Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Kontradiksi Firli Bahuri: Penuh Kontroversi, tapi Dipilih DPR Secara Aklamasi
22 Juni 2021 18:50 WIB
·
waktu baca 10 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 14:08 WIB
ADVERTISEMENT
Tampuk kepemimpinan KPK telah dipegang Firli Bahuri sejak 20 Desember 2019.
ADVERTISEMENT
Bagi Jenderal Polri berpangkat Komjen tersebut, KPK bukanlah lembaga asing. Sebelumnya, ia pernah menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK periode 2018-2019.
Namun keberadaan Firli di KPK selalu diliputi kontroversi. Sebab ia diduga kerap melanggar etik. Salah satunya lantaran menemui beberapa pihak berperkara.
Berbagai persoalan tersebut membuat Wadah Pegawai KPK meminta Presiden Jokowi tak memilih calon pimpinan (capim) yang bermasalah.
Ketika itu proses seleksi capim KPK tengah berjalan. Wadah Pegawai KPK tak menyebut capim yang dimaksud. Tetapi diduga merujuk nama Firli Bahuri yang mencalonkan diri sebagai capim.
Sebab Wadah Pegawai KPK menyebut capim bermasalah memiliki kriteria seperti melakukan beberapa dugaan pelanggaran berat selama bekerja di KPK dan memiliki rekam jejak pernah menghambat pelaksanaan tugas KPK.
ADVERTISEMENT
"Pimpinan KPK harus menjadi benteng terakhir menjaga kepercayaan rakyat untuk membuat KPK betul-betul membasmi korupsi bukan melindungi koruptor," ujar Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo, pada 28 Agustus 2019.
Bahkan 1.000 pegawai KPK mengirim petisi kepada Presiden Jokowi pada 2 September 2019. Dalam petisi itu, para pegawai meminta Jokowi memilih calon berintegritas untuk memimpin KPK. Petisi itu dikirim saat Jokowi menerima pansel yang menyerahkan 10 nama capim KPK untuk mengikuti seleksi tahap akhir.
Tak hanya itu, pegawai KPK sekaligus mengirim surat kepada semua fraksi di DPR pada 10 September 2019. Sebab ketika itu, Komisi III DPR tengah bersiap menggelar uji kelayakan terhadap capim KPK. DPR pun memiliki wewenang untuk memilih siapa capim KPK terpilih.
ADVERTISEMENT
Dalam surat tersebut, secara spesifik pegawai KPK meminta DPR memilih calon pimpinan yang berintegritas yang ditunjukkan dari kepatuhan melaporkan LHKPN, terbebas dari dugaan pelanggaran etik berat, dan tidak menghalangi penegakan hukum KPK.
"Sebenarnya ada poin yang penting yaitu agar DPR tidak memilih calon yang diduga pernah melakukan kelemahan terhadap KPK kemudian juga memiliki catatan etik di belakangnya dan juga tidak patuh terhadap laporan LHKPN," ujar pegawai KPK Zulfadhli Nasution yang mewakili pegawai lainnya.
Tetapi surat pegawai KPK ke Jokowi dan DPR tetap tak mampu membendung terpilihnya Firli sebagai Ketua KPK.
Pegangan Komisi III DPR periode 2014-2019 hanyalah keterangan dari Pansel KPK, yang menyebut Firli tak terbukti melakukan pelanggaran etik. Alasan inilah yang kemudian dijadikan Komisi III untuk memuluskan langkah Firli.
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi III dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu menyebut, rapat dengar pendapat dengan Pansel menjadi momen yang makin meyakinkan komisi untuk memilih Firli. Dalam penjelasannya, Pansel menyebut tak ada bukti Firli terlibat pelanggaran etik.
Seluruh anggota Komisi III, kata Masinton, mempercayai alasan Pansel. Malahan, dari penjelasan Pansel, Komisi III berpandangan Firli justru dizalimi.
"Dia diperlakukan sewenang-wenang. Anggota Komisi III kemudian merasa dan berkesimpulan ini memang dibunuh karakternya Saudara Firli ini secara sistematis," kata Masinton.
Karena pertimbangan inilah, kata Masinton, Komisi III makin mantap dengan Firli. Keyakinan ini nyatanya muncul bahkan sebelum fit and proper test dimulai. Fit and proper Firli berlangsung 12 September sementara audiensi dengan Pansel berlangsung 9 September.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Komisi III juga memilih Firli karena hanya dialah satu-satunya unsur kepolisian yang masuk 10 besar capim KPK. Sehingga, tak lagi ada alasan tak memilih Firli menjadi pimpinan.
