KPK Sebut Direksi BUMN Masih Penyelenggara Negara Meski ada UU Baru

7 Mei 2025 18:53 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi KPK. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPK. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menegaskan bahwa KPK tetap berwenang menangani kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan direksi-komisaris BUMN. Meski direksi-komisaris BUMN disebut bukan penyelenggara negara dalam Pasal 9G Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN.
ADVERTISEMENT
Ia menyampaikan hal itu karena menurut KPK, direksi-komisaris BUMN masih merupakan penyelenggara negara di dalam Undang-Undang lainnya.
“Ketentuan tersebut kontradiktif dengan ruang lingkup Penyelenggara Negara yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 2 angka 7 beserta Penjelasannya dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN),” kata Setyo melalui keterangan, Rabu (7/5).
“Keberadaan UU Nomor 28 Tahun 1999 merupakan hukum administrasi khusus berkenaan dengan pengaturan Penyelenggara Negara yang memang bertujuan untuk mengurangi adanya KKN. Maka sangat beralasan jika dalam konteks penegakan hukum tindak pidana korupsi berkenaan dengan ketentuan Penyelenggara Negara, KPK berpedoman pada UU Nomor 28 Tahun 1999,” sambung dia.
ADVERTISEMENT
Setyo juga menyorot isi Pasal 9G UU BUMN itu yang menyebut bahwa 'Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara'.
“Ketentuan demikian dapat dimaknai bahwa status Penyelenggara Negara tidak akan hilang ketika seseorang menjadi pengurus BUMN,” ucap Setyo.
"KPK berkesimpulan bahwa Anggota Direksi/Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN tetap merupakan Penyelenggara Negara sesuai UU Nomor 28 Tahun 1999,” sambungnya.
Setyo pun mengatakan bahwa direksi-komisaris BUMN masih wajib melaporkan LHKPN serta penerimaan gratifikasi.
Lebih lanjut, Setyo juga memberikan pandangan KPK terhadap Pasal 4B UU BUMN yang menyebut kerugian BUMN bukan kerugian negara.
Ilustrasi Gedung Kementerian BUMN. Foto: Shutterstock
“Putusan MK Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Nomor 62/PUU-XI/2013, yang kemudian dikuatkan dengan Putusan MK Nomor 59/PUU-XVI/2018 dan Nomor 26/PUU-XIX/2021, menjadi acuan dan telah menjadi akhir dari polemik kekayaan negara yang dipisahkan,” ucap dia.
ADVERTISEMENT
“Telah diputuskan oleh Majelis Hakim MK bahwa konstitusionalitas keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan bagian dari keuangan negara, termasuk dalam hal ini BUMN yang merupakan derivasi penguasaan negara. Sehingga, segala pengaturan di bawah UUD tidak boleh menyimpang dari tafsir konstitusi MK,” sambung dia.
KPK pun menyimpulkan bahwa kerugian BUMN merupakan kerugian negara yang bisa dibebankan tanggung jawabnya secara pidana kepada direksi-komisaris.
“Hal ini dapat dilakukan sepanjang kerugian keuangan negara yang terjadi di BUMN diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, atau penyimpangan atas prinsip Business Judgment Rule (BJR) vide Pasal 3Y dan 9F UU No. 1 Tahun 2025,” tutur Setyo.
“Misalnya karena adanya fraud, suap, tidak dilakukan dengan itikad baik, terdapat konflik kepentingan, kelalaian dalam mencegah timbulnya kerugian negara yang dilakukan oleh Direksi/Komisaris/Pengawas BUMN,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
Intinya, KPK berpandangan bahwa direksi-komisaris BUMN merupakan penyelenggara negara dan kerugian BUMN merupakan kerugian negara.
“Hal ini juga sejalan dengan Pasal 11 ayat (1) huruf a dan b UU 19/2019 tentang KPK, serta Putusan MK Nomor 62/PUU-XVII/2019, di mana kata “dan/atau” dalam pasal tersebut dapat diartikan secara kumulatif maupun alternatif,” jelas Setyo.
“Artinya, KPK dapat menangani kasus korupsi di BUMN jika ada penyelenggara negara, ada kerugian keuangan negara, atau keduanya,” tandasnya.