
Pada 29 April, melalui Surat Keputusan Nomor Kep/554/IV/2025, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto memutasi beberapa pati, salah satunya Letjen TNI Kunto Arief Wibowo. Namun sehari setelahnya, 30 April, ia menganulir keputusan mutasi Letjen Kunto dengan surat bernomor Kep/554.a/IV/2025.
Proses mutasi Kunto menjadi perbincangan karena dikaitkan dengan sikap ayahnya, eks Wakil Presiden Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, yang ikut mendukung usulan pemakzulan Wapres Gibran Rakabuming Raka. Usulan itu, bersama 7 poin lainnya, dideklarasikan Forum Purnawirawan Prajurit TNI dalam acara di Serambi Al-Musyawarah, Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada 17 April.
Mereka yang ikut mendukung usulan itu di antaranya eks Wakil Panglima TNI Jenderal (Purn) Fachrul Razi, eks KSAD Jenderal (Purn) Tyasno Soedarto, eks KSAL Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto, dan eks KSAU Marsekal (Purn) Hanafie Asnan.
Anggota Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin menilai proses mutasi Kunto yang dilakukan di tengah isu pemakzulan sarat pengaruh politik. Padahal seharusnya mutasi prajurit aktif tidak boleh dipengaruhi opini masyarakat sipil atau tekanan politik. Jika itu terjadi, bisa menjadi preseden buruk bagi profesionalisme TNI.
“Ini menunjukkan TNI mudah digoyah oleh urusan-urusan politik,” ucapnya.
Anggota Komisi I DPR lainnya, Oleh Soleh, menganggap proses mutasi Kunto yang dibatalkan sehari kemudian sebagai hal yang tak lazim. Apalagi momentumnya terjadi usai Try Sutrisno bersikap mendukung pemakzulan Gibran, putra sulung Presiden ke-7 RI Joko Widodo.
“Citra TNI jadi buruk karena banyak masyarakat yang menduga ada kepentingan politik dalam proses mutasi,” ujar Oleh.
Meski demikian, Kapuspen TNI Mayjen Kristomei Sianturi membantah proses mutasi tersebut berkaitan dengan sikap Try Sutrisno dan para purnawirawan. Kristomei menyatakan, mutasi di TNI dilakukan berdasarkan kebutuhan organisasi setelah melalui sidang Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tertinggi (Wanjakti); begitu pula alasan pembatalannya.
Menurut Kristomei, pembatalan mutasi Kunto karena para perwira tinggi yang hendak digeser masih dibutuhkan untuk menjalankan tugas-tugas sebelumnya.
“Isu-isu yang berkembang istilahnya cocokologi—dicocok-cocokkan, ‘Oh gara-gara Pak Kunto anaknya Pak Try Sutrisno, dan Pak Try kebetulan kemarin menandatangani [tuntutan] bersama para purnawirawan’. Itu cocokologi. Enggak ada sebenarnya itu,” ujar Kristomei pada kumparan, Jumat (9/5).
Kontroversi Mutasi Letjen Kunto
Baru seumur jagung menjabat Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I sejak 7 Januari, Kunto masuk daftar mutasi pada 29 April. Ia hendak digeser menjadi Staf Khusus KSAD. Jabatan KSAD kini diemban Jenderal Maruli Simanjuntak, menantu Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan.
Sumber kumparan di lingkaran TNI berujar, posisi yang disiapkan bagi Kunto bukanlah jabatan strategis. Posisi tersebut biasanya ditujukan bagi perwira tinggi yang akan “diparkir”. Padahal usia pensiun perwira tinggi bintang 3 seperti Kunto—merujuk UU TNI terbaru—maksimal 62 tahun. Sementara usia Kunto baru 54 tahun.
Walau demikian, ujar sumber itu, bukan berarti Kunto hendak “diparkir” untuk waktu yang lama. Bisa saja jabatan Stafsus KSAD hanya sementara sembari menunggu masa pensiun pati bintang 3 lain yang kini menduduki jabatan strategis. Pendapat ini diyakini pula oleh pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi.
“Kita punya penilaian yang agak negatif terhadap posisi stafsus yang dimaknai sebagai jenderal yang nganggur. Tapi belum tentu endgame. Bisa jadi ini bagian dari proyeksi penugasan lain,” ujar Khairul kepada kumparan.
Kapuspen TNI Kristomei berujar, asumsi bahwa perwira yang dimutasi ke jabatan stafsus “dikotakkan” tak sepenuhnya benar. Menurutnya, kursi stafsus bisa jadi hanya tempat berhenti sementara sambil menunggu posisi lain yang kosong.
