Kompleksnya Masalah Banjir Jakarta dari Masa ke Masa

20 November 2021 14:43 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Banjir menggenangi Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat pada 17 Januari 2013. Foto: AFP/Adek Berry
zoom-in-whitePerbesar
Banjir menggenangi Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat pada 17 Januari 2013. Foto: AFP/Adek Berry
ADVERTISEMENT
Ternyata Kota Jakarta sudah identik dengan banjir sejak dulu kala. Sejak era penjajahan, banjir sudah menjadi permasalahan di ibu kota. Saat jumlah penduduk masih sedikit dan sampah belum menggunung saja, Jakarta sudah berjibaku dengan bencana banjir.
ADVERTISEMENT
Apalagi saat ini, ketika jumlah penduduk DKI Jakarta sudah padat, bantaran sungai kian menciut, serta tumpukan sampah kian banyak, permasalahan banjir pun semakin kompleks.
Kini, dengan jumlah penduduk lebih dari 11 juta orang dan luas wilayah 662,33 km2, kepadatan mencapai lebih dari 16.882 jiwa/km², Jakarta adalah kota terpadat di Indonesia. Tingkat kepadatan penduduk DKI Jakarta jauh di atas rerata kepadatan penduduk Indonesia yang hanya 141 jiwa/km² (hasil dari proyeksi penduduk tahun 2020 dibagi dengan luas daratan Indonesia).
Berdasarkan analisis risiko bencana yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi DKI Jakarta, salah satu ancaman bencana yang dihadapi oleh warga Jakarta adalah banjir. Dengan luas wilayah sebesar 662,33 km2, 40% (24.000 hektare) merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata di bawah permukaan air laut.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, banjir di DKI juga bisa disebabkan oleh luapan sungai. Sekitar 13 sungai yang melintasi DKI yang bermuara di Teluk Jakarta dapat meluap apabila terjadi hujan dengan curah tinggi di hulu sungai (Jawa Barat dan Banten), yaitu Bogor dan Tangerang.
Selain luapan sungai, hujan lokal di wilayah DKI juga menjadi penyebab genangan atau banjir di beberapa titik. Air hujan itu mengisi saluran air (drainase) dan titik cekung. Hujan dengan intensitas tinggi dan durasi yang cukup lama menyebabkan air tidak dapat tertampung seluruhnya di drainase, sehingga air meluap dan menyebabkan genangan/banjir. Kemudian, rob atau air laut pasang di wilayah pesisir utara DKI juga berpotensi menyebabkan banjir/rob.
Petugas SAR menggunakan perahut karet untuk mengevakuasi korban banjir di Jalan Jatinegara Barat, Kampung Pulo, Jakarta, Kamis (2/1/2020). Foto: Nova Wahyudi/ANTARA FOTO
Sejak 1621
Banjir Jakarta pada 1621 menjadi bencana pertama di era kekuasaan VOC di Nusantara, tepatnya pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen. Saat itu, banyak rumah warga yang terbuat dari kayu sehingga mudah hanyut ketika banjir melanda Batavia. Struktur jalannya pun masih belum beraspal sehingga sangat sulit untuk dilalui sepeda atau dokar.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, Belanda sudah pernah membangun kanal sejak dua tahun sebelum bencana banjir ini terjadi. Namun, usahanya gagal karena Belanda tidak mengetahui letak geografis dan struktur topografi Jakarta kala itu.
Saat itu, sebagian besar daerah Batavia masih berupa rawa dan hutan liar, sehingga sering tergenang banjir dari air beberapa sungai yang meluap saat hujan deras, terutama Kali Ciliwung.
Pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker di Batavia, banjir besar kembali melanda. Penyebabnya karena hujan deras dan luapan air sungai, terutama Kali Ciliwung dan kiriman air dari hulu di Bueitenzorg (Bogor).
Kanal yang tersumbat oleh pasir membuat kanal tidak berfungsi saat banjir melanda. Joan Martsuycker telah membangun beberapa kanal tambahan, tetapi usahanya gagal karena kanal selalu dipenuhi sampah, lumpur dan pasir.
ADVERTISEMENT
Banjir 1960-2007
Pasca Republik Indonesia merdeka juga masih terjadi bencana banjir di DKI. Pada bulan Februari 1960, banjir terjadi di pinggiran kota Jakarta. Daerah pinggiran Grogol, mengalami kebanjiran hingga lutut dan pinggang. Ini adalah krisis pertama untuk Presiden Soekarno.
Kemudian, banjir besar terjadi pada tahun 1996 yang mana 5.000 hektare lahan terendam banjir. Banjir besar juga terjadi pada tahun 2007. Kerugian dari kerusakan infrastruktur dan pendapatan negara kurang lebih mencapai Rp 5,2 triliun dan 190 ribu orang jatuh sakit akibat banjir. Sekitar 70% lahan di Jakarta terendam banjir dengan air setinggi empat meter di sebagian wilayah kota.
Pengendara sepeda motor melintasi banjir di depan Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Minggu (2/2/2020). Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Banjir 2013-2018
Bencana banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya pada pertengahan Januari 2013 yang menyebabkan Jakarta dinyatakan dalam keadaan darurat. Banjir ini sebenarnya sudah dimulai sejak Desember 2012, kemudian mencapai puncaknya pada Januari 2013.
ADVERTISEMENT
Banjir yang melanda DKI Jakarta sejak 9 Februari 2015 terjadi akibat curah hujan tinggi yang melanda Jakarta dan sekitarnya sejak 8 Februari 2015.
Banjir Jakarta 2018 adalah rangkaian banjir di Jakarta pada sekitar puncak musim hujan pada 5 Februari dan 15 Februari 2018. Perbaikan sistem drainase dan resapan pada tahun-tahun sebelumnya telah membuat banjir di Jakarta periode tahun 2016 hingga 2018 berkurang. Namun, masih merendam sebagian Jakarta Timur, Barat, Utara dan Pusat. Menurut data BPBD Jakarta, diperkirakan 53 RW di 18 kelurahan wilayah Jakarta tergenang banjir. Banjir ini menyebabkan 11.824 warga DKI mengungsi.
Pada 2020, Jabodetabek juga dilanda banjir. Banjir yang melanda Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan sejumlah di daerah lain Pulau Jawa sejak 1 Januari 2020. Banjir terjadi akibat curah hujan tinggi yang melanda Jakarta dan sekitarnya sejak 31 Desember 2019 sore sampai Malam Tahun Baru 2020.
ADVERTISEMENT

Upaya Pemprov DKI Memitigasi Banjir

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dari masa ke masa dengan berganti-ganti gubernur tidak pernah luput dari upaya untuk menyelesaikan persoalan banjir ini. Permasalahan yang sangat kompleks ini terus menjadi perhatian hingga kini.
Kini, jajaran Pemprov DKI Jakarta pun melakukan berbagai upaya untuk memitigasi bencana banjir, sehingga tidak berdampak besar terhadap warga.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di perayaan hari Ciliwung. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Misalnya, pengerukan di waduk, kali, embung hingga saluran untuk menambah kapasitas daya tampung air, yaitu pengerukan di 32 waduk/situ/embung dengan volume pengerukan 735.098 m3, pengerukan 53 kali/sungai dengan volume pengerukan 552.611 m3 dan pengerukan 1.051 saluran penghubung dengan volume pengerukan 140.166 m3.
Pengerukan dilakukan untuk mengoptimalisasi daya tampung air. Dalam pengerukan ini, Pemprov DKI mengerahkan alat berat sebanyak 228 yang tersebar di sekitar 104 lokasi pengerukan. Saluran, waduk, dan embung juga dioptimalisasikan fungsi-fungsinya, sehingga bisa berfungsi sewaktu terjadi banjir.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Pemprov DKI juga membangun sumur resapan (drainase vertikal) sebagai upaya antisipasi banjir. Hingga 1 November 2021, sudah terealisasi 53% atau 16.045 drainase vertikal dari total target 26.932 titik di DKI Jakarta.
Sejumlah peralatan juga siap diperbantukan untuk pencegahan dan penanganan banjir. Di antaranya, 490 unit pompa stasioner, 329 unit pompa mobil, 228 unit pompa pemadam kebakaran. Sehingga Pemprov DKI Jakarta secara total menyiapkan 1.050 pompa untuk diperbantukan dalam upaya pencegahan dan penanganan bencana banjir.
Selain tujuan utama yakni untuk melakukan recharge terhadap air tanah, pembangunan drainase vertikal juga merupakan upaya untuk meredam genangan yang sifatnya lokal dari hujan dengan intensitas rendah sampai sedang, serta hujan lokal.
Itulah permasalahan banjir Jakarta dari masa ke masa dan upaya pemerintah dari masa ke masa untuk meminimalisir persoalan kompleks tersebut.
ADVERTISEMENT
Upaya pencegahan banjir tentu tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah, warga juga diharapkan bisa turut bekerja sama. Salah satu upaya yang bisa dilakukan warga adalah dengan menjaga kebersihan kali, sungai dan saluran air.