KPK Ungkap SPI Pendidikan Nasional 2024 Dapat Skor 69,50, Apa Artinya?

24 April 2025 13:56 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
KPK mengungkap skor Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan tahun 2024 berada di angka 69,50. Hasil ini turun dari skor SPI Pendidikan tahun 2023 yang mencapai 73,7.
ADVERTISEMENT
Skor ini diumumkan dalam Peluncuran Indeks Integritas Pendidikan di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta Selatan pada Kamis (24/4). Peluncuran skor SPI ini turut dihadiri Mendikdasmen Abdul Mu'ti, Menag Nasaruddin Umar, serta Wamendiktisaintek Stella Christie.
Adapun angka 69,50 memiliki arti: integritas pendidikan secara nasional berada pada level korektif. Mempunyai makna bahwa upaya perbaikan integritas melalui internalisasi nilai-nilai integritas sudah dilakukan meskipun implementasi serta pengawasan belum merata, konsisten, dan optimal.
"Ini hanya sebuah angka, tapi angka ini kalau kemudian kita acuhkan, kita biarkan begitu saja, angka ini bisa menjadi sebuah malapetaka, sebuah masalah," kata Ketua KPK Setyo Budiyanto.
Nilai Indeks Integritas Pendidikan Nasional 2024 yang dirilis KPK. Foto: Youtube/ KPK RI
Berikut indikator indeks SPI Pendidikan:
ADVERTISEMENT
SPI Pendidikan Nasional 2024 melibatkan 36.888 Satuan Pendidikan. Termasuk 35.650 satuan pendidikan dasar menengah, 1.238 pendidikan tinggi, 38 Provinsi dan 507 kabupaten-kota, 9 Negara Perwakilan SILN (Sekolah Indonesia di Luar Negeri).
Survei ini melibatkan 449.865 responden. Terdiri dari:
Pelaksanaan survei dilakukan pada 22 Agustus 2024-30 September 2024 dengan 2 metode, yakni:
Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana saat memaparkan hasil Survei Penilaian Integrasi (SPI) Pendidikan di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta Selatan, Kamis (24/4/2025). Foto: Youtube/ KPK RI
Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, menjelaskan, SPI Pendidikan dilakukan untuk memetakan kondisi integritas pada tiga aspek dimensi yaitu karakter integritas peserta didik, ekosistem pendidikan terkait pendidikan antikorupsi, dan risiko korupsi pada tata kelola pendidikan.
ADVERTISEMENT
Menurut Wawan, berdasarkan survei yang sudah dilakukan, ada beberapa temuan menarik. Mulai dari temuan terhadap kejujuran akademik, ketidakdisiplinan akademik, gratifikasi, benturan kepentingan dalam pengadaan barang-jasa, penggunaan dana BOS yang tidak sesuai, nepotisme serta pungli di luar biaya resmi.
"Kasus menyontek masih ditemukan pada 78 persen sekolah dan 98 persen kampus. Masalah ketidakdisiplinan akademik 45 persen siswa dan 84 persen mahasiswa yang menjadi responden, mengaku pernah terlambat datang ke sekolah atau kampus," ujar Wawan saat mempresentasikan skor SPI tahun 2024.
"Namun tidak hanya siswa dan mahasiswa, menurut 69 persen siswa, masih ada guru yang terlambat hadir. Sedangkan menurut 96 persen mahasiswa, masih ada dosen yang terlambat hadir. Bahkan di 96 persen kampus dan 64 persen sekolah, ditemukan masih ada dosen atau guru yang tidak hadir tanpa alasan yang jelas," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, mengenai gratifikasi, Wawan mengatakan masih ada temuan 30 persen guru hingga dosen dan 18 persen kepala sekolah maupun rektor masih menganggap pemberian hadiah dari orang tua maupun peserta didik adalah hal yang wajar untuk diterima.
Ditemukan juga 60 persen sekolah ditemukan memberikan bingkisan hadiah kepada guru saat momen hari raya atau kenaikan kelas.
"Bahkan menurut orang tua, di 22 persen sekolah masih ada guru yang menerima bingkisan agar nilai siswa menjadi bagus atau agar siswa bisa lulus," ungkap Wawan.
Wawan menyebut dalam pengadaan barang dan jasa, ditemukan adanya benturan kepentingan. 43 persen sekolah dan 68 persen perguruan tinggi, pimpinan lah yang menentukan vendor pelaksana atau penyedia berdasarkan relasi pribadi.
ADVERTISEMENT
"Bahkan, pada 26 persen sekolah dan 68 persen kampus ditemukan ada pihak satuan pendidikan yang menerima komisi dari vendor. Ditemukan juga terdapat pengadaan atau pembelian yang dilakukan secara kurang transparan pada 75 persen sekolah dan 87 persen kampus," jelas Wawan.
Lalu, ada 12 persen sekolah yang menggunakan dana BOS tidak sesuai dengan peruntukannya atau aturan yang terkait. 17 persen sekolah masih ditemukan melakukan pemerasan, potongan, atau pungutan terkait dana BOS.
Ditemukan pula 40 persen sekolah yang melakukan tindakan nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa ataupun proyek. Ada juga 47 persen sekolah melakukan penggelembungan biaya penggunaan dana lainnya.
"Dan terkait pelanggaran lain-lainnya masih terjadi pada 42 persen sekolah. Perilaku-perilaku koruptif masih ditemukan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Pada 28 persen sekolah masih ditemukan pungutan di luar biaya resmi dalam penerimaan siswa baru. Pungutan lain juga ditemukan dalam sertifikasi atau pengajuan dokumen lain pada 23 persen sekolah dan 60 persen kampus," pungkas Wawan.
ADVERTISEMENT

