Cover Collection - LIPSUS  Kabinet Dalam Bahaya

Kotak Pandora Problem Transparansi Penanganan COVID-19

16 Maret 2020 11:51 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas menurunkan pasien yang diduga terjangkit virus corona.  Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Petugas menurunkan pasien yang diduga terjangkit virus corona. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Warga salah satu gang sempit di Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, dikagetkan kehadiran belasan personel TNI dan Polri di permukiman mereka, Kamis malam (11/3). Kabar bahwa salah satu penghuni di sana suspect COVID-19 pun merebak.
Orang yang diduga suspect corona itu semula mengalami demam tinggi. Tetangga di sekitar rumah mendapat informasi, dokter mendiagnosisnya mengidap tifus. Namun malam itu setelah sempat dirawat di salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan, nyawanya tak tertolong.
Tetangga sekitar sempat curiga karena kesulitan membesuk pasien di rumah sakit. Prosesi pemakaman pun berlangsung tertutup. Di kalangan tetangga beredar foto peti jenazah yang dibungkus plastik.
Di depan rumah pasien, sejumlah aparat juga berjaga. “Kami sampai takut melayat,” kata salah seorang tetangga yang enggan menyebut namanya.
Kabar yang beredar antarwarga sebatas desas-desus tanpa konfirmasi jelas. Namun, warga tetap menggelar tahlilan bagi almarhum di masjid yang tak jauh dari rumahnya.
Penelusuran kumparan menemukan bahwa warga yang meninggal tersebut adalah salah satu pasien suspect corona di wilayah Jakarta. Kedutaan Amerika Serikat, tempat ia bekerja, mengonfirmasi hal tersebut.
“Kami mengetahui adanya laporan mengenai kasus dugaan COVID-19 terkait pegawai Kedubes AS di Jakarta,” ujar Juru Bicara Kedutaan AS di Jakarta kepada kumparan, Jumat (13/3).
Pihak Kedutaan enggan membeber lebih lanjut data diri pegawai tersebut. kumparan memperoleh foto yang menunjukkan karangan bunga tanda belasungkawa dari Kedutaan AS diletakkan di depan rumah duka. Foto itu tak disertakan di sini karena memperlihatkan nama almarhum secara gamblang.
Penumpang mengenakan masker di dalam gerbong KRL Jakarta-Bogor. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Di hari pasien suspect di Mampang meninggal, pemerintah mengumumkan jumlah pasien penderita coronavirus COVID-19 mencapai 34 orang. Dari jumlah itu, satu pasien meninggal dan lima pulih.
Keesokan harinya, Jumat (12/3), jumlah pasien positif COVID-19 melonjak dua kali lipat menjadi 69 orang, dengan tiga pasien baru yang meninggal dunia. Hingga Minggu (15/3), pasien positif COVID-19 sudah menyentuh angka 117 orang.
Juru bicara pemerintah terkait penanganan virus corona, Achmad Yurianto, tak menjelaskan riwayat aktivitas pasien meninggal. Ia juga tak mengonfirmasi pertanyaan terkait pasien meninggal di Mampang Prapatan.
Tambahan pasien meninggal yang disebut hanya kasus nomor 35, yakni perempuan 57 tahun; pasien kasus nomor 36, yaitu perempuan 37 tahun; dan pasien kasus nomor 50 yang merupakan laki-laki 59 tahun.
Presiden Jokowi menyatakan pemerintah sengaja menyaring informasi soal COVID-19 agar tak memicu kepanikan publik.
“Kami tidak ingin menciptakan rasa panik, tidak ingin menciptakan keresahan di tengah masyarakat. Oleh sebab itu dalam penanganan, memang kami tidak bersuara,” kata Jokowi di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Jumat (13/3), usai meninjau sterilisasi di sana.
Coronavirus COVID-19 menyusup ke ring-1 Istana. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Usai mengumumkan kasus pertama COVID-19 awal Maret lalu, pemerintah terkesan berhati-hati mengungkap informasi soal penanganan corona. Beberapa hari belakangan, konferensi pers rutin media center COVID-19 di Kantor Staf Kepresidenan hanya menyebutkan perkembangan jumlah pasien.
Titik-titik potensi penyebaran berdasarkan riwayat aktivitas pasien sama sekali tidak disinggung. Pemerintah enggan menyebut detail informasi terkait lokasi perawatan dan riwayat perjalanan pasien—yang sesungguhnya bisa jadi acuan untuk melihat lokasi berpotensi terpapar.