“Orang mengasumsikan [mereka yang menjadi] staf khusus pasti dipetieskan, dikotakkan; belum tentu. Mungkin dia sedang menunggu jabatan berikutnya. Misalnya Pak Kunto jadi staf khusus dulu, nanti ditetapkan di posisi lain,” kata Kristomei.
Lagipula, menurut sumber kumparan, jabatan Pangkogabwilhan I yang kini dipegang Kunto sedianya dipegang matra TNI AL, sebab wilayah operasi Kogabwilhan I mencakup jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) 1 yang krusial, meliputi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda.
Pati TNI yang menjabat Pangkogabwilhan I harus memiliki kendali atas kapal-kapal perang. Kunto merupakan pati TNI AD yang pertama kali menjabat sebagai Pangkogabwilhan I sejak organisasi ini dibentuk pada 2019. Tujuh pendahulu Kunto berasal dari TNI AL.
Yang diproyeksikan menggantikan posisi Kunto sebagai Pangkogabwilhan ialah pati TNI AL Laksamana Muda (Laksda) Hersan—yang kini menjabat Panglima Komando Armada (Pangkoarmada) III.
Hersan pernah menjadi ajudan Jokowi pada 2014–2016 dan Sekretaris Militer Presiden (Sesmilpres) 2022–2023. Ia terhitung orang lingkaran Jokowi layaknya Panglima TNI Agus Subiyanto—yang meneken surat mutasi Kunto—yang juga dikenal dekat dengan Jokowi sejak di Solo.
Kedekatan dengan Jokowi itulah yang memunculkan spekulasi bahwa mutasi Kunto diduga atas cawe-cawe pihak eksternal yang geram dengan usul pemakzulan Gibran.
Khairul menganggap persepsi publik itu tak terelakkan karena rekam jejak jabatan Agus memang punya irisan dengan Jokowi. Agus pernah menjabat Komandan Distrik Militer (Dandim) 0735/Surakarta periode 2009–2011, Danrem 061/Suryakencana Bogor pada 2020, dan Danpaspamres 2020-2021.
“Tapi apakah itu menjadi faktor yang sangat memengaruhi proses-proses pengambilan keputusan Panglima TNI? Saya kira tidak. TNI punya fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi yang tinggi terhadap perubahan kepemimpinan,” ujar Khairul.
Bagaimanapun, Tubagus Hasanudin mengingatkan keputusan mutasi harus didasarkan pada kebutuhan organisasi, bukan permintaan pribadi. Berkaca pada kasus Kunto, perubahan keputusan yang mendadak, apalagi di tengah isu politik, bisa menggerus kepercayaan publik terhadap netralitas TNI.
“TNI adalah alat negara, bukan alat politik. Mutasi harus bersandar pada pertimbangan objektif dan strategis demi kepentingan organisasi, bukan demi memenuhi kepentingan luar,” ucapnya.
Sementara itu, Jokowi membantah ikut campur dalam proses mutasi Kunto. Jokowi menyatakan prosedur promosi dan mutasi jabatan tinggi di TNI merupakan wewenang Wanjakti.
“Tidak ada sama sekali [cawe-cawe], itu urusan internal TNI,” ujar Jokowi di kediamannya di Solo, Rabu (7/5).
Kapuspen TNI Mayjen Kristomei tak ambil pusing dengan berbagai persepsi publik. Ia menegaskan, tak ada campur tangan pihak luar dalam proses mutasi Letjen Kunto yang kemudian dibatalkan.
“Silakan memiliki persepsi, dugaan, atau analisa macam-macam. Tapi saya menjelaskan dari [sisi] TNI, yang sebenarnya terjadi seperti itu (mutasi tidak terkait tuntutan purnawirawan),” kata Kristomei.
Prabowo Ambil Kendali
Selang beberapa hari setelah pembatalan mutasi Kunto, Presiden Prabowo Subianto menggelar sidang kabinet paripurna yang diikuti Gibran, Panglima TNI Agus Subiyanto, dan para menteri. Di hadapan peserta sidang, Prabowo menegaskan ia bukan presiden boneka. Prabowo membantah pemerintahannya dikendalikan oleh Jokowi.
“Bahwa kita konsultasi [ke Jokowi], iya. Minta pendapat, saran, [karena] beliau 10 tahun berkuasa [sebelumnya],” tegas Prabowo dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (5/5).
