news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

KPK: Kerugian Negara dalam Kasus BLBI Capai Rp 4,58 Triliun

10 Juni 2019 17:58 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gedung Baru KPK Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Baru KPK Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
ADVERTISEMENT
KPK menyematkan status tersangka kepada pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, dan istrinya, Itjih, dalam skandal dugaan korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Keduanya diduga turut diperkaya atas penyalahgunaan dana BLBI hingga merugikan keuangan negara.
ADVERTISEMENT
"Diduga kerugian keuangan negara yang terjadi adalah sebesar Rp 4,58 Triliun," ujar Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam konferensi pers di Gedung KPK, Senin (10/6).
Hasil ini sesuai dengan laporan audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Per Oktober 2018, audit BPK menyebut bahwa kerugian negara dalam kasus ini mencapai angka Rp 4,58 triliun.
Saat itu, BPK menemukan indikasi kerugian negara akibat BLBI memiliki selisih sebesar Rp 220 miliar dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebesar Rp 4,8 triliun.
"Dikarenakan tersangka SJN (Sjamsul) diduga sebagai pihak yang diperkaya Rp 4,58 triliun dalam kasus korupsi ini, maka KPK akan memaksimalkan upaya asset recovery agar uang yang dikorupsi dapat kembali kepada masyarakat melalui mekanisme keuangan negara," tutur Syarif.
ADVERTISEMENT
Kasus ini bermula saat BDNI milik Sjamsul mendapat dana BLBI sebesar Rp 37 triliun pada krisis tahun 1998. BDNI, sebagai salah satu obligor, juga menerima bantuan lainnya sebesar Rp 5,4 triliun dalam periode setelah 29 Januari 1999-30 Juni 2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet.
Namun dalam perkembangannya, BDNI diduga menyalahgunakan dana puluhan triliun tersebut. BPPN kemudian menetapkan BDNI sebagai bank yang melanggar hukum dan diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcusition Agreement (MSAA).
BDNI yang mengikuti MSAA itu menjaminkan aset berupa piutang petambak sebesar Rp 4,8 triliun. Utang itu ternyata dijamin oleh dua perusahaan yang juga milik Sjamsul, PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira sebagai piutang lancar. Namun belakangan diketahui bahwa piutang itu merupakan kredit macet.
ADVERTISEMENT
Syafruddin yang kala itu menjadi Ketua BPPN dinilai terbukti menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira.
Setelah dilakukan penghitungan, didapatkan hak tagih utang dari para petambak plasma tersebut hanya sebesar Rp 220 miliar. Meski demikian, sisa utang BDNI yakni sebesar Rp 4,58 triliun belum dibayarkan.
Syafruddin kemudian malah menandatangani surat yang menjelaskan bahwa Sjamsul sudah menyelesaikan kewajiban PKPS.
Terdakwa kasus dugaan korupsi Syafruddin Arsyad Temenggung menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (24/9). Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Perbuatan Syafruddin tersebut dinilai membuat Sjamsul Nursalim mendapat keuntungan sebesar Rp 4,58 triliun. Hal tersebut pula yang kemudian dihitung sebagai besaran kerugian negara.
Syafruddin sudah menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia dinyatakan bersalah dan dihukum 13 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Hukumannya diperberat di tahap banding menjadi 15 tahun penjara dan sedang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Atas perbuatannya, Sjamsul dan Itjih disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat ke 2 ke (1) KUHP.