Pada 13 September dini hari atau setelah menggelar uji kelayakan, Komisi III DPR justru memilih Firli Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023. Firli dipilih sebagai Ketua KPK secara aklamasi alias tanpa voting.
"Untuk menjabat pimpinan ketua KPK masa bakti 2019-2023, sebagai ketua pertama adalah saudara Firli Bahuri. Bisa disepakati?" ujar Ketua Komisi III DPR saat itu, Aziz Syamsuddin.
"Setuju," ujar semua anggota Komisi III DPR.
Sebuah keputusan yang membuat KPK tak lagi sama. Padahal, selama menjabat Deputi Penindakan KPK, Firli tak lepas dari kontroversi. Berikut daftarnya:
Bertemu TGB
Firli dilantik sebagai Deputi Penindakan KPK pada 6 April 2018, setelah mengikuti serangkaian proses seleksi. Ia meninggalkan jabatan sebagai Kapolda NTB.
ADVERTISEMENT
Firli menggantikan Komjen Heru Winarko yang ditunjuk sebagai Kepala BNN. Baru sebulan menjabat, Firli mulai menimbulkan kontroversi.
Kontroversi pertama saat Firli bertemu dengan Gubernur NTB saat itu, Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi, di sebuah acara perpisahan Danrem 162 di Mataram pada 13 Mei 2018.
Dalam sebuah foto yang beredar, Firli bertemu TGB saat bermain tenis. Padahal, KPK saat itu tengah menyelidiki kasus divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara di mana TGB menjadi terperiksa.
Pertemuan dengan TGB itu membuat Firli dilaporkan ke bagian Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat atas dugaan pelanggaran etik. Firli dua kali dilaporkan atas pertemuan tersebut yakni pada 18 September dan 1 November 2018.
ADVERTISEMENT
Saat mengikuti seleksi pimpinan KPK pada September 2019, Firli menjelaskan pertemuan tersebut. Firli mengakui bertemu TGB di lapangan tenis. Namun, ia menegaskan tidak pernah berkomunikasi dengan TGB.
"Saya tidak mengadakan pertemuan atau hubungan, tapi kalau bertemu, yes, I meet," ujar Firli.
Firli mengaku tiba di lapangan tenis pada sekitar pukul 06.30 WITA. Di sana, sudah hadir beberapa orang, termasuk pemain tenis nasional.
Firli menyebut, TGB datang sekitar pukul 09.30 WITA, usai dia menyelesaikan 2 set gim tenis. Ia sedang menuju ke luar lapangan, sementara TGB masuk. Ia kemudian diminta foto-foto terlebih dulu. Foto itu kemudian diunggah ke media sosial dan menjadi masalah.
"Apa salah saya bertemu orang di lapangan tenis," ujar Firli.
ADVERTISEMENT
Tetapi menurut KPK, pertemuan Firli dengan TGB bukan cuma sekali. Kedua disebut bertemu pada 12 Mei 2018 atau sehari sebelum pertemuan di lapangan tenis.
Penasihat KPK saat itu, Mohammad Tsani Annafari, menyatakan Firli dan TGB bertemu dalam acara hari lahir ke-84 GP Anshor di Bonder, Lombok Tengah.
Tsani menyebut berdasarkan hasil pemeriksaan Pengawas Internal, Firli diduga berangkat tanpa surat tugas dan menggunakan uang pribadi. Firli dan TGB disebut duduk di barisan depan di acara tersebut dan berbincang.
Firli tak menampik menghadiri acara di sebuah pondok pesantren di Bonder pada 12 Mei. Namun ia tak menjelaskan adanya pertemuan dengan TGB di acara itu. Lagipula, kata Firli, kedatangannya di acara ponpes tersebut hanyalah silaturahmi.
ADVERTISEMENT
"Orang bilang silaturahmi akan mengantar kita ke surga," ujar Firli.
Jemput Wakil Ketua BPK Bahrullah Akbar
Kontroversi selanjutnya terjadi pada 8 Agustus 2018. Ketika itu, Firli menjemput Wakil Ketua BPK, Bahrullah Akbar, di lobi gedung KPK. Padahal Bahrullah merupakan saksi kasus suap usulan dana perimbangan keuangan daerah pada RAPBN-P 2018.
Awalnya Bahrullah akan diperiksa sebagai saksi pada 8 Agustus 2018. Namun ketika itu, Bahrullah menyatakan tak bisa hadir dan meminta penjadwalan ulang.