Bila dikaitkan dengan pembatalan mutasi Kunto beberapa hari sebelumnya, menurut Khairul, Prabowo ingin menunjukkan diri sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata. Ucapannya sekaligus menepis anggapan adanya matahari kembar.
“Keputusan terakhir ini (pembatalan mutasi Kunto) akhirnya sudah diketahui dan disetujui presiden. … Matahari hanya satu. Bahwa ada satelit-satelit lain, itu wajar, tapi matahari tetap matahari. [Prabowo ingin menunjukkan] dia the real president, bukan presiden boneka,” kata Khairul.
Khairul menduga proses mutasi Kunto dibatalkan setelah adanya evaluasi Prabowo. Evaluasi itu sah karena presiden memiliki wewenang untuk menaikkan pangkat dan memberhentikan prajurit TNI mulai level kolonel hingga perwira tinggi. Hal itu sesuai amanat Pasal 43 dan Pasal 59 UU TNI.
“Langkah korektif sekalipun, ketika mutasi hari ini diterbitkan dan esoknya dibatalkan melalui perubahan keputusan, saya kira enggak ada masalah. Wajar keputusan berubah karena ada evaluasi untuk mengoreksi dari pucuk pimpinan—presiden sebagai panglima tertinggi,” ujar Khairul.
Selain itu, lanjutnya, sikap korektif Prabowo terhadap mutasi Kunto harus menjadi pelajaran bagi pimpinan TNI agar cermat mengambil keputusan di tengah dinamika percakapan publik.
Anggota Komisi Pertahanan DPR Oleh Soleh berpendapat, jika Prabowo betul turun tangan membatalkan mutasi Kunto, artinya ia ingin TNI tetap profesional. Oleh pun meminta pengambilan keputusan di TNI, terutama terkait promosi dan mutasi, memerhatikan situasi politik yang sedang berkembang.
Oleh menganggap momen mutasi Letjen Kunto tidak pas karena bertepatan dengan mencuatnya usulan pemakzulan Gibran yang salah satunya didukung ayah Kunto, Try Sutrisno.
Di sisi lain, mantan Danpuspom ABRI Mayjen (Purn) Syamsu Djalal berpendapat, Prabowo telah menunjukkan diri sebagai presiden dengan mengoreksi mutasi Kunto yang kental bayang-bayang Jokowi. Ia menduga Panglima TNI Agus Subiyanto tak melapor Prabowo soal mutasi tersebut.
“Tindakan Prabowo itu betul. Jadi dia (Prabowo) melihat kok Panglima TNI main-main sendiri,” ujar Syamsu yang juga mendukung sikap Forum Purnawirawan Prajurit (FPP) TNI.
Syamsu pun mengapresiasi langkah Prabowo melalui Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan, Wiranto, dalam menanggapi 8 poin pernyataan sikap FPP TNI. Sebelumnya Wiranto menyebut Prabowo bakal mempelajari usulan FPP TNI, dan menghormati serta memahami pikiran-pikiran tersebut.
Menurut Syamsu, langkah FPP TNI merupakan gerakan moral agar bangsa Indonesia tidak dipimpin wapres yang inkompeten. Terpenting, usulan tersebut sudah disampaikan kepada presiden. Mengenai apakah usulan pemakzulan bakal ditindaklanjuti atau tidak, Syamsu menyerahkan kepada fraksi-fraksi di DPR/MPR.
Menanggapi tudingan mutasi Kunto tak dilaporkan ke Presiden, Kapuspen TNI Kristomei menyatakan, “Kalau semua harus dilaporkan satu per satu ke Presiden, kasihan. Presiden tugasnya nggak hanya ngurusi TNI.”
Kristomei menyebut promosi dan mutasi jabatan pati bintang 3 ke bawah merupakan wewenang Panglima TNI, terkecuali Danpaspampres dan Sesmilpres yang perlu konsultasi karena penggunanya adalah Presiden.
Kristomei juga membantah pembatalan mutasi Letjen Kunto karena ada evaluasi Presiden. Ia menegaskan, pembatalan tersebut murni keputusan Panglima TNI atas masukan staf intelijen dan staf operasi.
Dengan pembatalan mutasi itu, Letjen Kunto tetap menjabat Pangkogabwilhan I dan Laksda Hersan tetap menjabat Pangkoarmada III.
