KPAI Kecewa MA Cabut SKB Seragam Sekolah: Atribut Keagamaan Wilayah Individu

7 Mei 2021 21:57 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Komisioner KPAI,  Retno Listyarti di SMPN 147 Ciracas. Foto: Reki Febrian/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Komisioner KPAI, Retno Listyarti di SMPN 147 Ciracas. Foto: Reki Febrian/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tiga menteri menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai seragam sekolah. SKB itu diteken pada Rabu (3/1) oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
ADVERTISEMENT
SKB 3 Menteri berisi tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Namun belakangan, SKB tersebut dibatalkan oleh majelis hakim Mahkamah Agung dalam uji materi. MA mengabulkan uji materiil yang diajukan Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat, M Sayuti Dt. Rajo Penghulu.
MA memerintahkan Mendikbud Nadiem Makarim, Mendagri Tito Karnavian, dan Menag Yaqut Cholil Qoumas untuk mencabut SKB itu. Diketahui SKB itu berisi ketentuan Pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut sekolah negeri dengan kekhususan agama.
Sejumlah siswa mengikuti kegiatan belajar tatap muka di SMPN 1 Pontianak, Kalimantan Barat. Foto: Wahdi Septiawan/ANTARA FOTO
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyayangkan keputusan MA membatalkan SKB 3 Menteri tersebut. KPAI berpandangan, SKB mengenai penggunaan pakaian seragam dan atribut ini perlu didukung dengan sejumlah pertimbangan.
ADVERTISEMENT
KPAI menilai, SKB 3 Menteri tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan hanya berlaku di lingkungan sekolah sudah tepat.
"Karena peserta didik yang bersekolah di sekolah negeri berasal dari berbagai suku maupun agama yang berbeda, sehingga sangat tidak tepat jika di sekolah negeri mengatur ketentuan penggunaan seragam sekolah dengan didasarkan pada agama tertentu," ujar Komisioner KPAI, Retno Listyarti, dalam keterangannya, Jumat (7/5).
Ia mengatakan, penyelenggaraan pendidikan di sekolah negeri yang diselenggarakan pemerintah daerah sudah seharusnya memperkuat nilai kebangsaan, serta tempat untuk menciptakan keragaman.
Sekolah negeri memiliki peran penting dan tanggung jawab dalam menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, keutuhan NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, serta membangun dan memperkuat moderasi beragama dan toleransi atas keragaman agama yang dianut peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Sejumlah siswa mengikuti kegiatan belajar tatap muka hari pertama, di SDN 06 Lapai, Padang, Sumatera Barat, Senin (4/1/2021). Foto: Iggoy el Fitra/ANTARA FOTO
"Pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan merupakan salah satu bentuk perwujudan moderasi beragama dan toleransi atas keragaman agama. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), di mana Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan di sekolah harus demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Mendidik perilaku yang baik kepada anak harus dilakukan dengan cara yang baik dan didasarkan pada kesadaran diri, bukan atas dasar paksaan, termasuk mendidik mengenakan jilbab atau menutup aurat.Kesadaran dibangun melalui proses dialog memberikan pengetahuan, memberikan kebebasan memutuskan dan orang dewasa di sekitar anak memberikan contoh.
Ia menilai, anak perempuan seharusnya diberi kebebasan dalam menentukan apa yang dikenakan. Dalam SKB 3 Menteri ini secara prinsip mengatur bahwa peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara seragam dan atribut dengan atau tanpa kekhususan agama
"Dengan kata lain, hak untuk memakai atribut keagamaan merupakan wilayah individual. Individu yang dimaksud adalah guru, murid, dan orang tua, bukan keputusan sekolah negeri tersebut," kata Retno.
Komisioner bidang pendidikan Retno Listyarti saat konferensi pers tentang KPAI di awal 2019 mencatat banyaknya kasus-kasus anak di bidang pendidikan, Jakarta, Jumat (15/2/2019). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
SKB 3 Menteri ini sudah sesuai dengan HAM dan sejalan dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, di mana ketentuan SKB menjamin bahwa pemda dan sekolah tak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
ADVERTISEMENT
Artinya peserta didik maupun pendidik yang sudah mengenakan jilbab karena kesadaran dan keinginannya sendiri dapat menggunakan jilbab. Bagi yang belum siap mengenakan atau tidak bersedia mengenakan jilbab juga diperbolehkan.
"Ketentuan SKB 3 Menteri yang tidak mewajibkan dan tidak melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama sejalan dengan prinsip 'kepentingan terbaik bagi anak', sebagaimana diamanatkan dalam Konvensi Hak Anak (KHA). Kebijakan ini akan sangat berdampak positif bagi tumbuh kembang anak, terutama anak-anak perempuan, baik secara fisik maupun mental," jelasnya.

Hasil Pengawasan KPAI

Sejumlah siswa mengenakan masker dan menrapkan jaga jarak soial (social distancing) mengikuti kegiatan belajar tatap muka di Bekasi, Rabu (24/3). Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
Hasil pengawasan KPAI terhadap anak-anak korban menunjukkan bahwa, ada beberapa kasus yang menunjukkan anak-anak perempuan mengalami bullying dalam bentuk kekerasan verbal dan kekerasan psikis karena tidak menggunakan jilbab.
ADVERTISEMENT
"Contohnya kasus seorang siswi di SMAN 1 Sragen, Jawa Tengah yang mengalami perundungan oleh kakak kelasnya lantaran tak berjilbab, baik kekerasan verbal secara langsung maupun cyber bully melalui media social. Korban akhirnya memilih pindah sekolah, karena mengalami trauma," kata Retno.
Lalu ada puluhan kasus anak perempuan yang mengalami gangguan kesehatan mental dan mendapatkan dukungan pemulihan dari psikolog Jabar Masagi, di mana anak-anak perempuan tersebut menjadi tidak percaya diri, bahkan depresi dan hendak melakukan percobaan bunuh diri.
"Puluhan anak-anak tersebut juga mengalami perundungan dari lingkungannya akibat tidak berjilbab, bahkan menjadi cemas karena ada ancaman bahwa kalau dia tidak berjilbab akan menyeret ayahnya dan saudara laki-lakinya ke neraka. Mereka juga tertekan karena dinilai belum dapat hidayah dalam berpakaian dan dianggap bukan wanita baik-baik," ungkap Retno.
ADVERTISEMENT
Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, KPAI mendorong negara dalam hal ini Kemdikbudristek, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri, untuk terus mencari jalan lain demi melindungi anak-anak perempuan Indonesia dari pemaksaan maupun pelarangan mengenakan seragam sekolah dan atribut kekhasan agama di sekolah-sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.
***
Saksikan video menarik di bawah ini: