KPK Tahan 2 Tersangka Dugaan Korupsi Pengadaan APD yang Rugikan Negara Rp 319 M

3 Oktober 2024 19:26 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Konferensi pers penahanan 2 tersangka kasus pengadaan APD di KPK, Kamis (3/10/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Konferensi pers penahanan 2 tersangka kasus pengadaan APD di KPK, Kamis (3/10/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
ADVERTISEMENT
KPK melakukan penahanan terhadap dua orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) pada Kementerian Kesehatan dengan sumber dana dari Dana Siap Pakai (DSP) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Dalam perkara ini, Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu menyampaikan bahwa komisi antirasuah telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka.
Ketiga orang tersangka itu yakni Dirut PT Permana Putra Mandiri Ahmad Taufik, eks Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Budi Sylvana, dan Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia Satrio Wibowo.
KPK selanjutnya melakukan penahanan kepada dua orang tersangka, yakni terhadap Budi dan Satrio. Untuk Budi, penahanan dilakukan di Rutan Cabang KPK Gedung ACLC. Sementara, Satrio ditahan di Rutan Cabang KPK Gedung Merah Putih.
Untuk tersangka lainnya, yakni Ahmad, belum dilakukan penahanan lantaran yang bersangkutan masih dalam tahap pemulihan.
"Penahanan untuk 20 hari pertama, terhitung sejak tanggal 3 Oktober sampai 22 Oktober 2024," ujar Asep dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (3/10).
ADVERTISEMENT

Konstruksi Perkara

Kasus ini bermula pada Maret 2020. Awalnya, Dirut PT Yonsin Jaya, Shin Dong Keun, menunjuk PT Permana Putra Mandiri sebagai distributor resmi APD selama 2 tahun. Namun, PT GA Indonesia selaku produsen APD juga menunjuk PT Permana Putra Mandiri sebagai distributor resmi APD selama 2 tahun.
Selanjutnya, pada 20 Maret 2020, Kementerian Kesehatan melalui Pusat Krisis Kesehatan pada awal COVID-19 membeli APD sebanyak 10.000 pcs dari PT Permana Putra Mandiri dengan harga Rp 379.500/set. Keesokan harinya, TNI atas perintah Kepala BNPB pada saat itu, mengambil APD dari produsen APD milik PT Permana Putra Mandiri di Kawasan Berikat.
Distribusi APD pun langsung dilakukan ke 10 provinsi. Akan tetapi, kegiatan distribusi itu justru tidak dilengkapi dokumentasi, bukti pendukung, dan surat pemesanan.
ADVERTISEMENT
Lalu, pada 22 Maret 2020, Shin bersama Satrio menandatangani kontrak kesepakatan sebagai authorized seller APD sebanyak 500 ribu set dengan nilai tergantung nilai tukar dolar saat pemesanan.
Sehari kemudian, PT Permana Putra Mandiri dan PT Energi Kita Indonesia menandatangani kontrak kerja sama distribusi APD dengan margin 18,5 persen diberikan kepada PT Permana Putra Mandiri.
Rapat kemudian dilakukan pada 24 Maret 2020. Saat itu, Harmensyah selaku Kuasa Pengguna Anggaran BNPB melakukan negosiasi harga APD dengan Satrio. Negosiasi dilakukan agar harga APD diturunkan dari USD 60 menjadi USD 50.
Konferensi pers penahanan 2 tersangka kasus pengadaan APD di KPK, Kamis (3/10/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
Asep menyebut, penawaran itu justru tidak mengacu pada harga APD dengan merek yang sama yang dibeli oleh Kemenkes sebelumnya, yaitu senilai Rp 370.000. Dalam rapat itu, juga disimpulkan PT Permana Putra Mandiri akan menagih pembayaran atas 170 ribu set APD yang didistribusikan TNI dengan harga USD 50/set (sekitar Rp 700.000).
ADVERTISEMENT
PT Energi Kita Indonesia dan PT Yonsin Jaya kemudian melakukan pemesanan 500 ribu set APD dengan menyerahkan giro senilai Rp 113 miliar bertanggal 30 Maret 2020. Dokumen kepabeanan dan dokumen lain sengaja menggunakan data PT Permana Putra Mandiri karena PT Energi Kita Indonesia tidak mempunyai izin penyaluran alat kesehatan, tidak memiliki gudang, dan Non PKP (Pengusaha Kena Pajak).
Pada 27 Maret 2020, Satrio kemudian menghubungi Kepala BNPB saat itu. Komunikasi itu untuk meminta segera dilakukan pembayaran terhadap 170 ribu APD yang diambil TNI, dan meminta diberikan SPK dari BNPB agar sesuai dengan pengamanan raw material dari Korea.
Dua kali pembayaran pun dilakukan. Pertama, sebesar Rp 10 miliar yang dikirim dari Bendahara BNPB kepada rekening BNI milik PT Permana Putra Mandiri pada 27 Maret 2020. Padahal, saat itu belum ada kontrak ataupun surat pesanan. Kedua, dilakukan pembayaran sebesar Rp 109 miliar pada keesokan harinya dari PPK Puskris Kemenkes kepada rekening BNI PT Permana Putra Mandiri.
ADVERTISEMENT

SK Dibuat 'Backdate'

Di sisi lain, Harmensyah baru menunjuk Budi sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk pengadaan APD di Kementerian Kesehatan RI pada 28 Maret 2020. Sedangkan Surat Keputusan Penunjukan tersebut dibuat backdate tertanggal 27 Maret 2020.
Surat pesanan APD pun diterbitkan dari Kemenkes kepada PT Permana Putra Mandiri sejumlah 5 juta set dengan harga satuan USD 48,4 yang juga ditandatangani oleh Budi, Ahmad, dan Satrio.
Padahal, kata Asep, dalam surat tersebut tidak terdapat spesifikasi pekerjaan, waktu pelaksanaan pekerjaan, pembayaran, serta hak dan kewajiban para pihak secara terperinci. Selain itu, surat pemesanan tersebut ditujukan kepada PT Permana Putra Mandiri. Akan tetapi, PT Energi Kita Indonesia turut menandatangani surat tersebut.
Lalu, pada 15 April 2020, Kemenkes memberikan Surat Pemberitahuan kepada Direktur PT Permana Putra Mandiri bahwa sampai tanggal tersebut, PT Permana Putra Mandiri telah mengirimkan APD sebanyak 790 ribu set dari total 5 juta set APD yang sudah dipesan.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya, pada 7 Mei 2020 dilakukan negosiasi ulang harga, dan disepakati beberapa poin, yakni:
"Atas pengadaan tersebut, Audit BPKP menyatakan telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 319.691.374.183,06," tutur Asep.
Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.