KPK Kembangkan Kasus Suap Edhy Sindoro di MA, Siapa yang Jadi Tersangka?

16 April 2021 16:34 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bendera Merah Putih berkibar di Gedung MA Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Merah Putih berkibar di Gedung MA Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
KPK membuka penyidikan baru dalam kasus dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA) periode 2012-2016. KPK menyebut kasus dugaan suap itu terkait perkara yang melibatkan eks Presiden Komisaris Lippo Group, Eddy Sindoro.
ADVERTISEMENT
"KPK telah menaikkan status penyidikan tindak pidana korupsi berupa dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait pengurusan perkara dari ES (Eddy Sindoro) dkk," kata Plt juru bicara KPK, Ali Fikri, kepada wartawan, Jumat (16/4).
Penyidikan baru tersebut menandakan KPK sudah menetapkan tersangka. Meski demikian Ali belum menjelaskan siapa tersangka dan bagaimana konstruksi perkaranya.
Bila merujuk pada pernyataan Ali, tersangka yang dijerat kemungkinan besar adalah pihak penerima suap. Sesuai kewenangan KPK, maka pihak tersebut merupakan pejabat atau penyelenggara negara.
Penyelenggara negara itu disangka menerima suap terkait perkara Eddy Sindoro. Tak hanya itu, tersangka turut dijerat dengan gratifikasi dan pencucian uang.
"Penerapan TPPU ini karena ada dugaan terjadi perubahan bentuk dan penyamaran dari dugaan hasil tindak pidana korupsi kepada pembelian aset-aset bernilai ekonomis seperti properti maupun aset lainnya," kata Ali.
Nurhadi (tengah) dan Riesky Herbiyono (kanan) usai konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (2/6). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Siapa Tersangka yang Dimaksud?

KPK memang belum mengumumkan siapa tersangka perkara tersebut. Tetapi pada akhir 2018 lalu, KPK pernah menyampaikan tengah mengusut dugaan keterlibatan Sekretaris MA periode 2011-2016, Nurhadi Abdurachman, di kasus Eddy Sindoro.
ADVERTISEMENT
Eddy Sindoro ketika itu merupakan tersangka kasus penyuapan Edy Nasution selaku Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebesar Rp 877 juta. Suap diberikan terkait pengurusan 2 perkara yang melibatkan anak usaha Lippo Group di PN Jakpus.
Suap pertama terkait pengurusan perkara PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) melawan PT Kwang Yang Motor (PT Kymco). PT MTP diwajibkan membayar ganti rugi USD 11,1 juta kepada Kymco berdasarkan putusan Singapore International Abitration Centre (SIAC) terkait wanprestasi. Namun, PT MTP tak kunjung membayar hingga akhirnya Kymco mendaftarkan gugatan aanmaning di PN Jakpus.
Sidang Eddy Sindoro, mantan Presiden Direktur Lippo Group, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (1/3/2019). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
PT MTP tak hadir dalam setiap persidangan, hingga akhirnya perusahaan itu meminta agar sidang aanmaning ditunda. Untuk menunda sidang tersebut, Eddy Sindoro melalui anak buahnya, Dody Aryanto, menyuap Eddy Nasution sebesar Rp 100 juta.
ADVERTISEMENT
Suap kedua diberikan agar PN Jakarta Pusat mau menerima pendaftaran upaya peninjauan kembali (PK) ke MA dalam perkara niaga yang diajukan PT Across Asia Limited (AAL) pada 15 Februari 2016.
Padahal, batas waktu pengajuan PK sesuai Pasal 295 ayat (2) UU Kepailitan sudah terlewati, yakni selama 180 hari sejak putusan kasasi diterima PT AAL pada 7 Agustus 2015. Untuk itu, Eddy Sindoro melalui Dody Aryanto kembali menyuap Edy Nasution sebesar Rp 50 juta dan USD 50 ribu.
Eddy Sindoro kemudian terbukti menyuap Edy Nasution dan divonis selama 4 tahun penjara.
Terkait suap pengajuan PK PT AAL tersebut, KPK menduga ada keterlibatan Nurhadi. Terlebih Nurhadi dan Eddy Sindoro merupakan teman sejak SMA pada 1975.
Terdakwa kasus dugaan pemberian suap kepada panitera PN Jakarta Pusat Eddy Sindoro bersiap menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
"Kami perlu mendalami hubungan langsung atau tidak langsung saksi (Nurhadi) dengan tersangka dalam konteks kasus ini," ujar jubir KPK saat itu, Febri Diansyah.
ADVERTISEMENT
"Apa yang diketahui dan apa yang pernah dilakukan Nurhadi saat masih menjabat dulu tentu menjadi perhatian kami," lanjut Febri.
Dugaan keterlibatan Nurhadi sebelumnya sudah mencuat setelah penyidik KPK sempat menggeledah kediamannya.
Dari penggeledahan di rumah Nurhadi, penyidik menyita uang senilai Rp 1,7 miliar yang diduga masih ada kaitannya dengan kasus penyuapan Edy Nasution. Bahkan, KPK menduga ada upaya menghilangkan dokumen terkait perkara. Diduga, dokumen tersebut bahkan sempat disobek dan dibuang ke kloset toilet.
Namun ketika itu, Nurhadi sudah menampik keterlibatannya dalam kasus Eddy Sindoro. Uang yang disita KPK disebutnya sebagai uang pribadi, tak terkait kasus.
Tersangka kasus dugaan suap gratifikasi senilai Rp46 miliar Nurhadi bersiap untuk menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (30/7). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO

Nurhadi Pernah Dicurhati Eddy Sindoro

Saat kasus Eddy Sindoro disidang, Nurhadi turut dihadirkan sebagai saksi. Dalam kesaksiannya, Nurhadi mengakui pernah menghubungi Edy Nasution. Nurhadi menghubungi Edy Nasution setelah Eddy Sindoro curhat kepadanya terkait suatu penanganan perkara.
ADVERTISEMENT
"Pernah saya telepon (Edy) sekali, tapi konteksnya adalah masih kaitan tugas dan kewenangan saya. Saat itu teman saya Pak Eddy, saya lupa kapan dan di mana, pernah curhat ke saya, ini saya dapat laporan case, sudah satu tahun enggak dikirim-kirim," kata Nurhadi saat jadi saksi di sidang pada 21 Januari 2019.
Namun dalam persidangan, Nurhadi mengaku tidak ingat perkara yang menjadi curhatan Eddy Sindoro kepadanya. "Tidak ingat (perkaranya) tapi saya telepon, saya telepon kenapa sudah satu tahun lebih tidak dikirim-kirim," tegas Nurhadi.
Sedangkan berdasarkan dakwaan Eddy Sindoro, Nurhadi disebut menghubungi Edy terkait pendaftaran PK ke MA yang diajukan PT AAL pada 15 Februari 2016. Nurhadi disebut menghubungi Edy agar berkas PK PT AAL yang diurus Eddy Sindoro segera dilimpahkan ke MA.
Tersangka kasus dugaan suap gratifikasi senilai Rp46 miliar, Nurhadi (kanan) bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (19/6). Foto: Nova Wahyudi/Antara Foto
Nurhadi menuturkan menghubungi Edy untuk mengingatkan suatu perkara sebagai salah satu tugas dan fungsinya selaku Sekretaris MA. Ia mengaku sering mendapatkan keluhan tersebut dari banyak orang, baik saat sedang menjalankan tugas di waktu kerja maupun di luar jam kerja.
ADVERTISEMENT
Nurhadi juga mengungkapkan hanya saat Eddy Sindoro curhat kemudian ia mengubungi Edy Nasution. Tetapi Nurhadi membantah ikut mengintervensi penanganan perkara PT AAL.
"Di situ (saat telepon Edy Nasution) tidak ada kata-kata tolonglah, kecuali saya minta tolong ditahan dulu atau dicepetin nanti ada itunya, bahasa saya tidak seperti itu, saya sesuai fungsi pembinaan dan pengawasan," klaim Nurhadi.

Kata Pengacara Nurhadi soal KPK Buka Penyidikan Baru

ADVERTISEMENT
Langkah KPK yang membuka penyidikan baru tersebut diduga mengarah kepada Nurhadi.
Meski demikian pengacara Nurhadi, Maqdir Ismail, belum bisa memastikan apakah kliennya merupakan tersangka dalam perkara itu.
Maqdir mengaku belum mendapat salinan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari KPK yang menyatakan Nurhadi sebagai tersangka kasus pengurusan perkara Eddy Sindoro.
ADVERTISEMENT
"Secara resmi kami belum tahu (apakah Nurhadi tersangka). Belum pernah lihat SPDP," ucapnya.
Tim Hukum PDIP, Maqdir Ismail saat diskusi "Ada Apa Di Balik Kasus Wahyu?" di Warung Komando, Jakarta, Minggu (19/1). Foto: Helmi Afandi/kumparan
Terkait tersangka, KPK baru akan mengumumkannya ketika proses penyidikan dinilai cukup. "KPK akan menginformasikan pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun demikian kami memastikan setiap perkembangan mengenai kegiatan penyidikan perkara ini akan selalu sampaikan kepada masyarakat," kata Ali Fikri.
Sebelumnya, Nurhadi telah dijerat KPK dalam kasus suap dan gratifikasi pengurusan sejumlah perkara di MA. Ia kemudian divonis bersama menantunya Rezky Herbiyono selama masing-masing 6 tahun penjara.
Nurhadi dinilai terbukti menerima suap senilai Rp 35.726.955.000 dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT), Hiendra Soenjoto. Suap diberikan melalui Rezky .
Suap itu terkait 2 perkara, yakni mengupayakan pengurusan perkara antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) terkait perjanjian sewa menyewa depo container milik PT KBN seluas 57.330 m2 dan 26.800 m2 di Cilincing, Jakarta Utara, serta terkait gugatan antara Hiendra Soenjoto melawan Azhar Umar.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Nurhadi dinilai terbukti menerima gratifikasi saat menjabat Sekretaris MA selama kurun 2014-2016. Dalam jabatannya, ia memiliki sejumlah kewenangan yang diduga disalahgunakan.
Tersangka kasus dugaan suap gratifikasi senilai Rp 46 miliar Rezky Herbiyono bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (17/9). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
Nurhadi disebut menerima gratifikasi melalui Rezky dari para pihak yang berperkara di pengadilan. Perkara itu mulai dari pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, hingga peninjauan kembali (PK).
Uang itu diterima dari Handoko Sutjitro; Renny Susetyo Wardani; Direktur PT Multi Bangun Sarana, Donny Gunawan; dan Riady Waluyo. Jumlahnya mencapai Rp 13.787.000.000.
Sehingga total uang yang diterima Nurhadi dan Rezky sebesar Rp 49.513.955.000. Hakim tidak mewajibkan Nurhadi dan Rezky mengembalikan uang itu ke negara karena suap dan gratifikasi yang diterima bukan uang negara.
Namun KPK langsung banding atas vonis tersebut. Sebab hukuman itu jauh dari tuntutan jaksa KPK selama 12 tahun penjara. Selain itu, KPK memprotes putusan hakim yang tak mewajibkan Nurhadi dan Rezky membayar uang pengganti ke negara.
ADVERTISEMENT
KPK meminta Nurhadi dan Rezky membayar uang pengganti yang jumlahnya mencapai Rp 83 miliar.