Tiba-tiba, Bahrullah datang ke KPK. Firli disebut menyambut langsung Bahrullah di lobi Gedung KPK. Bahkan Bahrullah diduga dibawa masuk lift khusus dan langsung masuk ke ruangan Firli.
Firli pun diduga memanggil penyidik yang menangani perkara kasus dana perimbangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurut Tsani, pertemuan antara Bahrullah dan Firli terjadi sekitar 30 menit. Hingga kemudian Bahrullah diantar penyidik ke lantai 2 gedung KPK untuk diperiksa.
Saat menjalani fit and proper test sebagai pimpinan KPK, Firli mengakui menjemput Bahrullah di lobi.
"Kenapa saya jemput? Karena saya mitra BPK. Saya jemput karena ditelepon oleh salah satu auditor utama, namanya Pak Nyoman Wara, karena diberi tahu. Dia (Bahrullah) diminta keterangan sebagai saksi," ujar Firli.
Firli kemudian mengajak Bahrullah ke ruangannya. Namun, kata dia, tidak ada pembicaraan khusus dalam pertemuan itu.
"Baru bertanya 'Pernah dinas di mana saja, Pak Firli? Karena saya bilang ke staf saya, Ayu, 'coba cek ini, Pak Bahrul Akbar dimintai keterangan sama siapa'. Belum sampai 15 menit datang penyidiknya, langsung saya bilang 'Ini sudah datang panggilannya. Pak Bahrul Akbar langsung dimintai keterangan'. Sampai saat ini saya belum pernah ketemu," jelas Firli
ADVERTISEMENT
Firli memastikan semua itu sudah dilaporkan kepada pimpinan.
Bertemu Pimpinan Parpol
ADVERTISEMENT
Tak berhenti di situ, KPK menyebut Firli pernah bertemu pimpinan parpol pada 1 November 2018 di sebuah hotel.
Namun, tidak dijelaskan siapa pimpinan parpol yang dimaksud. Demikian pula isi pertemuan itu.
Dalam fit and proper test di Komisi III DPR, Firli tak menampik pernah bertemu dengan pimpinan parpol yang ternyata Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
Tetapi menurut Firli, pertemuan itu terjadi tidak sengaja. Awalnya, Firli memenuhi undangan Wakabareskrim Polri saat itu, Antam Novambar.
"Kalaupun disampaikan ada pertemuan dengan pimpinan partai politik, saya ingin katakan saya bukan bertemu dengan pimpinan partai politik, tapi saya bertemu dengan individu," kata Firli.
ADVERTISEMENT
"Dan itu tidak ada pembicaraan apa pun. Dan itu bukan sengaja pertemuan. Saya diundang kawan saya kebetulan dia adalah Wakabareskrim [Antam Novambar], saya hadir di situ. Kebetulan ketua partai politik hadir dan beliau kenal individu saya," lanjutnya.
Firli menegaskan pertemuan dengan Megawati dalam kapasitas sebagai individu, bukan sebagai ketum parpol.
"Saya ketemu Pak Antam, betul, di saat itu juga ada Ibu Megawati. Saya diajak Wakabareskrim (Antam) membicarakan koordinasi penanganan perkara dan makan malam di situ," tuturnya.
Namun, Firli menyatakan penanganan perkara yang dimaksud bukan perkara KPK. Dia berdalih bahwa penanganan perkara itu terkait koordinasi supervisi.
Adapun Megawati mengenal Firli lantaran pernah dekat dengan almarhum Taufiq Kiemas. Di pertemuan itu, Firli memastikan tidak ada pembicaraan apa pun.
ADVERTISEMENT
"Karena almarhum suami Beliau selalu intens dengan saya sejak saya pangkat letnan satu. Saya kira apa yang saya sampaikan sudah saya clear," kata Firli.
Diadukan atas Dugaan Bocorkan Kasus
Itu belum semua. Pada akhir Maret 2019, ratusan penyidik dan penyelidik membuat petisi kepada pimpinan KPK yang dipimpin Agus Rahardjo dkk.
Salah satu isi petisi memprotes tingginya tingkat kebocoran kasus yang diduga terjadi pada saat Firli Bahuri masih menjabat Deputi Penindakan KPK.
Mereka menilai ada upaya menghambat penindakan kasus. Salah satunya ada dugaan pembocoran informasi penanganan perkara.
"Pada waktu itu, beberapa rekan penyelidik dan penyidik sempat menghadap kepada pimpinan dan menyampaikan bahwa 'bagaimana ini, Pak ini ada banyak sekali perkara yang bocor, OTT yang bocor, yang gagal," ujar penyidik KPK, Hasan, dalam film dokumenter Watchdoc Documentary bertajuk 'The End Game' yang dikutip kumparan.
