Korupsi Proyek, 2 Eks Pejabat Bakamla Didakwa Rugikan Negara Rp 63,82 Miliar

22 April 2021 19:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi koruptor. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi koruptor. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Jaksa penuntut umum KPK mendakwa mantan Ketua Unit Layanan Pengadaan (ULP) di Badan Keamanan Laut (Bakamla), Leni Marlena dan eks anggota ULP, Juli Amar Ma'ruf, telah melakukan korupsi proyek "Backbone Coastal Surveillance System" (BCSS) pada 2016. Akibatnya, negara telah dirugikan sebesar Rp 63,82 miliar.
ADVERTISEMENT
"Terdakwa Leni Marlena selaku Ketua ULP di Bakamla bersama-sama dengan Juli Amar Ma'ruf selaku anggota (koordinator) ULP Bakamla, Bambang Udoyo selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Rahardjo Pratjihno selaku Direktur Utama PT CMI Teknologi merugikan keuangan negara sebesar Rp 63,82 miliar sebagaimana audit perhitungan kerugian keuangan negara pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS pada Bakamla tahun anggaran 2016 yang dibuat tim auditor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP)," kata jaksa KPK, Kresno Anto Wibowo, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (22/4), seperti dikutip dari Antara.
Perbuatan keduanya dinilai telah memperkaya Rahardjo Pratjihno sebesar Rp 60,32 miliar dan Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi sebesar Rp 3,5 miliar. Jumlah itu yang kemudian dihitung sebagai kerugian negara.
Ilustrasi meja pengadilan. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Latar Belakang Kasus

Kasus bermula ketika Leni ditunjuk sebagai Ketua ULP dan Juli Amar sebagai anggota (koordinator) ULP pada 16 Juni 2016. Setelahnya, Leni dipanggil Ali Fahmi selaku staf khusus Kepala Bakamla saat itu, Arie Soedewo, untuk menyampaikan pengadaan BCSS dan akan dibantu Juli Amar.
ADVERTISEMENT
Pada Juni 2016, Juli Amar diperkenalkan dengan Rahardjo Pratjihno melalui perantaran Hardy Stefanus (relasi Ali Fahmi). Hardy memberitahukan telah diarahkan untuk mengerjakan proyek BCSS di Bakamla.
Pada Juni 2016, anggaran pengadaan BCSS ditampung dalam DIPA Bakamla TA 2016 senilai Rp 400 miliar tapi masih diberi tanda bintang karena butuh persetujuan dari Kementerian Keuangan. Pada Juli 2016, Rahardjo memaparkan rencana BCSS di Bakamla.
"Setelah pemaparan, Arie Soedewo mengarahkan agar PT CMI Teknologi milik Rahardjo Pratjihno dapat ditunjuk langsung sebagai pelaksana pekerjaan namun Rahardjo meminta agar tetap dilakukan proses pelelangan yang akan diatur sedemikan rupa sehingga nanti pelelangan tetap dimenangkan PT CMI Teknologi," kata jaksa Kresno.
Leni dan Juli Amar lalu bertemu Fachrulan Amir untuk membahas bagaimana cara "mengunci spek" dalam Kerangka Acuan Kegiatan (KAK) pengadaan. Selain itu PT CMI Teknologi akan menyiapkan 2 perusahaan pendamping yang akan didaftarkan pada LPSE Bakamla, yaitu PT Kaesa Indah Sejahtera dan PT Catudaya Data Prakasa.
Ilustrasi Pengadilan Tipikor, Jakarta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Pada 16 Agustus 2016, meski tanda bintang belum dicabut karena harus menunggu Laporan Audit yang disebut "Probity Audit" oleh tim BPKP, Juli Amar mengumumkan lelang pengadaan "BCSS yang terintegrasi dengan BIIS" secara elektronik di lpse.BAKAMLA.go.id dengan pagu anggaran sebesar Rp 400 miliar.
ADVERTISEMENT
Leni berpedoman untuk Harga Perkiraan Sendiri (HPS) senilai Rp 399,80 miliar yang berasal dari "file" yang dibuat PT CMI Teknologi. HPS juga dibuat tanpa PPK karena Bambang Udoyo baru ditunjuk sebagai PPK pada 22 Agustus 2017.
Juli Amar lalu menetapkan sistem pelelangan yang digunakan dengan metode pascakualifikasi sistem gugur. Padahal pengadaan BCSS tersebut termasuk jenis pekerjaan kompleks yang seharusnya menggunakan metode penilaian prakualifikasi. Sehingga hanya 2 perusahaan yang memberikan dokumen penawaran yaitu PT CMI Teknologi dan PT Kaesa Indah Sejahtera sebagai perusahaan pendamping yang sudah disiapkan.
PT CMI Teknologi lantas keluar sebagai pemenang lelang "BCSS yang terintegrasi dengan BIIS" pada 16 September 2016 namun kontrak belum dapat dilakukan karena anggaran masih ada tanda bintang.
ADVERTISEMENT
Kemenkeu, pada Oktober 2016, kemudian hanya menyetujui anggaran BCSS sebesar Rp 170,57 miliar atau kurang dari HPS penawaran PT CMI Teknologi sebagai pemenang lelang. Sehingga pada pertemuan 8 Oktober 2016 antara Bambang Udoyo, Leni, Juli dan PT CMI Teknologi disepakati nilai pengadaan adalah sebesar Rp 170,57 miliar.
Pada 18 Oktober 2016, Rahardjo dan PPK Bakamla Bambang Udoyo menandatangani kontrak pengadaan berbentuk lumpsum dengan nilai pekerjaan senilai Rp 170,57 miliar. Namun kontrak tidak dijelaskan kualitas hasil keluaran (output based) yang dikehendaki Bakamla selaku user, melainkan hanya berupa rincian item barang sebagaimana bentuk kontrak harga satuan.
PT CMI Teknologi lalu melakukan subkon dan pembelian sejumlah barang yang termasuk pekerjaan utama ke 11 perusahaan yaitu PT CSE Aviation (Rp 1,89 miliar), PT Catudaya Data Prakasa (Rp 6,13 miliar), PT Spasi Indonesia (Rp 5,42 miliar), PT Tricada Intronik (Rp 10,62 miliar), PT Westcon (Rp 6,18 miliar), PT Satria Samudera (Rp 4,27 miliar), PT Compnet (Rp 20,65 miliar), BAP Precision Ltd (USD 531.867), LHS Electronic Enterprise (USD 2.427), PT CNI (Rp 2,11 miliar), dan Metrasat Telkom (Rp 3,74 miliar).
ADVERTISEMENT
"Pada akhir Oktober 2016 bertempat di daerah Menteng Jakarta Pusat, Rahardjo Pratjihno memberikan selembar cek Bank Mandiri kepada Hardy Stefanus senilai Rp 3,5 miliar untuk diberikan kepada Ali Fahmi sebagai realisasi komitmen fee atas diperolehnya proyek backbone di Bakamla," jelas jaksa Kresno.
Ilustrasi uang sitaan KPK. Foto: Instagram/@official.kpk
Hardy lalu mencairkan dalam bentuk dolar Singapura sebesar Rp 3 miliar dan sisanya Rp 500 juta tetap dalam bentuk rupiah. Hardy menyerahkan uang itu kepada Ali Fahmi di gerai Starbucks dekat PRJ Kemayoran saat pameran Indo Defense.
"Pada November 2016, terdakwa Leni bersama Juli Amar dan anggota ULP serta tim teknis Bakamla mengikuti kegiatan rapat 'factory acceptance test' di kantor PT CMIM Bandung yang dibiayai PT CMI Teknologi meliputi akomodasi, biaya hotel Ibis TSM, dan makan siang serta 'snack'. Selain itu PT CMI Teknologi juga memberikan uang saku kepada terdakwa Leni dan Juli Amar Ma'ruf masing-masing sebesar Rp 1 juta serta untuk anggota ULP dan tim teknis masing-masing sebesar Rp 500 ribu," kata jaksa Kresno.
ADVERTISEMENT
PT CMI kemudian menerima pembayaran Rp 134,41 miliar yang dibayarkan secara bertahap pada 7 November -8 Desember 2016. Padahal panitia penerima hasil pekerjaan (PPHP) Bakamla tidak pernah mengecek ke lapangan, namun hanya berdasar dokumen PT CMI Teknologi.
"Dari Rp 134,41 miliar yang dibayarkan, ternyata untuk pembiayaan pekerjaan hanya Rp 70,58 miliar. Sehingga terdapat selisih sebesar Rp 63,82 miliar yang merupakan keuntungan Rahardjo Pratjihno selaku pemilik PT CMI Teknologi. Adapun keuntungan tersebut dikurangi pemberian kepada Ali Fahmi sebesar Rp 3,5 miliar. Sehingga Rahardjo mendapat penambahan kekayaan sebesar Rp 60,32 miliar," ucap jaksa Kresno.
Atas perbuatan tersebut, Leni Marlena dan Juli Amar Ma'ruf didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 jo pasal 18 UU Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
ADVERTISEMENT
Terhadap dakwaan tersebut, Leni mengajukan nota keberatan (eksepsi). Sedangkan Juli Amar tidak mengajukan keberatan.