KPK Geledah Rumah Dinas Mendes Abdul Halim Iskandar, Sita Uang

10 September 2024 17:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes-PDTT), Abdul Halim Iskandar usai diperiksa KPK sebagai saksi kasus korupsi dana hibah Jawa Timur, di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (22/8/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes-PDTT), Abdul Halim Iskandar usai diperiksa KPK sebagai saksi kasus korupsi dana hibah Jawa Timur, di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (22/8/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
ADVERTISEMENT
KPK menggeledah rumah dinas Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Transmigrasi (Mendes-PDTT), Abdul Halim Iskandar, terkait kasus korupsi dana hibah APBD Pemprov Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Penggeledahan itu dilakukan pada Jumat, 6 September 2024 lalu, di rumah dinas Mendes yang berada di Jakarta Selatan.
"Bahwa pada Jumat tanggal 6 September 2024, Penyidik KPK melakukan kegiatan penggeledahan terhadap salah satu rumah dinas penyelenggara negara berinisial AHI di wilayah Jakarta Selatan," ujar juru bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto, Selasa (10/9).
Dari geledah tersebut, KPK melakukan penyitaan berupa uang tunai dan barang bukti elektronik.
Akan tetapi, Tessa tak membeberkan lebih detail terkait jumlah uang tunai yang disita, termasuk apakah uang yang disita dalam bentuk mata uang rupiah atau mata uang asing.
"Dari penggeledahan tersebut, penyidik melakukan penyitaan berupa uang tunai dan barang bukti elektronik," jelas dia.
Belum ada keterangan dari Abdul Halim mengenai penggeledahan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Abdul Halim sempat diperiksa oleh penyidik KPK pada Kamis (22/8) lalu. Setelah diperiksa selama kurang lebih lima jam, Abdul Halim mengaku telah menjelaskan semua hal yang diketahuinya terkait kasus tersebut.
Sebelum menjabat menteri, kakak Muhaimin Iskandar alias Cak Imin ini pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Jawa Timur (2009-2014) dan Ketua DPRD Jawa Timur (2014-2019).
"Semua sudah saya jelaskan, clear, sudah, terserah pihak penyidik. Jadi, semua sudah saya sampaikan, pertanyaan saya jawab lengkap, tidak ada satu pun yang terlewat," ujar Abdul Halim kepada wartawan seusai diperiksa, di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (22/8) lalu.
Ia pun mengeklaim tak pernah menerima dana pokok pikiran (pokir) APBD Pemprov Jawa Timur.
"Ya [diperiksa dengan kapasitas] pokoknya waktu urusan Jawa Timur lah, ya. Kan bisa waktu Ketua DPRD, bisa setelahnya, macam-macam," kata dia.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes-PDTT), Abdul Halim Iskandar usai diperiksa KPK sebagai saksi kasus korupsi dana hibah Jawa Timur, di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (22/8/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
"Enggak, enggak pernah [terima dana pokir]," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Kasus ini merupakan pengembangan dari perkara mantan Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Simandjuntak. Sahat diduga menerima suap terkait dana hibah untuk kelompok masyarakat. Dana hibah ini dinamai hibah pokok pikiran (pokir).
Kasus ini terkait dana hibah yang bersumber dari APBD Pemprov Jatim. Dalam tahun anggaran 2020 dan 2021, APBD Pemprov Jatim merealisasikan dana belanja hibah dengan jumlah seluruhnya sekitar Rp 7,8 triliun kepada badan, lembaga, organisasi masyarakat di Jatim.
Praktik suap diduga sudah terjadi untuk dana hibah tahun anggaran 2020 dan 2021. Sahat yang merupakan politikus Golkar dan seorang pihak lain bernama Abdul Hamid diduga kemudian bersepakat untuk praktik tahun anggaran 2022 dan 2023.
Sahat sudah menjalani proses sidang dan divonis 9 tahun penjara. Pengembangan kasusnya saat ini tengah diusut.
ADVERTISEMENT
Dalam pengembangan itu, KPK telah menetapkan 21 orang sebagai tersangka. Namun identitasnya belum dibeberkan. Begitu juga konstruksi kasusnya.
Berdasarkan perannya, empat tersangka merupakan penerima. Tiga orang di antaranya merupakan penyelenggara negara. Sementara, satu lainnya adalah staf dari penyelenggara negara.
Sementara, 17 tersangka sisanya berperan sebagai pemberi. Sebanyak 15 orang berasal dari pihak swasta dan dua orang lainnya merupakan penyelenggara negara.