Petisi yang sempat ramai diperbincangkan membuat pimpinan KPK menggelar pertemuan dengan para penyelidik dan penyidik. Pertemuan digelar pada 16 April 2019 di ruang rapat lantai 15 Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
ADVERTISEMENT
kumparan mendapatkan notulensi rapat yang dihadiri sejumlah penyelidik dan penyidik serta 5 pimpinan KPK.
Berdasarkan notulensi tersebut, terungkap saat Deputi Penindakan KPK dijabat Firli Bahuri, setidaknya 27 kasus bocor, 9 di antaranya merupakan OTT. Mayoritas kasus bocor di tahap penyelidikan dari beberapa Kasatgas. Firli belum menjawab mengenai dugaan ini.
Diduga Langgar Etik Berat
Wakil Ketua KPK saat itu, Saut Situmorang, menyatakan pimpinan sudah menerima hasil pemeriksaan Pengawas Internal terkait Firli. Hasilnya, Firli diduga melakukan pelanggaran berat terkait dengan pertemuan sejumlah pihak.
"Hasil pemeriksaan Direktorat Pengawasan Internal adalah: terdapat dugaan pelanggaran berat," ujar Saut
Saut menyebut dugaan pelanggaran itu terkait 4 pertemuan yang dilakukan Firli yakni 2 kali bertemu TGB, sekali dengan Wakil Ketua BPK, dan sekali dengan pimpinan parpol.
ADVERTISEMENT
Setelah menerima laporan tersebut, KPK hendak membentuk Dewan Pertimbangan Pegawai sebagai tindak lanjut penjatuhan sanksi etik kepada Firli. Namun belum sempat DPP dibentuk, Firli keburu ditarik Polri pada 20 Juni 2019. Ia kemudian menjabat Kapolda Sumatera Selatan.
Divonis Langgar Etik soal Penggunaan Heli
Sekitar 6 bulan menjadi Kapolda Sumsel, Firli kembali ke KPK pada Desember 2019. Kali ini, Firli menjabat Ketua KPK.
Tetapi enam bulan setelahnya atau Juni 2020, Firli tersandung etik karena bergaya hidup mewah. Sebab ia menggunakan helikopter saat berkunjung ke kampung halamannya di Baturaja, Sumsel, pada Sabtu, 20 Juni 2020.
Ia kemudian dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK atas penggunaan heli tersebut.
Setelah melalui serangkaian sidang, Dewas akhirnya menyatakan Firli terbukti melanggar etik terkait nilai dasar integritas dan kepemimpinan.
ADVERTISEMENT
Firli dijatuhi hukuman hukuman teguran ringan tertulis agar tak mengulangi perbuatannya lagi.
Atas vonis tersebut, Firli menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia. Ia menegaskan tak akan mengulangi perbuatan melanggar etik seperti itu lagi.
"Kepada majelis yang saya hormati, pada kesempatan hari ini, saya memohon maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia yang mungkin tidak nyaman dan saya nyatakan putusan saya terima, saya pastikan saya tak akan mengulangi. Terima kasih," kata Firli.
Polemik TWK
Kini, Firli kembali membuat polemik mengenai Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bagi pegawai KPK yang alih status sebagai ASN. Padahal sesuai UU KPK hasil revisi dan Peraturan Pemerintah, tak ada ketentuan TWK.
Namun TWK diduga sebagai alat bagi Firli untuk menyingkirkan pihak tertentu di KPK, termasuk kepada pegawai yang menangani kasus etiknya ketika menjabat Deputi Penindakan.
ADVERTISEMENT
Para pegawai yang tak lolos melaporkan Firli ke Dewas atas polemik TWK itu. Mereka menduga Firli yang memasukkan syarat TWK dalam Peraturan KPK mengenai alih status sebagai ASN.
Selain itu, Firli dkk dilaporkan ke Ombudsman atas dugaan malaadministrasi dan Komnas HAM atas dugaan pelanggaran HAM.
Ketentuan TWK tersebut membuat 75 pegawai KPK dinyatakan tak memenuhi syarat. Bahkan 51 pegawai di antaranya dicap merah dan dianggap tidak bisa dibina lagi.
Sumber kumparan mengatakan, dalam proses TWK itu ada 9 indikator yang merujuk kepada pelabelan 'merah' bagi para pegawai tersebut.
Salah satu indikator merah tersebut seperti tidak setuju dengan pencalonan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK pada proses seleksi pimpinan 2019-2023.