Kagetnya Menag

Menteri Agama Nasaruddin Umar mengaku kaget saat mendengar soal adanya praktik menyontek dan plagiarisme di sekolah dan kampus.
"Kaget juga saya, jadi ada sesuatu yang harus kita diperbaiki," ucap dia.
Dalam perspektif Kemenag, Nasaruddin menyampaikan usulan soal perlu adanya sakralisasi pelanggaran korupsi dalam konteks dunia pendidikan. Termasuk mengenalkan konsep 'Pemali'.
"Bukan melihat korupsi itu hanya sebagai sesuatu yang haram, yang sanksinya lebih banyak di akhirat, tapi bagaimana mengangkat mensakralkan pelanggan korupsi ini menjadi ‘Pamali’. Haram itu hukumannya nanti di sana, tapi kalau "Pemali' spontanitas, jadi sanksi diyakini diganjar secepatnya," papar Nasaruddin.

Respons Mendikdasmen dan Wamendiktisaintek

Melihat hasil SPI Pendidikan 2024 ini, Mendikdasmen Abdul Mu’ti menyebut akan menjadi masukan bagi pihaknya. Termasuk untuk meningkatkan kualitas pendidikan antikorupsi.
ADVERTISEMENT
“Pendidikan sebagai proses membangun budaya dan peradaban bangsa. Kami berusaha menerapkan itu dengan pendekatan pembelajaran mendalam yang akan mulai kami berlakukan pada tahun ajaran 2025-2026 di mana para murid tidak hanya mengerti, memahami sesuatu dalam level kognitif tetapi menemukan makna dan menjadikan nilai-nilai utama itu sebagai landasan yang membentuk kepribadian,” tuturnya.
Selain itu, Mu’ti juga menyebut akan berusaha agar budaya jujur, bersih, dan antikorupsi bisa terlaksana dengan baik.
“Dengan memperkuat empat pusat pendidikan yaitu pendidikan yang berpusat di sekolah, yang berpusat di keluarga, di masyarakat dan juga melalui dukungan media massa baik media massa sosial maupun juga media-media yang lainnya,” pungkasnya.
Di sisi lain, Wamendiktisaintek, Stella Christie, menyebut akan menjadikan hasil SPI Pendidikan 2024 sebagai landasan untuk transformasi.
ADVERTISEMENT
“Dengan adanya data ini kita bisa secara keseluruhan dan secara efektif untuk membuat transformasi yang tepat sasaran. Kalau kita tidak punya data kita tidak akan sulit membuat transformasi yang tepat sasaran,” ucapnya.
Senada dengan Mu’ti, Stella juga akan melakukan tiga hal untuk meningkatkan budaya antikorupsi di perguruan tinggi.
“Yang pertama tentu saja dari segi peraturan. Harus ada landasan yang tepat, kebijakan yang tepat untuk bisa mengatur segala sesuatu sehingga kemungkinan untuk terjadinya korupsi ini minim,” jelasnya.
Lalu, Stella menyebut akan mewajibkan pendidikan antikorupsi di perguruan tinggi.
“Namun tentu saja Bapak-Ibu juga ketahui hanya jikalau ada suatu kelas atau pendidikan itu tidak akan ada dampaknya,” ucapnya.
“Sehingga yang dilakukan oleh Kemendiktisaintek adalah pengukuran. Jadi secara terukur apa peningkatan atau apa manfaatnya dari pendidikan tersebut. Dan kalau belum secara terukur belum ada peningkatan pendidikannya terus harus direvisi dan harus diubah,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
Terakhir, Stella menyebut akan ada perbaikan-perbaikan sistem di perguruan tinggi untuk menekankan pendidikan antikorupsi.
“Jadi sistem di seluruh Kemendiktisaintek sekarang sedang mengalami perubahan-perubahan, perbaikan-perbaikan. Agar segala sesuatu yang dilakukan oleh Kemendiktisaintek, baik itu dari seperti pengeluaran tugas belajar, penyetaraan ijazah, kenaikan pangkat, segala sesuatu yang dilakukan di bawah Kemendiktisaintek akan melakukan proses efisiensi, kesederhanaan,” jelasnya.
“Agar tidak terjadi proses korupsi dalam proses tersebut,” tandasnya.