Komnas HAM: Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999 Pelanggaran HAM Berat

15 Januari 2019 18:28 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Komnas HAM saat konferensi pers terkais kasus pembunuhan Dukun Santet 1998-1999.  (Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Komnas HAM saat konferensi pers terkais kasus pembunuhan Dukun Santet 1998-1999. (Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Komnas HAM menambah daftar kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia. Kali ini kasus pembunuhan berantai dukun santet yang terjadi pada tahun 1998 hingga 1999 masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.
ADVERTISEMENT
Kasus tersebut diselidiki Komnas HAM sejak 2015 dan laporannya sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung RI pada 14 November 2018. Dalam penyelidikannya, Komnas HAM memeriksa berbagai saksi dan keluarga korban. Selain itu juga pemeriksaan terhadap berbagai bukti yang didapat di lapangan, mengambil referensi dari buku ataupun penelitian yang ada serta berkoordinasi dengan lembaga terkait.
“Kami bentuk tim ini karena ada laporan kejadian luar biasa terkait pembunuhan dukun santet, kemudian melaporkan ada dugaan pelanggaran HAM berat di situ. Sehingga Komnas HAM memutuskan untuk membentuk tim penyelidikan,” ujar Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa Dukun Santet Tahun 1998-1999, Beka Ulung Hapsara, saat konferensi pers di Komnas HAM, Selasa (15/1).
Komnas HAM saat konferensi pers terkais kasus pembunuhan Dukun Santet 1998-1999.  (Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Komnas HAM saat konferensi pers terkais kasus pembunuhan Dukun Santet 1998-1999. (Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan)
Tim ad hoc menemukan kasus tersebut terjadi hampir di beberapa kota, tapi tim memfokuskan pada tiga kota yaitu, Banyuwangi, Malang, dan Jember. Ketiga kota ini dipilih karena dinilai kasusnya paling signifikan.
ADVERTISEMENT
Dari penyelidikan tim ad hoc diketahui pola peristiwa pembunuhan yang terjadi di tiga kota tersebut sama. Pertama sebelum terjadi pembunuhan dukun santet, banyak beredar isu etnis China, adanya radiogram dari Bupati ke Kecamatan untuk pendataan dukun santet yang ada, lalu adanya isu tentara yang turun ke desa.
“Kedua, massa. Sebelum kejadian atau saat kejadian selalu melibatkan massa. Polanya sama yaitu mematikan lampu, menggunakan tali lalu ada pemimpin. Ketiga adanya orang asing, yang tidak menggunakan bahasa setempat. Itu diidentifikasi juga oleh warga setempat karena tidak menggunakan bahasa lokal,” tutur Beka.
Selain itu, adanya pemberian tanda kepada target pembunuhan yang dilakukan pelaku. Kasus ini juga berkembang dari yang semula pembunuhan dukun santet menjadi kemunculan ninja dan kemunculan orang gila.
Ilustrasi dukun. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dukun. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Beka mengatakan, semua itu termasuk dalam unsur meluas yaitu melakukan pembunuhan dengan pola yang sama secara berulang. Selain itu peristiwa tersebut juga memenuhi unsur sistematis yaitu adanya pengkondisian dan lambatnya tindakan aparat.
ADVERTISEMENT
“Polanya pembunuhan dan penganiayaan. Korbannya sekelompok warga sipil biasa yang dituduh memiliki kemampuan lebih atau kesaktian yaitu, dukun santet dan memiliki posisi dan pengaruh khusus di masyarakat,” kata Beka.
“Kesimpulan kami ada bukti yang cukup terkait pembunuhan, lalu soal meluas dan sistematis. Melihat sebaran wilayah kejadian kemudian sistematisnya tadi ada massa, isu dan ini tidak bisa dilakukan oleh orang biasa. Tidak mungkin terorganisir begitu saja dengan eskalasi yang sedemikian luas,” kata Beka.
Ilustrasi dukun. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dukun. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Sementara itu Wakil Ketua tim ad hoc Muhammad Chairul Anam berharap kasus tersebut mendapat tindak lanjut dari Kejaksaan Agung.
“Kami harapkan kasus penyelidikan ini bisa ditarik oleh Kejaksaan Agung sebagai proses penyelidikan. Abis itu bisa dibawa ke pengadilan Hak Asasi Manusia,” kata Anam.
ADVERTISEMENT
Dalam penyelidikan Komnas HAM mencatat ada 194 orang di Banyuwangi yang menjadi korban pembunuhan tersebut. Lalu 108 orang korban jiwa di Jember dan 7 orang di Malang.