suara 12,15%.
Artinya: pemilih Golkar belum tentu mendukung Airlangga sebagai capres.
Airlangga pun harus putar otak untuk tetap bisa melaju ke Pilpres 2024. Dalam konteks ini, menurut politisi Golkar Andi Sinulingga, Koalisi Indonesia Bersatu adalah manuver Airlangga untuk mengamankan posisinya sebagai capres sesuai keputusan Munas. Jika tak begitu, ia akan dianggap sebagai ketua umum yang gagal karena tak mampu menjalankan amanat partai.
Ilustrasi: Nadia Wijaya/kumparan
Andi menganggap koalisi ini belumlah serius karena belum ada kontrak atau kesepakatan hitam di atas putih. Belum ada pula pedoman aturan main koalisi. Itu sebabnya ia berpendapat Koalisi Indonesia Bersatu sesungguhnya masih berada pada tahap penjajakan, bukan tahap ikatan dengan komitmen serius.
Sesuai aturan main di internal Golkar, ujar Andi, seharusnya suatu kebijakan penting, termasuk koalisi, diambil melalui mekanisme di Dewan Pimpinan Pusat. Namun, ia tak melihat ada rumusan pembahasan dari DPP terkait hal ini.
“Kalau policy (terkait koalisi) ini punya bantalan legalitas, maka ada proses pengambilan keputusan di partai, mulai dari rapat harian, pleno, rapimnas, munas. Sementara ini belum ada semua,” kata Andi.
Tak pelak, ia meragukan soliditas Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Andi memperkirakan koalisi tersebut tak bakal kokoh sampai 2024. Ia bahkan menyebut KIB bukan koalisi sungguhan, melainkan penjajakan koalisi yang dianggap terlalu serius.
“Koalisi Indonesia Bersatu itu gimmick politik. Saya meragukan koalisi ini permanen karena tidak jelas yang dikoalisikan, baik ide maupun orang yang diusung di Pilpres,” kata Andi kepada kumparan, Kamis (19/5).
Dave Laksono, putra politisi senior Golkar Agung Laksono. Foto: Kosgoro 57/HO ANTARA
Ketua DPP Golkar Dave Fikarno Akbar alias Dave Laksono membenarkan Koalisi Indonesia Bersatu belum memiliki kesepakatan tertulis. Semua masih dalam bentuk gentlemen’s agreement—kesepakatan informal yang tidak mengikat secara hukum.
“Masih kesepakatan bersama para ketum. Masih butuh waktu saling nyambung,” kata Dave.
PAN optimistis kerja sama saling menguntungkan dapat dicapai koalisi ini. Menurut Eddy Soeparno, dengan latar belakang yang berbeda-beda, tiga partai anggota koalisi bisa saling mengisi.
“Kami mewakili spektrum politik yang sangat kuat: Nasionalis (Golkar), Islam tradisional (PPP), dan Islam modern (PAN). Gabungan tiga partai ini mampu menjangkau konstituen dalam ruang lingkup yang luas pula,” papar Eddy.
Memperluas konstituen adalah salah satu tujuan Koalisi Indonesia Bersatu, sebab KIB punya target: menang pemilu dan berkuasa.
“Soal siapa capres dan cawapres yang nanti diusung koalisi, itu juga didasarkan pada pemikiran untuk menang, supaya kami bisa merebut kekuasaan dan membawa perubahan,” kata Eddy.
Dengan kata lain: siapa pun capres dan cawapresnya, kemenangan adalah tujuan KIB.
Ganjar Prabowo, Prabowo Subianto, Anies Baswedan. Foto: kumparan dan Antara
PAN tak menutup kemungkinan melirik capres dengan elektabilitas tinggi seperti Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Dengan ketiga tokoh itu, menurut Eddy, PAN selama ini memiliki relasi yang baik.
PAN mendukung Anies pada putaran kedua Pilkada DKI Jakarta; PAN juga menjalin komunikasi yang baik dengan Ganjar; dan PAN bahkan dua kali mengusung Prabowo di Pilpres—tahun 2014 dan 2019.