Badan Kesehatan Dunia, World Health Organization, sempat menyentil pilihan “minimalis” pemerintah RI itu. Melalui surat yang ditandatangani oleh Direktur Eksekutif WHO Thedros Adhanom Ghebreyesus, Jumat (17/3), WHO meminta pemerintah Indonesia terbuka terkait data penanganan corona.
“Uji kasus yang dicurigai per definisi kasus WHO, kontak kasus yang dikonfirmasi, uji pasien yang diidentifikasi melalui pengawasan penyakit pernapasan,” tulis Thedros merinci data yang diperlukan WHO. Lembaga di bawah PBB itu juga menganjurkan Indonesia menetapkan corona sebagai darurat nasional.
Jokowi sudah berkontak dengan WHO, dan sepakat untuk meningkatkan kerja sama. Guna menindaklanjuti permintaan WHO, ia menunjuk Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal Doni Monardo sebagai Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19.
“Karena virus ini sudah dikatagorikan sebagai pandemi global, maka (menjadi) bencana non-alam,” kata Doni dalam konferensi pers, Sabtu (14/3).
Kepala BNPB Doni Monardo (kedua kiri) ditunjuk mengepalai Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Sabtu (14/3). Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 akan mengkoordinasi lembaga lain seperti Kantor Staf Presiden—yang sebelumnya menjadi pusat komunikasi dan informasi terkait corona, ditambah satuan dari TNI, Polri, dan Badan Intelijen Negara, dalam menangkal penyebaran corona.
Pengerahan lembaga telik sandi dalam penanganan COVID-19 sempat memancing pertanyaan publik. Direktur Informasi dan Komunikasi BIN Wawan Purwanto menjelaskan, lembaganya punya tugas spesifik.
“Kalau pun masih ada (pasien) yang lolos, kami lakukan upaya isolasi, termasuk menelisik ke mana sebelumnya yang bersangkutan berhubungan,” kata Wawan kepada kumparan.
Menurutnya, pemerintah tak bermaksud menutupi segala informasi terkait penanganan corona. Pun pengerahan aparat bukan bertujuan untuk menakut-nakuti masyarakat. Hanya agar tak terjadi kegaduhan di tengah masyarakat. “Semua terukur,” imbuh Wawan.
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di Masjid Istiqlal, Jakarta. Foto: ANTARA/Galih Pradipta
Gugus Tugas yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 7 tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 bertujuan agar fasilitas kesehatan bisa lebih optimal. Kerja tim tersebut akan mengacu pada Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/Menkes/199/2020 tentang Komunikasi Penanganan COVID-19 yang berisi lima protokol dan panduan koordinasi pemerintah pusat dan daerah.
Kementerian Keuangan juga menambah anggaran Kementerian Kesehatan sebanyak Rp 1 triliun. “Untuk menajamkan kemampuan koordinasi pemerintah dalam menangani COVID-19," kata Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman.
Dalam hal koordinasi penanganan COVID-19, masalah transparansi menjadi isu yang mencuat dalam hubungan pemerintah pusat dan daerah. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, misalnya, mengaku tak pernah menerima informasi soal riwayat aktivitas pasien positif corona yang ada di daerahnya.
“Kami berharap kepada Kementerian Kesehatan untuk menjalankan arahan Bapak Presiden, khususnya tentang kecepatan dan transparansi hasil pengetesan pada orang-orang yang diduga memiliki atau terjangkit COVID-19,” kata Anies dalam konferensi pers di Balai Kota Jakarta, Jumat (13/3).
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Foto: Efira Tama Thenu/kumparan
Anies meminta dua laboratorium di Jakarta bisa dilibatkan dalam proses pengujian sampel suspect. Pasalnya, pemerintah semula membatasi proses pengujian spesimen pasien hanya pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes. Alasannya, untuk menjamin keamanan prosedur pengetesan.
Belakangan, Kemenkes melunak setelah penyebaran COVID-19 meningkat tajam. Enam Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) yang berada di Jakarta, Banjarbaru, Yogyakarta, dan Surabaya diaktifkan untuk menguji spesimen. Juga empat Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKLPP) yang tersebar di Medan, Batam, Palembang, Makassar, Manado, dan Ambon.
Kemenkes juga mengirim 10 supervisor untuk memantau proses pendeteksian virus di tempat-tempat tersebut.
Selama ini, “monopoli” informasi pengecekan spesimen membuat proses penanganan menjadi lambat. Hal ini misalnya terjadi pada kasus pasien di Cianjur, Jawa Barat.
Pasien laki-laki berusia 50 tahun itu meninggal pada Selasa (3/3). Ia awalnya tidak masuk daftar positif corona versi Kemenkes. Padahal, Dinkes Kabupaten Cianjur mendapat informasi sebaliknya berdasarkan uji laboratorium Balitbangkes Kemenkes.
Hampir dua pekan berikutnya, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengungkap bahwa pasien tersebut positif COVID-19. Istri dan anak pasien yang berada di Bekasi, kini juga tertular dan dinyatakan positif corona.
Masalah serupa terjadi di Yogyakarta. Kemenkes telah menyebut salah satu pasien positif corona berada di Yogyakarta, namun Dinas Kesehatan DIY menampiknya. Menurut data mereka, hanya terdapat dua orang yang masih dalam pengawasan. Sehari setelahnya, barulah terkonfirmasi kabar seorang balita di Yogya positif corona.
Kepala daerah seolah harus menerka sendiri kebijakan yang tepat untuk menghalau laju corona di daerah mereka masing-masing. Anies, misalnya, berinisiatif mengungkap wilayah-wilayah sebaran kasus positif corona di DKI Jakarta.
Sebaran corona di DKI Jakarta. Foto: Dok. Pemprov DKI
Gubernur DKI itu selanjutnya memutuskan untuk menutup tempat wisata selama dua pekan. Sekolah-sekolah di wilayah DKI Jakarta juga ikut diliburkan. Terakhir, Anies mengurangi jumlah transportasi publik.
Daerah lain pun menyusul menyatakan darurat corona di wilayahnya. Di Surakarta, Wali kota FX Hadi Rudyatmo menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) Corona pada Jumat malam (13/3), setelah sebelumnya pasien laki-laki berusia 57 tahun di wilayahnya meninggal dan dinyatakan positif corona.
Di Surakarta, setidaknya 62 orang melakukan karantina mandiri karena dugaan corona. Berikutnya, Pemprov Jawa Tengah ikut menetapkan status waspada corona.
Pemerintah pusat baru bersikap soal kebijakan di daerah usai beberapa pemda seperti DKI Jakarta dan Surakarta mengambil sikap sendiri. Kemenkes akhirnya mengungkap 8 daerah yang sudah punya kasus positif COVID-19, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Banten, Bali, Manado di Sulawesi Utara, dan Pontianak di Kalimantan Barat.
Sementara itu, Jokowi cenderung memberi kelonggaran bagi pimpinan daerah untuk menentukan kebijakan bagi wilayahnya. “Saya minta kepada seluruh gubernur, kepada seluruh bupati, kepada seluruh wali kota, untuk terus memonitor kondisi daerah dan terus berkonsultasi dengan pakar untuk menelaah siatusi yang ada,” kata Jokowi.
Kemenkes mendukung daerah yang mau membuka peta sebaran virus corona.
“Ini kebijakan bagus pemda dan kami mendukung. Terjadi sinkronisasi pusat dan daerah dalam merespons COVID-19 sebagai bencana. Semua sejalan. Tracing sudah kita lakukan, pemda kemudian membuat peta, menentukan kawasan-kawasan rawan. Dan kemudian pemda juga membuka info kepada seluruh masyarakat. Pemerintah pusat hanya rekap keseluruhan,” kata Yurianto.
Kepala Departamen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko, menuturkan pentingnya transparansi informasi. Pemerintah, menurutnya, perlu menginformasikan kepada daerah perihal riwayat pasien positif.
“Untuk kepentingan publik juga harusnya pemerintah membuka informasi yang justru publik perlu,” kata Miko kepada kumparan.
Apalagi, fasilitas kesehatan di Indonesia amat rentan jika pasien positif corona berangsur meningkat. Dan BIN telah mengeluarkan proyeksi bahwa penyebaran wabah corona akan berlangsung selama 60-80 hari dan bakal mencapai puncaknya pada Lebaran.
“Kalau ribuan kasus, sudah enggak bakal mampu,” tutup Miko.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten