Komisi III DPR soal UU Pemasyarakatan: Koruptor Berhak Dapat Remisi

19 September 2019 12:59 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi tahanan KPK Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tahanan KPK Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
ADVERTISEMENT
Upaya pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa seperti korupsi, narkoba, dan terorisme, tak ada lagi di revisi UU Pemasyarakatan. Syarat pengetatan seperti harus menjadi justice collaborator atau mendapat rekomendasi penegak hukum dihapus.
ADVERTISEMENT
Dalam revisi UU yang segera disahkan itu, syarat napi mendapat remisi dan pembebasan bersyarat hanya berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, dan telah menunjukkan penurunan tingkat risiko.
Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, membantah revisi UU Pemasyarakatan mengistimewakan napi kasus korupsi. Sebab napi kasus korupsi harus mematuhi putusan hakim, khususnya soal denda.
"(RUU) Bukan semakin ringan, yang namanya semakin ringan itu kan kalau misalnya ada 11 syarat dikurangi. Lha wong ini cuma yang namanya rekomendasi (KPK) saja yang tidak," ujar Arsul di gedung DPR, Jakarta, Kamis (19/9).
"Syarat lain kalau seorang napi koruptor, dia diputus hakim untuk membayar denda, dendanya harus bayar dulu. Dia harus bayar uang pengganti sekian puluh miliar, bayar dulu," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Terlebih, kata Arsul, remisi dan pembebasan bersyarat merupakan hak narapidana. Menurutnya, jangan ada diskriminasi dengan membeda-bedakan narapidana.
"Meskipun itu seorang terpidana, seorang warga binaan permasyarakatan, kan hak-haknya tidak boleh terdiskriminasi antara napi satu dengan napi lain," ucapnya.
Arsul Sani saat diwawancara di Gedung DPR. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Ia kemudian mencontohkan diskriminasi itu terjadi antara napi kasus di KPK dengan napi kasus di Polri dan Kejaksaan. Menurut Arsul, napi kasus di Polri dan Kejaksaan lebih mudah mendapat remisi dan pembebasan bersyarat ketimbang napi KPK.
"Dia sudah memenuhi semua ketentuan yang ada dalam lembaga pemasyarakatan, ketentuan yang ditetapkan UU Pemasyarakatan dan peraturan pelaksaannnya. Berkelakuan baik dan segala macem pokoknya sudah terpenuhilah. Dia sudah membayar denda, dia sudah membayar uang pengganti, tapi ketika dia ingin mendapatkan haknya, hak atas remisi, hak atas asimilasi, atau pembebasan bersyarat itu, KPK tidak mau memberikan," kata Arsul.
ADVERTISEMENT
"Di sisi lain ketika itu eks dari perkara dari Polri, dari Bareskrim dapat dari Kejaksaan Agung, dapat (remisi/bebas bersyarat). Ini kan kemudian mendapatkan diskriminasi situasi seperti ini. Kok yang sono gampang dapatnya, yang sini hampir mustahil dapatnya. Ini kan enggak boleh terjadi, padahal si terpidana ini sudah sama-sama memenuhi kewajibannya," lanjutnya.
Arsul juga menampik syarat napi bisa mendapat remisi dan pembebasan bersyarat sangat subjektif. Arsul menegaskan napi bisa mendapat remisi dan pembebasan bersyarat berdasarkan beberapa parameter.
"Parameternya adalah Dirjen PAS kita beri otonomi. Makanya di revisi UU Pemasyarakatan kan juga dibentuk juga kan institusi pengawasannya oleh DPR. Timwas (tim pengawas) kan dibentuk juga nanti," tutupnya.