Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Kasus korupsi e-KTP masih terus bergulir di KPK . Masih ada sejumlah tersangka yang sedang diproses oleh penyidik.
ADVERTISEMENT
Terbaru, ada dua tersangka yang ditahan oleh KPK. Mereka ialah Isnu Edhi Wijaya selaku Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI dan Ketua Konsorsium PNRI dan Husni Fahmi selaku Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik, PNS BPPT.
"Untuk kepentingan penyidikan, tersangka ISE dan HSF dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama," kata Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dalam konferensi pers, Kamis (3/2).
Keduanya dijerat sebagai tersangka sejak Agustus 2019. Pada saat itu, ada dua tersangka lain yang turut dijerat yakni Paulus Tannos selaku Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra dan Miryam S. Haryani selaku Anggota DPR RI fraksi Hanura periode 2014-2019.
Paulus Tannos diduga berada di Singapura. Sementara Miryam merupakan terpidana kasus memberikan keterangan tidak benar dalam sidang e-KTP. Miryam dihukum 5 tahun penjara dan sudah ditahan sejak Mei 2017.
ADVERTISEMENT
Terkait kasus ini, KPK sebelumnya sudah menjerat 8 orang yang sudah menjalani sidang dan divonis bersalah oleh pengadilan. Termasuk di antara dua eks pejabat Kemendagri, Irman dan Sugiharto; hingga politikus DPR seperti Setya Novanto dan Markus Nari.
Peran Dua Tersangka Kasus e-KTP
Pada Februari 2011, terjadi pertemuan antara Andi Agustinus alias Andi Narogong bersama Isnu dengan Irman dan Sugiharto. Pertemuan membahas soal konsorsium yang dapat memenangkan proyek e-KTP.
Irman menyetujui dengan meminta komitmen pemberian uang untuk anggota DPR.
Isnu bersama Paulus Tannos dan sejumlah vendor kemudian membentuk Konsorsium PNRI yang ikut lelang. Anang Sugiana selaku pemilik PT Quadra Solution pun menemui Isnu karena ingin ikut proyek e-KTP.
Anang bersedia bergabung dalam Konsorsium PNRI dengan menyanggupi adanya fee 5 persen untuk DPR dan 5 persen untuk Kemendagri.
ADVERTISEMENT
Secara terpisah, Isnu sempat menemui Husni Fahmi membahas soal teknologi untuk e-KTP. Sebab, BPPT pernah melakukan uji petik pada 2009.
Isnu juga bertemu dengan Andi Narogong, Johannes Marliem, dan Paulus Tannos membahas pemenangan Konsorsium PNRI. Sekaligus membahas skema pembagian beban fee untuk anggota DPR dan pejabat Kemendagri.
Disepakati bahwa Perum PNRI yang bertanggung jawab memberikan fee kepada Irman dan stafnya.
dalam rentang April-Juni 2011, terjadi sejumlah pertemuan yang membahas soal harga barang serta margin keuntungan yang diharapkan dari proyek e-KTP. Hal itu agar bisa ditentukan harga penawaran dalam lelang.
Konsorsium PNRI mengajukan penawaran dengan nilai sekitar Rp 5,8 triliun. Sugiharto yang kemudian menunjuk Konsorsium PNRI menjadi pelaksana proyek e-KTP 2011-2012.
ADVERTISEMENT
Isnu kemudian membentuk manajemen bersama dan membagi pekerjaan kepada anggota konsorsium. Ia juga mengusulkan setiap pembayaran dari Kemendagri akan dipotong 2-3 persen untuk kepentingan manajemen bersama. Padahal, komponen itu tidak ada dalam rincian penawaran.
Hasil pemotongan itu digunakan untuk membiayai hal-hal di luar penawaran. Serta untuk operasional manajemen bersama.
Untuk pelaksanaan pekerjaan, sebagiannya dilakukan sub kontrak tanpa persetujuan Sugiharto. Konsorsium pun tidak dapat memenuhi target minimal pekerjaan sebagaimana kontrak.
Sementara untuk Husni Fahmi, ia disebut turut terlibat dalam sejumlah pertemuan membahas proyek e-KTP. Termasuk dalam pembahasan soal uji petik, biometric, teknologi, dan teknisnya.
Ia bahkan diduga ikut mengubah spesifikasi, Rencana Anggaran Biaya, dan seterusnya dengan tujuan mark up. Husni diberi tugas yang berhubungan dengan vendor dalam hal teknis e-KTP.
ADVERTISEMENT
Dalam satu kesempatan, ia diperintah Irman untuk ke sebuah rumah di Kemang Pratama. Ia ditugaskan membenahi administrasi guna meluluskan konsorsium PNRI. Padahal, ada syarat wajib yang tidak dipenuhi.
"Dalam perkara ini, kerugian keuangan negara kurang lebih sebesar Rp 2,3 triliun," ujar Lili.