Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Komisi II Tak Buru-buru Bahas Sistem Pemilu: Money Politics-Masalah Data Pemilih
5 Maret 2025 19:19 WIB
·
waktu baca 2 menit
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf mengatakan pihaknya tidak mau terburu-buru membahas revisi Undang-Undang Pemilu. Sebab masih ada sejumlah isu krusial.
ADVERTISEMENT
Di antaranya maraknya money politics dan ketidakteraturan data pemilih. Hal ini masih menjadi masalah utama dan perlu diselesaikan sebelum membahas perubahan sistem ke depan.
“Nah ini perlu kita bahas sama-sama kawan-kawan membutuhkan waktu yang tidak cepat, tidak terburu-buru, sehingga kelihatannya harus benar-benar dilakukan melalui sebuah proses yang matang dan tidak tergesa-gesa,” kata Dede saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3).
"Money politics ini bisa menjadi isu karena terlalu banyak, kalau kita berbicara pemilu ya, terlalu banyak calon yang tidak diketahui oleh masyarakat. Akhirnya berlomba-lomba menawarkan transaksional," tambah dia.
Saat ini pihak Komisi II tengah fokus maraton rapat mendengar pendapat dengar berbagai pihak. Mulai dari Koalisi Masyarakat Sipil hingga akademisi dari berbagai universitas.
ADVERTISEMENT
Mereka mengusulkan adanya perubahan sistem pemilu. Seperti perubahan dari proporsional terbuka menjadi sistem pemilu campuran hingga pemisahan pemilu nasional dan lokal.
“Untuk mengurangi persaingan yang terlalu berlebih, terutama di dalam internal partai, itu bisa diberikan dua opsi. Jadi ada yang disebut sebagai proporsional terbuka, ada yang proporsional tertutup, jadi hybrid, kurang lebih hybrid,” kata Dede.
Selain sistem pemilihan, masalah data pemilih yang belum akurat juga menjadi perhatian serius.
“Angka suara tidak sah mencapai 15 juta lebih. Ini sangat signifikan sekali, sebagai bukti kekurangcermatan para penyelenggara maupun juga database yang ada,” lanjutnya.
Ia pun mengusulkan agar screening data pemilih dilakukan setiap enam bulan atau setahun sekali untuk memperbaiki akurasi DPT.