Nantinya, PAN akan mencermati paket capres-cawapres yang beredar, terutama paket yang ditawarkan untuk diusung Koalisi Indonesia Bersatu, dan menghitung peluang kemenangan paket-paket tersebut.
“Misalnya A dengan B, atau A dengan C, atau B dengan C, itu dilihat probabilitasnya untuk menang. Jadi yang kami bahas bukan hanya satu orang saja (capres), tapi paket (dengan cawapres),” ujar Eddy.
Apa pun dinamikanya, paket yang diusung KIB akan diputuskan bersama oleh partai-partai anggotanya.
Timbang-timbang kandidat capres-cawapres sudah dimulai. Ilustrasi: kumparan
Sekjen PPP Arsul Sani menyatakan, capres yang diusung koalisi tentu perlu memahami visi dan misi partai-partai anggotanya. Ia mencontohkan, bila Airlangga maju, maka ia harus mengetahui arah dan tujuan PAN dan PPP meski ia dari Golkar.
Jadi, Arsul menduga KIB butuh waktu lama untuk menentukan capres. Lagi pula pembahasan koalisi dalam waktu dekat belum mengarah ke capres dan cawapres, melainkan seputar visi dan misi, termasuk yang nantinya bakal diemban capres-cawapres KIB.
“(Visi misi penting) agar koalisi ini tidak menjadi koalisi pragmatis atau koalisi dagang sapi, atau sekadar jadi kendaraan buat pasangan calon,” kata Arsul.
Ia juga setuju untuk menimbang opsi calon dari luar koalisi seperti Ganjar dan Anies.
“Koalisi itu kan inklusif kepesertaannya. Artinya terbuka kalau partai lain mau bergabung, baik yang di parlemen atau nonparlemen,” ujar Arsul.
Yang pasti, partai-partai anggota KIB berniat meneruskan pekerjaan pemerintah Jokowi, sebab ketiga partai saat ini memang sama-sama berada di pemerintahan.
irlangga Hartarto dan pengurus DPP Golkar. Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA
Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad berpendapat, meski Golkar adalah partai dengan perolehan suara terbesar di KIB, ketua umum mereka—Airlangga—tak realistis maju sebagai capres. Elektabilitas tetap menjadi sandungan dan itu tak bisa diabaikan.
“Popularitasnya masih sangat rendah dibanding tokoh-tokoh lain. Oleh karena itu yang paling realistis adalah mencari tokoh populer untuk diajukan,” kata Saidiman.
Nama-nama seperti Anies, Ganjar, Ridwan Kamil, atau Khofifah Indar Parawansa dirasa Saidiman lebih masuk akal karena mereka cukup populer. Selain itu, keempatnya belum memiliki kendaraan politik atau bukan elite politik.
Golkar masih salah satu partai terbesar di Indonesia. Foto: Maulana Ramadhan/kumparan
Terlepas dari siapa yang nantinya bakal menjadi capres KIB—bila koalisi ini langgeng, KIB dinilai Saidiman punya daya tawar dan basis massa cukup kuat.
“Golkar adalah salah satu kekuatan politik utama di Indonesia yang mengakar sampai ke bawah. PPP juga demikian. Dan PAN punya massa ormas yang cukup solid di antara partai-partai berbasis umat Islam. PAN juga dalam beberapa pemilu terakhir cukup konsisten dengan perolehan suara stabil,” kata Saidiman.
Tapi, hati-hati karena koalisi bisa rontok bila tak cerdik memilih figur capres-cawapres.
“Koalisi bertahan atau tidak itu sangat ditentukan oleh sejauh mana mereka mampu menarik figur yang bisa diusung (sebagai capres), dan apakah figur itu cukup meyakinkan untuk diterima publik. Kalau ini tidak terjadi, susah mempertahankan koalisi,” ujar Saidiman.
Airlangga yang tampaknya sadar dengan elektabilitas yang jadi hambatan, belakangan pun tampak berupaya mengerek popularitasnya lewat video-video “receh” yang ia bikin bersama Ridwan Kamil.
Apakah ia tengah mengincar Ridwan Kamil sebagai cawapres untuk mengakali elektabilitasnya yang stagnan?
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten