Komisi II: Hasil Evaluasi Pilkada Tak Berlaku untuk 2020

19 November 2019 20:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana evaluasi Pilkada yang dilakukan Komisi II DPR. Foto:  Efira Tamara Thenu/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana evaluasi Pilkada yang dilakukan Komisi II DPR. Foto: Efira Tamara Thenu/kumparan
ADVERTISEMENT
Komisi II DPR memastikan Pilkada 2020 akan dilaksanakan secara langsung. Tak akan ada perubahan dalam prosesnya, seperti wacana tentang Pilkada melalui DPRD.
ADVERTISEMENT
Ketua Komisi II Fraksi Golkar, Ahmad Doli Kurnia, menuturkan, evaluasi pilkada dan pemilu memang akan dilakukan. Hanya saja, hasilnya akan berlaku pada pilkada berikutnya.
"Apa pun nanti hasil evaluasi itu, nanti akan berlaku di pilkada berikutnya. Kalau yang sekarang sudah enggak mungkin," kata Doli di gedung DPR, Selasa (19/11).
Suasana evaluasi Pilkada yang dilakukan Komisi II DPR. Foto: Efira Tamara Thenu/kumparan
Doli mengatakan, sejumlah UU memang didorong untuk dievaluasi jelang Pilkada 2020. Namun revisi tersebut akan masuk di tahun 2020 karena berpotensi terjadi perdebatan panjang.
"Tapi 'kan kalau kita buka revisi saja, belum tentu cuma bisa hanya dibatasi, masalah itu saja, kan. Bisa muncul yang lain, termasuk itu kalau misal begitu kita sepakat revisi sekarang, kemudian nanti banyak masuk pada materi tentang mau balik ke DPR atau enggak 'kan panjang perdebatannya," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Ahmad Doli Kurnia. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
Perdebatan yang muncul dikhawatirkan dapat menganggu tahapan Pilkada 2020. Sehingga, evaluasi dan kesepakatan-kesepakatan untuk merevisi beberapa bagian akan dilakukan pada pilkada berikutnya.
"Makanya kita lagi cari cara ada hal-hal atau materi-materi yang memang penting seperti posisi pengawasan secara permanen, tapi kita cari apakah mungkin ada peraturan di luar revisi UU yang bisa mengayomi ini," ujarnya.
Isu Pilkada secara tak langsung muncul usai Mendagri Tito Karnavian membuka peluang evaluasi pilkada langsung. Lantaran menurutnya, pilkada langsung selama ini malah menimbulkan banyak dampak negatif.
"Itu bukan suatu kejutan buat saya, kenapa? Mungkin hampir semua kepala daerah berpotensi melakukan tindak pidana korupsi. Kenapa? Bayangin, dia mau jadi kepala daerah, bupati [butuh biaya politik] Rp 30-50 M. Gaji Rp 100 juta, taruhlah Rp 200 juta, dikali 12, Rp 2,4 M dikali 5 tahun, Rp 12 miliar. Keluar Rp 30 M," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11).
ADVERTISEMENT