Ada pula beberapa pati lain yang tidak jadi diganti, yaitu Laksda Krisno Utomo yang tetap menjabat Pangkolinlamil dari sebelumnya diproyeksikan sebagai Pangkoarmada III; dan Laksda Rudhi Aviantara tetap sebagai Kas Kogabwilhan II, tak jadi menempati posisi Pangkolinlamil.
Berikutnya Laksma Phundi Rusbandi tetap menjabat Waaskomlek KSAL, tak jadi menempati jabatan baru sebagai Kas Kogabwilhan II; Laksma TNI Benny Febri tetap sebagai Kadiskomlekal, batal mutasi sebagai Waaskomlek KSAL; dan Laksma Maulana tetap sebagai Staf Khusus KSAL, urung menempati jabatan baru sebagai Kadiskomlekal.
“Gak ada kaitannya dengan misalnya [mutasi] disuruh Pak Jokowi, kemudian dimarahi oleh Pak Presiden. Nggak ada [kejadian seperti itu],” tegas Kristomei.
Ia menekankan, pembatalan mutasi pati merupakan hal yang lumrah dan pernah terjadi di era Panglima TNI Hadi Tjahjanto. Saat itu Hadi membatalkan keputusan mutasi 16 pati dari total mutasi 85 pati yang diteken Gatot Nurmantyo jelang akhir masa jabatannya. Salah satu yang dianulir adalah pemberhentian Pangkostrad Letjen Edy Rahmayadi sebagai pati Mabes TNI dalam rangka pensiun.
“Di tentara ada [istilah] 5 menit menentukan. Jadi 5 menit masih bisa berubah sebelum ada hitam di atas putih. Perubahan situasi bisa setiap saat,” kata Kristomei.
Bantahan serupa datang dari Luhut. Ia menampik kabar bahwa Prabowo menegur Panglima TNI Agus Subiyanto karena memutasi Kunto. Menurut Luhut, kebijakan mutasi yang kemudian direvisi oleh Panglima TNI lumrah terjadi.
“[Revisi] itu bisa saja terjadi. Enggak ada hal yang aneh-aneh, kok,” kata eks Komandan Kodiklat TNI AD itu.
Loyalitas Tunggal
Mutasi Letjen Kunto yang menuai kontroversi bukan sekadar menjadi ujian kepemimpinan Prabowo, melainkan juga menguji loyalitas para prajurit, termasuk para pembantu presiden. Sumber kumparan di lingkar TNI menyebut, isu pemakzulan Gibran membuat internal tentara terbagi antara pro dan kontra. Namun isu ini dibantah Kristomei.
Kristomei menegaskan, perbedaan pendapat hanya terjadi di kalangan purnawirawan yang notabene telah kembali menjadi warga sipil dan bebas menyuarakan pendapat masing-masing. Sementara bagi prajurit aktif, mereka tetap solid dan tunduk pada perintah Panglima TNI maupun Presiden.
“TNI tetap solid sesuai sapta marga dan sumpah prajurit,” kata Kristomei.
Pun demikian, Oleh Soleh mengingatkan prajurit TNI harus memiliki loyalitas tunggal kepada negara, bukan kepada orang per orang. Secara hierarkis, petinggi TNI harus tunduk kepada Presiden dan tidak boleh memiliki loyalitas ganda atau bermain dua kaki.
"Kepentingan politik dari luar jangan sampai merusak TNI,” kata Oleh.
Tubagus Hasanuddin menilai Prabowo perlu mengevaluasi kepemimpinan Panglima TNI Agus Subiyanto terkait polemik mutasi Letjen Kunto, sebab menurutnya Panglima TNI tidak menunjukkan ketegasan dan konsistensi dalam menjaga marwah institusi.
“Menurut hemat saya, kepemimpinan Panglima TNI saat ini tidak baik. Seharusnya sejak awal beliau menolak mutasi Letjen Kunto jika itu tidak berdasarkan kepentingan organisasi. Kepemimpinan seperti ini patut dievaluasi,” kritik TB Hasanuddin.
Adapun Khairul berpendapat, jika ada ketidakloyalan di tubuh TNI maupun kabinet, maka Prabowo perlu segera mengganti sosok tersebut.
Loyalitas ganda bisa mengakibatkan pemerintahan Prabowo tidak efektif.
“Kalau ada ketidakpatuhan, ketidakloyalan, apalagi pembangkangan, ya harus diganti. Ini jadi pembelajaran yang berharga bahwa kepatuhan dan loyalitas harus kepada panglima tertinggi,” tutup Khairul.