KPK Usut Lagi Kasus Garuda, Ada Eks Anggota DPR Dkk Terima Rp 100 Miliar

4 Oktober 2022 9:40 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kasus KPK Foto: Basith Subastian/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kasus KPK Foto: Basith Subastian/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kasus dugaan korupsi di PT Garuda Indonesia ternyata masih belum selesai. KPK kini tengah membuka penyidikan baru karena diduga ada suap di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu.
ADVERTISEMENT
Suap diduga terjadi terkait pengadaan armada pesawat Airbus pada PT Garuda Indonesia Tbk tahun 2010-2015. KPK menduga ada sejumlah pihak yang menerima aliran suap, termasuk mantan anggota DPR.
"Dugaan suap tersebut senilai sekitar Rp 100 miliar yang diduga diterima anggota DPR RI 2009-2014 dan pihak lainnya termasuk pihak korporasi," kata plt juru bicara KPK, Ali Fikri, kepada wartawan, Selasa (4/10).
Plh Jubir KPK Ali Fikri. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Ali menyebut penyidikan ini merupakan tindak lanjut hasil kerja sama dengan otoritas Inggris dan Prancis. Sebab perkara ini melibatkan pihak di luar negeri.
"KPK apresiasi pihak otoritas asing dimaksud yang bersedia membantu penegak hukum di Indonesia. Hal ini tentu sebagaimana komitmen dunia internasional untuk terus membangun kerja sama dalam pemberantasan korupsi," kata Ali.
ADVERTISEMENT
KPK belum menjelaskan detail perkara ini. Namun, sudah ada tersangka yang dijerat.
"Setelah penyidikan ini cukup maka berikutnya kami segera akan umumkan rangkaian dugaan perbuatan pidananya, pihak-pihak yang berstatus Tersangka dan pasal yang kemudian disangkakan," kata Ali.
"Yang berikutnya ditindaklanjuti dengan upaya paksa penangkapan maupun penahanan," tambah Ali.
Ilustrasi KPK. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Langkah tersebut terkait kebijakan KPK era Firli Bahuri dkk. Pengumuman perkara baru dilakukan ketika tersangka ditahan atau ditangkap.
Ali berharap, dalam proses pengumpulan alat bukti, para pihak yang dipanggil sebagai saksi dapat kooperatif hadir di hadapan tim penyidik. Ia juga meminta dukungan dan pengawasan dari publik.
Terlebih, tambah Ali, modus korupsi pada perkara ini cukup kompleks serta trans-nasional. Termasuk diduga melibatkan tidak hanya individu tetapi juga atas nama korporasi. Adanya aktor penting, serta kerugian negara yang ditimbulkan cukup besar.
ADVERTISEMENT
"Kami memastikan, setiap perkembangannya akan kami sampaikan kepada publik secara transparan," pungkas dia.

Kasus Garuda Indonesia

Ilustrasi logo Garuda Indonesia. Foto: ROMEO GACAD/AFP
KPK pertama kali mengungkap adanya dugaan rasuah di Garuda Indonesia ialah pada 2017. Kala itu, penyidik menjerat Dirut Garuda periode 2005-2014, Emirsyah Satar, dan Direktur PT Mugi Rekso Abadi, Soetikno Soedarjo, sebagai tersangka penerima dan pemberi suap.
Dalam kasusnya, Emirsyah dinilai terbukti menerima suap mencapai Rp 46,3 miliar terkait pengadaan pesawat di Garuda Indonesia. Suap berasal dari pihak Rolls-Royce Plc, Airbus, Avions de Transport Régional (ATR) melalui PT Ardyaparamita Ayuprakarsa milik Soetikno Soedarjo, dan Bombardier Kanada.
Emirsyah diduga menerima suap Rp 46,3 miliar dengan mata uang berbeda. Rinciannya yakni Rp 5.859.794.797, USD 884.200 atau setara Rp 12.321.327.000 (1 USD= Rp 13.935), EUR 1.020.975 atau setara Rp 15.910.363.912 (1 EUR= Rp 15.583), dan SGD 1.189.208 atau setara Rp 12.260.496.638 (1 SGD= Rp 10.309).
ADVERTISEMENT
Suap diberikan karena Emirsyah memilih pesawat dari 3 pabrikan dan mesin pesawat dari Rolls Royce untuk Garuda Indonesia dalam kurun 2009-2014, yakni:
Terdakwa Emirsyah Satar dan Soetikno Soedarjo menjalani sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan saksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (30/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Perbuatan Emirsyah dilakukan bersama-sama dengan Hadinata Soedigno dan Agus Wahjudo. Agus dan Hadinoto merupakan anak buah Emirsyah saat menjabat sebagai direktur utama pada tahun 2009. Ketika itu, Agus Wahjudo menjabat Executive Project Manager, sedangkan Hadinoto menjabat Direktur Teknik Executive Vice President Engineering.
Selain itu, Emirsyah juga dinilai terbukti melakukan pencucian uang yang nilainya hingga Rp 87.464.189.911.
Atas perbuatannya, Emirsyah dihukum 8 tahun penjara. Ditambah denda Rp 1 miliar dan uang pengganti sejumlah SGD 2.117.315,27.
ADVERTISEMENT
Masih dalam kasus yang sama, Soetikno Soedarjo dihukum 6 tahun penjara. Kemudian Hadinoto divonis 8 tahun dan denda Rp 1 miliar dan uang pengganti USD 2.302.974,08 dan Euro 477.540.

