KPK Bidik Aset Sjamsul Nursalim Terkait Kasus BLBI

11 Juni 2019 11:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sjamsul Nursalim (kanan) saat berjabat tangan dengan Indra Wijaya (Kiri), Eka Tjipta Wijaya, dan Sukamdani Gitosarjono. Foto: AFP/KEMAL JUFRI
zoom-in-whitePerbesar
Sjamsul Nursalim (kanan) saat berjabat tangan dengan Indra Wijaya (Kiri), Eka Tjipta Wijaya, dan Sukamdani Gitosarjono. Foto: AFP/KEMAL JUFRI
ADVERTISEMENT
KPK terus menelusuri sejumlah aset yang dimiliki pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, dan istrinya, Itjih Nursalim. Penelusuran aset itu bagian dari pemulihan aset atas kerugian negara triliunan rupiah yang diduga timbul akibat korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
ADVERTISEMENT
Juru bicara KPK Febri Diansyah menyebut penelusuran aset Sjamsul dan istrinya sudah dilakukan sejak KPK menangani perkara mantan kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung. Syafruddin sudah berstatus terdakwa dalam kasus ini dan sedang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Sementara Sjamsul dan istrinya baru ditetapkan sebagai tersangka.
"Asset tracing sudah mulai dilakukan oleh tim sejak kami memproses satu orang pertama sebagai tersangka. Waktu itu SAT (Syafruddin Arsyad Temenggung) yang kemudian sudah diputus sampai pengadilan tinggi," ujar Febri saat dihubungi, Selasa (11/6).
Untuk memaksimalkan penelusuran aset Sjamsul, KPK membuka kerja sama dengan sejumlah instansi internasional. Hal itu dilakukan mengingat banyak aset milik Sjamsul diduga tersebar di sejumlah tempat di luar negeri.
"Kalau di Indonesia cukup dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia saja. Kalau ada aset di luar negeri, maka kerja sama internasional baik antara institusi Indonesia ataupun institusi di Singapura ataupun kerja sama antar negara itu akan dimaksimalkan sedemikian rupa," ucap Febri.
Juru bicara KPK, Febri Diansyah. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Febri menambahkan, penelusuran aset diperlukan lantaran kerugian negara yang diduga timbul akibat kasus ini terbilang cukup besar, yakni sekitar Rp 4,58 triliun.
"Tapi tentu kebutuhan untuk melakukan asset tracing yang lebih maksimal, maksimal dalam artian sebaran maupun jumlahnya karena dugaan kerugian negara dan dugaan tersangka diperkaya Rp 4,58 triliun itu secara maksimal lebih dilakukan pada proses penyidikan ini," ungkapnya.
Kasus ini bermula pada saat BDNI milik Sjamsul mendapat BLBI sebesar Rp 37 triliun yang terdiri dari fasilitas surat berharga pasar uang khusus, fasilitas saldo debet dan dana talangan valas. Selain itu, BDNI juga disebut menerima BLBI sebesar Rp 5,4 triliun dalam periode setelah 29 Januari 1999 sampai dengan 30 Juni 2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet.
ADVERTISEMENT
Namun kemudian BDNI melakukan penyimpangan dalam penggunaan dana puluhan triliun tersebut. BPPN kemudian menetapkan BDNI sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum.
Untuk menyelesaikan persoalan hukum tersebut BDNI diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcusition Agreement (MSAA).
BDNI yang mengikuti MSAA itu menjaminkan aset berupa piutang petambak sebesar Rp 4,8 triliun. Utang itu ternyata dijamin oleh dua perusahaan yang juga milik Sjamsul, PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Sjamsul menjaminkan hal tersebut sebagai piutang lancar. Namun belakangan diketahui bahwa piutang itu merupakan kredit macet.
Syafruddin dinilai terbukti menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan Sjamsul Nursalim.
ADVERTISEMENT
Setelah dilakukan penghitungan, didapatkan hak tagih utang dari para petambak plasma tersebut hanya sebesar Rp 220 miliar. Meski demikian, sisa utang BDNI yakni sebesar Rp 4,58 triliun belum dibayarkan.
Sementara Syafruddin, yang menjadi Kepala BPPN sejak 22 April 2002, kemudian menandatangani surat yang menjelaskan bahwa Sjamsul sudah menyelesaikan kewajiban PKPS.
Perbuatan Syafruddin tersebut dinilai membuat Sjamsul Nursalim mendapat keuntungan sebesar Rp 4,58 triliun. Hal tersebut pula yang kemudian dihitung sebagai besaran kerugian negara.