KPK Ungkap Potensi Kerugian Negara Kasus LPEI Rp 766 M, Ini Modus Korupsinya

19 Maret 2024 20:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
KPK mengumumkan tengah mengusut kasus dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Kasus ini diduga merugikan negara hingga triliunan rupiah.
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengungkapkan bahwa kasus ini terkait dugaan penyimpangan pemberian kredit modal kerja ekspor oleh LPEI. Salah satu perusahaan yang menerima fasilitas modal kerja ekspor dari LPEI ini adalah PT PE.
Alex memaparkan, PT PE mendapatkan fasilitas kredit modal kerja ekspor sebanyak 3 kali, yakni tahun 2015, 2016, dan 2017. Digunakan untuk mendukung modal kerja PT PE dalam usaha niaga umum BBM.
"Adapun dugaan terjadinya fraud atau kecurangan terkait pemberian fasilitas kredit ekspor ini yakni diduga Komite Pembiayaan dalam memutuskan pembiayaan kepada PT PE mengabaikan security coverage ratio, jaminan kelayakan pembiayaan, dan indikasi ketidakwajaran dalam laporan keuangan inhouse periode Juni 2015 yang dijadikan rujukan memorandum analisa pembiayaan," papar Alex dalam konferensi pers, Selasa (19/3).
ADVERTISEMENT
"Jadi, laporan keuangan PT PE diduga itu tidak mengandung kebenaran, ya. Laporan PT PE dijadikan rujukan dalam analisis pemberian pembiayaan LPEI ke PT PE," lanjutnya.
Alex juga mengungkapkan kondisi laporan keuangan PT PE yang juga berkaitan dalam hal pembayaran fasilitas kredit.
"Terkait kondisi keuangan di mana kondisi laporan keuangan PT PE diabaikan karena tidak sesuai dengan persyaratan financial covenant, di mana current ratio PT PE lebih kecil dari 1 kali, seharusnya minimal satu kali current ratio itu, rasio aset lancar. Artinya, kalau perusahaan itu pailit kemudian asetnya itu dieksekusi. Mestinya kalau current ratio di atas 1, itu bisa digunakan untuk membayar fasilitas kredit. Nah persyaratan itu sudah ditentukan oleh lembaga LPEI," papar Alex.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait Ketua KPK Firli Bahuri yang menjadi tersangka, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (23/11/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
"Kemudian, debt to equity ratio ini lebih besar dari 4 kali. Seharusnya maksimal 4 kali, debt to equity ratio itu rasio utang antara modal. Jadi, utangnya 4 kali lebih besar dari modalnya. Ini mencakup kemampuan dari PT PE untuk membayar fasilitas kredit yang sudah diberikan oleh LPEI," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Dugaan penyimpangan lainnya, PT PE diduga memanipulasi laporan keuangan yang mengakibatkan meningkatnya valuasi perusahaan tersebut.
"Diduga PT PE juga memanipulasi laporan keuangan sehingga meningkatkan nilai valuasi PT PE. Ini beberapa dugaan fraud yang dilakukan tidak telitinya dari eks Komite Kredit PT LPEI dalam menganalisis laporan keuangan yang disampaikan oleh PT PE," sambung Alex.
Alex juga memaparkan dugaan perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan pemberian kredit modal kerja ekspor (KMKE) pada 2016.
"Selanjutnya, terkait dugaan perbuatan melawan hukum Direksi dan Komite Pembiayaan dalam pemberian KMKE yang kedua, sejumlah Rp 400 miliar pada tahun 2016. Antara lain diduga terdapat pengabaian terhadap jaminan aset tetap PT PE berupa 3 unit ruangan kantor di GB Plaza yang belum diikat sempurna dan belum ada sertifikatnya sehingga berisiko kegagalan pengikatan jaminan," ucap Alex.
ADVERTISEMENT
"Kemudian Komite Pembiayaan diduga menyetujui penambahan jaminan berupa fix aset yang belum ada dan belum dilakukan penilaian oleh appraisal. PT PE menyatakan bahwa akan menyampaikan tambahan jaminan tersebut dalam 6 bulan sejak perjanjian ditandatangani. Kemudian, PT PE melakukan tambahan jaminan berupa fidusia piutang dan fidusia persediaan. Namun nilai likuiditas tersebut sangat rendah hanya 74% dan dinilai tidak meng-cover nilai pembiayaan," tuturnya.
Selain itu, Komite Pembiayaan LPEI juga diduga sengaja mengesampingkan financial covenant yang tidak tercapai oleh PT PE.
"Selanjutnya, Komite Pembiayaan diduga sengaja mengesampingkan financial covenant yang tidak tercapai oleh PT PE yang seharusnya memberikan sanksi pada debitur yang tidak memenuhi covenant yang dipersyaratkan. Tujuannya apa, supaya dari laporan keuangan itu pihak pemberi LPEI bisa memonitor kemampuan dari perusahaan itu secara up-to-date sehingga bisa menilai risiko gagal bayar dari fasilitas yang diberikan," kata Alex.
indonesia Eximbank. Foto: Ema Fitriyani/kumparan
Dari berbagai peristiwa itu, PT PE pun tidak mampu melunasi pinjamannya hingga dinyatakan mengalami pailit.
ADVERTISEMENT
"Setelah PT PE mengalami pailit, maka PT LPEI lakukan upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah dengan menggunakan skema pengalihan piutang," tambah Alex.
KPK juga menemukan adanya keterlibatan perusahaan lain dalam dugaan penipuan ini untuk mengalihkan piutang. Saat ini, KPK sudah menaikkan penanganan perkara ke tahap penyidikan.
"Jadi, penyimpangan yang dilakukan oleh Direksi LPEI dan jajaran dalam pemberian jaminan fasilitas ekspor dan penyelesaian pembiayaan terhadap PT PE terdapat potensi kerugian negara sebesar sekurang-kurangnya USD 54,5 juta dolar atau dengan kurs Rp 14.047,99 senilai Rp 766.705.455.000," pungkas Alex.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menambahkan bahwa dugaan kerugian negara Rp 766 miliar itu baru dari satu perusahaan yang sudah naik penyidikan.
Ada tiga perusahaan yang bakal ditelaah KPK. Menurut dia, nilai total kerugian negara bisa mencapai Rp 3 triliun.
ADVERTISEMENT
"Kerugiannya satu PT itu yang pertama Rp 800 miliar, yang PT RII 1,6 triliun, yang PT SMYL Rp 1,051 triliun. Sehingga yang sudah terhitung dalam 3 korporasi sebesar Rp 3,451 triliun," kata Ghufron.
Pengumuman pengusutan kasus ini dilakukan oleh KPK sehari setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) mengumumkan penanganan kasus yang sama, Senin (18/3) kemarin. Saat itu, Kejagung menerima laporan dari Menkeu Sri Mulyani.