Kasus di Kejagung

Suasana Konferensi Pers terkait penetapan tersangka dalam perkara PT. Garuda Indonesia dan peningkatan status perkara impor garam dari tahap penyelidikan menjadi tahap penyidikan di Kejaksaan Agung RI, Jakarta pada Senin (27/6/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Ketika Emirsyah dan Soetikno masih menjalani masa pidana, keduanya kembali ditetapkan sebagai tersangka. Kali ini oleh Kejaksaan Agung.
Kasus yang diusut Kejaksaan Agung mirip dengan kasus yang diusut oleh KPK. Namun dengan sangkaan berbeda. KPK menjerat Emirsyah dan Soetikno dengan pasal suap. Sementara Kejaksaan membidik kasus pengadaan dengan kerugian negara.
Kasus yang diusut Kejaksaan ini terkait pengadaan pesawat pada PT. Garuda Indonesia tahun 2011-2021. Pengadaan itu yakni 18 unit pesawat Sub 100 seater tipe jet kapasitas 90 seat jenis Bombardier CRJ-100 pada tahun 2011. Serta proses pengambilalihan pengadaan pesawat ATR72-600.
ADVERTISEMENT
Rangkaian proses pengadaan pesawat CRJ-1000 tersebut, baik tahap perencanaan maupun tahap evaluasi, diduga tidak sesuai dengan Prosedur Pengelolaan Armada (PPA) PT Garuda Indonesia.
Dalam tahapan perencanaan, diduga tidak terdapat laporan analisa pasar, laporan rencana rute, laporan analisa kebutuhan pesawat, serta tidak terdapat rekomendasi BOD dan Persetujuan BOD. Sementara dalam tahap evaluasi, diduga dilakukan mendahului RJPP dan/atau RKAP dan tidak sesuai dengan konsep bisnis “full service airline” PT Garuda Indonesia.
Lantaran pengadaan pesawat CRJ-1000 dan pengambilalihan pesawat ATR72-600 diduga dilakukan tidak sesuai dengan PPA, prinsip-prinsip pengadaan BUMN, dan prinsip business judgement rule, mengakibatkan performance pesawat selalu mengalami kerugian saat dioperasikan.
Penyidik menilai hal ini menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar USD 609.814.504,00 atau senilai ekuivalen Rp. 8.819.747.171.352. Namun, tidak dirinci komponen apa saja dalam kerugian keuangan negara itu.
ADVERTISEMENT
Beberapa orang dijerat sebagai tersangka oleh Kejaksaan. Selain Emirsyah dan Soetikno, terdapat pula Vice President Strategic Management Office PT Garuda Indonesia 2011-2012, Setijo Awibowo; Eksekutif Proyek Manager Aircraft Delivery PT Garuda Indonesia 2009-2014, Agus Wahjudo; dan Vice President Treasury Management PT Garuda Indonesia (persero) Tbk tahun 2005-2012, Albert Burhan.
JAMPidsus Kejagung Febrie Ardiansyah menyatakan, pengusutan perkara ini karena ada konstruksi kasus yang berbeda dengan yang ditangani KPK. KPK baru mengusut kasus Garuda ini dengan delik suap dan pencucian uang, sementara Kejagung mengusut kerugian negaranya.
“Mengenai objek penyidikannya pun ada perluasan. Kita juga menyangkut pesawat ATR72-600 dan Bombardier CRJ-100. Nah itu ada beda, ya,” kata Febrie.
“Apakah ini ne bis in idem atau tidak. Itu ada objek yang berbeda. Ada konstruksi perbuatan yang berbeda,” sambungnya yang tidak merinci lebih detail konstruksi perkaranya.
ADVERTISEMENT
Emirsyah Satar sudah diminta keterangan Kejaksaan Agung dalam pengusutan kasus ini beberapa waktu lalu. Namun, pihak Emirsyah menilai dirinya tidak dapat dijerat dalam perkara ini.
Jumpa pers tanggapan kuasa hukum terhadap dugaan kasus korupsi Emirsyah Satar, Senin (17/1). Foto: Jonathan Devin/kumparan
Kuasa hukum Emirsyah, Afrian Bondjol, menilai kliennya tidak dapat dituntut dalam kasus yang sedang diusut Kejaksaan Agung ini. Sebab, menurut dia, Emirsyah sudah dihukum dengan kasus serupa yang sebelumnya ditangani KPK.
"Berkaitan dengan asas Ne bis In Idem di mana seseorang tidak dapat dituntut kedua kali dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan dan berkekuatan hukum tetap," kata Afrian saat jumpa pers, Senin (17/1).
Afrian berpendapat demikian berdasarkan penjelasan dari Emirsyah yang sudah diperiksa Kejaksaan dalam pengusutan kasus ini.
"Kami sebagai profesional, kami berpendapat hukum, lewat pendapat hukum kami ini Ne bis In Idem, kalau pendapat hukum dari yang lain itu boleh saja, ini sebagai bentuk advokasi kami terhadap klien kami dan asas hukum yang berlaku," kata Afrian.
ADVERTISEMENT