Kontroversi Pidato Pendeta Indonesia pada Demo Anti-Rasialisme di AS

11 Juni 2020 8:31 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang demonstran memegang papan bertuliskan Black Lives Matter' saat aksi demo berlangsung di Seattle, Washington, AS, Senin (1/6). Foto:  REUTERS/Lindsey Wasson
zoom-in-whitePerbesar
Seorang demonstran memegang papan bertuliskan Black Lives Matter' saat aksi demo berlangsung di Seattle, Washington, AS, Senin (1/6). Foto: REUTERS/Lindsey Wasson
ADVERTISEMENT
Pidato pendeta asal Indonesia, Oscar Suryadi, pada sebuah demonstrasi anti-rasialisme di Amerika Serikat menuai sorotan. Sebab Suryadi menyampaikan pidato yang isinya menyinggung soal diskriminasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Saat menyampaikan orasi dalam aksi yang memprotes tewasnya pria Afrika-Amerika, George Floyd, di Pioneer Square, Washington DC, Suryadi mendapat tepuk tangan dari para demonstran.
Namun tak demikian di Indonesia. Pidato Suryadi, khususnya pada awal orasi, menuai kecaman keras dari publik Tanah Air. Kecaman mengarah ke Suryadi lantaran dia mengatakan, "tahu apa itu prasangka dan diskriminasi" karena berasal dari Indonesia.
"Saya lahir di Indonesia, jadi saya tahu apa itu prasangka dan diskriminasi," kata Suryadi.
"Saya kira saya bisa lari jauh dari Indonesia dan datang ke sini untuk menghirup kebebasan. Tapi saya melihat beberapa hari lalu, hati saya meleleh," lanjut pendeta dari Portland City Blessing Church ini.
Penggalan dari video pidato Suryadi pun dengan cepat menyebar di sejumlah kanal media sosial. Komentar negatif langsung menghujani unggahan video tersebut. Warganet sontak menyebutnya sebagai "pengkhianat" atas pernyataan kontroversialnya tersebut.
ADVERTISEMENT
Pernyataan kontroversial Suryadi itu langsung dikomentari Kementerian Luar Negeri (Kemlu). Kemlu meminta Suryadi untuk segera memberikan klarifikasinya.
Suryadi diketahui telah menjadi pemimpin City Blessing Church di Portland, Oregon, sejak 1998. Belum diketahui apakah Suryadi masih berstatus sebagai WNI atau sudah pindah kewarganegaraan.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, mengaku tak mengenali sosok Suryadi. Namun menurutnya, WNI yang berdomisili di AS pada umumnya selalu mematuhi imbauan dari kantor perwakilan Indonesia.
"Saya tidak tahu siapa yang bersangkutan. Ada lebih dari 143 ribu WNI di AS, jika ditambah dengan mereka yang sudah menjadi WN AS angkanya bisa lebih banyak lagi," kata Faizasyah kepada kumparan.
Jubir Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
"Terkait aksi-aksi demonstrasi di AS, WNI pada umumnya mematuhi imbauan perwakilan Indonesia di AS untuk tidak ikut turun ke jalan," lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Dia mengatakan kantor perwakilan RI akan mencari tahu lebih jauh ihwal asal usul Suryadi. Faizasyah juga meminta Suryadi untuk segera mengklarifikasi pernyataannya tersebut, mencontoh kasus sebelumnya yang juga menyeret nama Indonesia.
Pernyataan Faizasyah itu menyinggung soal Rainey Backues atau Dika, pria naturalisasi bertato Indonesia yang terlibat kerusuhan di Philadelphia. Dika tertangkap kamera merusak toko dalam kerusuhan.
Melalui akun Instagramnya, Dika panjang lebar memberikan klarifikasi dan permintaan maafnya. Ayah Dika, Lindy Backues, juga meminta maaf menyatakan keluarganya siap menerima konsekuensi atas tindakan anaknya
"Nanti dicari tahu oleh perwakilan kita. Namun siapa pun yang bersangkutan, mencontoh kasus sebelumnya WN AS bertato peta RI yang ikut demo, pelaku dan juga orang tuanya memberikan klarifikasi. Contoh ini bisa juga dilakukan oleh yang bersangkutan," kata Faizasyah.
Ustaz Shamsi Ali. Foto: Dok. Istimewa
Imam di Islamic Center of New York, Ustaz Shamsi Ali, turut angkat bicara soal pidato Suryadi. Menurut Shamsi, pidato yang berisikan narasi yang menjelekkan negeri sendiri jelas tak bisa dibenarkan. Hal itu dituangkan pula oleh Shamsi dalam tulisannya yang berjudul "Hentikan Menjelekkan Negeri Sendiri",
ADVERTISEMENT
Shamsi mengatakan Indonesia dengan segala kekurangannya adalah "negara paling toleran terhadap kaum minoritas".
"Saya menyampaikan ini karena saya sudah diberikan kesempatan untuk tinggal atau minimal mengunjungi banyak negara," kata Shamsi.
"Di Indonesia dari dulu semua warga bebas beragama dan menjalankan agamanya. Pernahkah Indonesia melarang agama, selama memang sejalan dan diakui dengan Konstitusi?" lanjut imam asal Bulukumba, Sulawesi, ini.
Shamsi mencontohkan bentuk kesetaraan yang ada di Indonesia untuk seluruh umat beragama yakni adanya hari libur keagamaan semua agama. Di New York, Shamsi harus berjuang selama tujuh tahun untuk memperoleh hak libur umat Islam.
Rukiya Ahmed dan Yoreanos Alemu berbaring di jalan sebagai protes terhadap kematian George Floyd, di Washington, AS. Foto: REUTERS/Lucas Jackson
"Kami di New York berjuang tujuh tahun lebih untuk mendapatkan hak libur sekolah di saat Idul Fitri dan Idul Adha. Itu pun hanya di Kota New York," ujar Shamsi.
ADVERTISEMENT
Di akhir tulisannya, dia mengajak pada diaspora dan WNI di luar negeri untuk tidak menjelekkan Indonesia di negara orang.
"Saya hanya ingin mengatakan: hentikan memburuk-burukkan Indonesia demi mencari nasib baik di negeri orang. Jangan sebuah, dua buah kasus, Anda pakai untuk mencampakkan wajah bangsa/negara di depan mata orang lain. Belajarlah berterima kasih dan tahu diri!" tegas Shamsi.
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.