KPK Soroti Suami Istri Jadi Bupati dan Ketua DPRD: APBD Selesai di Tempat Tidur

24 November 2020 19:50 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Alexander Marwata, Komisioner KPK di Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Kementerian Sekretariat Negara. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Alexander Marwata, Komisioner KPK di Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Kementerian Sekretariat Negara. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, bicara mengenai dampak adanya hubungan keluarga di pemerintahan daerah. Alex mengatakan, komposisi pemda apabila seperti itu, dapat mengurangi independensi dan pengawasan kinerja.
ADVERTISEMENT
Alex lantas menyinggung kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kutai Timur pada awal 2020. Saat itu, KPK menangkap Bupati Kutai Timur, Ismunandar, dan istrinya yang merupakan Ketua DPRD Kutai Timur, Encek UR Firgasih.
Keduanya diciduk KPK karena diduga menerima suap pengurusan proyek di Kutai Timur. Ismunandar dan istri diduga menerima suap hingga miliaran rupiah dari pihak swasta yang mendapat proyek di Kutai Timur.
"Ini OTT awal tahun bapak ibu sekalian, Bupati (dan) Ketua DPRD, bapak ibu pasti sudah tahu. Bupati dan Ketua DPRD-nya itu suami istri, Bapak Ibu sekalian. Jadi apa yang Bapak Ibu bayangkan ketika hal itu terjadi? APBD mungkin selesai di tempat tidur pembahasannya," kata Alex dalam 'Webinar Pembekalan Cakada Provinsi Jambi, Jawa Tengah, Maluku dan Sulawesi Tenggara', yang ditayangkan di YouTube Kanal KPK, Selasa (24/11).
ADVERTISEMENT
Praktik macam itu disorot KPK. Sebab, meski aturan tidak ada aturan yang melarang, tetapi hal tersebut menghilangkan fungsi kontrol dari DPRD ke Pemda. Salah satu fungsi dari legislatif (DPRD) adalah melakukan kontrol kepada eksekutif (Pemda).
"Saya sungguh tidak berharap sebetulnya, meskipun peraturan itu membolehkan, itu terjadi, enggak ada mekanisme kontrol kalau seperti ini, sama sekali enggak berjalan pengawasan oleh DPRD," kata Alex.
Ilustrasi KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
"Saya sebetulnya berharap malah ada larangan ketika ada kepala daerah itu dia juga mempunyai hubungan keluarga. Jangankan dengan ketua DPRD, dengan anggota DPRD saja seharusnya tidak boleh," sambung dia.
Alex mengatakan, hubungan macam ini menjadikan fungsi pengawasan tak berjalan. Terlebih dalam kinerjanya nanti, tak menutup kemungkinan adanya konflik kepentingan.
ADVERTISEMENT
"Saya berharap Mendagri itu ada peraturan, entah itu peraturan Menteri Dalam Negeri, Peraturan Pemerintah atau bahkan kalau perlu Undang-Undang secara tegas menyatakan enggak boleh," ungkapnya.
Hal yang sama ditujukan kepada calon kepala daerah yang memaksakan anggota keluarganya menggantikan posisinya usai dua periode memimpin. Alex menilai dinasti politik macam ini, seperti hal yang lazim di Indonesia.
"Rasa-rasanya sudah menjadi kelaziman atau kebiasaan, yang ganti istrinya, atau suaminya, atau anaknya, atau yang lain. Ketika itu terjadi, enggak ada proses untuk melakukan evaluasi terhadap kepemimpinan sebelumnya," kata Alex.
"Karena apa, begitu dievaluasi, maka akan membuka borok-borok ya suaminya, istrinya, orangtuanya. Harus ada jeda paling tidak satu periode tidak boleh, supaya apa? supaya kepemimpinan berikutnya itu ketika melakukan evaluasi dia tahu apa yang terjadi saat periode atau dua periode sebelumnya," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Alex menilai pemberian jeda kepada anggota keluarga maju meneruskan estafet kepemimpinan daerah bisa menjadi solusi untuk memperkuat pengawasan. Ia berharap mekanisme macam itu bisa dibangun dan diterapkan untuk memperbaiki kinerja pemerintah daerah.
"Rasa-rasanya perlu ada pengaturan seperti itu, memotong mata rantai, kalau pemerintahan sebelumnya itu tidak dilakukan dengan baik. Harapannya seperti itu, mekanisme yang harus kita bangun," pungkasnya.