KPK Tahan 2 Orang Tersangka Kasus Korupsi PT Jasindo, Rugikan Negara Rp 38 M

27 Agustus 2024 21:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Konferensi pers penahanan 2 tersangka kasus korupsi PT Jasindo di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (27/8/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Konferensi pers penahanan 2 tersangka kasus korupsi PT Jasindo di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (27/8/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
ADVERTISEMENT
KPK telah menahan dua tersangka terkait kasus dugaan korupsi pembayaran komisi agen dari PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) Persero kepada PT Mitra Bina Selaras tahun 2017–2020, pada Selasa (27/8).
ADVERTISEMENT
Dua orang tersangka tersebut yakni SHT alias Sahata Lumban Tobing dan TSP alias Toras Sotarduga Panggabean. Keduanya pun ditahan sejak 27 Agustus 2024 hingga 15 September 2024 mendatang.
"Berdasarkan kecukupan alat bukti, penyidik melakukan penahan terhadap tersangka SHT dan tersangka TSP selama 20 hari ke depan yang terhitung sejak tanggal 27 Agustus 2024 sampai dengan 15 September 2024," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (27/8).
Alex mengungkapkan bahwa Sahata merupakan Direktur Operasi Ritel PT Jasindo 2013–2018, yang kemudian berubah nama jabatan menjadi Direktur Operasi dan Ritel PT Jasindo 2018–2019. Lalu, berubah nama lagi menjadi Direktur Pengembangan Bisnis PT Jasindo 2019–2020.
Sementara itu, Toras merupakan pemilik dan pengendali PT Mitra Bina Selaras.
Konferensi pers penahanan 2 tersangka kasus korupsi PT Jasindo di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (27/8/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
Alex menyebut, perbuatan kedua tersangka secara bersama-sama telah mengambil manfaat dari pembayaran komisi agen yang dibayarkan oleh PT Jasindo kepada PT Mitra Bina Selaras yang kemudian menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 38 miliar.
ADVERTISEMENT
Alex mengungkapkan bahwa perkara tersebut dimulai pada 2016. Saat itu, Divisi Pemasaran dan Perbankan yang merupakan salah satu divisi di bawah Direktorat Operasi Ritel PT Jasindo, mencoba penjajakan kerja sama penutupan asuransi dengan pihak perbankan yang salah satunya adalah Bank Mandiri.
"Dari penjajakan tersebut, Bank Mandiri mensyaratkan adanya pembayaran Fee Based Income sebagai komisi kepada Bank Mandiri karena telah memasarkan dan menggunakan produk asuransi PT Jasindo," ungkap Alex.
Kemudian, tersangka Sahata bertemu dengan tersangka Toras dalam sebuah reuni sekolah. Dalam reuni itu, keduanya saling menyampaikan pekerjaan masing-masing.
Saat itu, Sahata menyampaikan kepada Toras, yang merupakan pemilik koperasi simpan pinjam (KSP) Dana Karya, bahwa ada peluang kerja sama dengan PT Jasindo. Namun, memerlukan dana yang besar.
ADVERTISEMENT
Usai perbincangan itu, berbagai pertemuan-pertemuan lainnya kemudian terjadi dari rentang 2016 hingga awal 2017. Alex menerangkan bahwa sejumlah pertemuan tersebut turut dihadiri juga oleh beberapa pegawai PT Jasindo yang merupakan bawahan dari tersangka Sahata dan beberapa pegawai yang bekerja di KSP Dana Karya.
Ilustrasi KPK. Foto: Hedi/kumparan
Pertemuan itu, lanjutnya, pada pokoknya membahas bahwa PT Jasindo sedang melakukan penjajakan kerja sama dengan pihak perbankan namun mensyaratkan pemberian Fee Based Income sedangkan PT Jasindo memiliki kelemahan dalam sistem pengajuan pembayaran Fee Based Income.
"Dari pembicaraan tersebut, tersangka SHT mengajak tersangka TSP bekerjasama untuk memberikan sejumlah dana untuk membayarkan atau menalangi terlebih dahulu kewajiban Fee Based Income dan akan dikembalikan melalui mekanisme pembayaran komisi agen termasuk dengan keuntungannya," ucap Alex.
ADVERTISEMENT
Dari pembicaraan itu, sambung Alex, kedua tersangka pun sepakat untuk saling bekerja sama.
Alex juga menyebut bahwa pertemuan itu juga membahas tentang pendirian suatu perusahaan agen asuransi yang akan didirikan oleh tersangka Toras yang selanjutnya akan didaftarkan menjadi agen.
Setelah terdaftar menjadi agen PT Jasindo, tersangka Sahata menyampaikan akan memperluas keagenan perusahaan tersebut di kantor-kantor cabang lainnya.
Mengenai pengembalian dana talangan yang telah diberikan oleh tersangka Toras, disepakati bahwa dia akan mendapatkan bagian sebesar 10 persen dari total komisi agen yang akan dibayarkan melalui perusahaan agen asuransi yang didirikan.
Untuk sisanya sebesar 90 persen, akan diberikan kepada kantor cabang yang nantinya akan dipergunakan yang salah satunya untuk kepentingan tersangka Sahata.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pada 21 Februari 2017, tersangka Toras mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang usaha penunjang asuransi bernama PT Mitra Bina Selaras.
Namun, dalam akta pendiriannya, Toras tidak masuk sebagai pengurus maupun pemegang saham. Toras justru menggunakan para keponakannya sebagai pemegang saham dan pegawai KSP Dana Karya di berbagai posisi penting.
Setelah PT Mitra Bina Selaras ditunjuk dan diperluas sebagai agen PT Jasindo, selanjutnya beberapa kepala cabang PT Jasindo membuat polis asuransi dengan kode akuisisi penggunaan agen dengan agen PT Mitra Bina Selaras sehingga seolah-olah penutupan asuransi tersebut diperoleh atas prestasi pemasaran produk asuransi yang dilakukan oleh PT Mitra Bina Selaras.
Lalu, secara periodik, kantor cabang merekapitulasi seluruh penutupan asuransi yang menggunakan kode akuisisi agen PT Mitra Bina Selaras untuk menghitung berapa besaran komisi agen yang akan diajukan ke kantor pusat.
ADVERTISEMENT
"Data tersebut kemudian dikirimkan oleh masing-masing kantor cabang ke PT Mitra Bina Selaras untuk dibuatkan surat permohonan pembayaran dengan menambahkan kop surat dan tandatangan sehingga seolah-olah PT Mitra Bina Selaras mengajukan pembayaran komisi agen atas prestasi yang telah dilakukan," tutur Alex.
Lebih lanjut, Alex membeberkan bahwa PT Mitra Bina Selaras sejak didirikan hingga menerima komisi agen tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai dengan Peraturan OJK.
Perkara tersebut akhirnya terdeteksi oleh KPK hingga kemudian dilakukan penyidikan yang berujung dengan ditetapkannya Sahata dan Toras sebagai tersangka.
Perbuatan keduanya mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 38 miliar dan disangkakan melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
ADVERTISEMENT